Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)

Menegakkan shalat

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), [Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Menunaikan zakat

“Ambillah dari harta mereka sedekah / zakat, untuk membersikah mereka serta menghapus kesalahan mereka” (QS At Taubah [9]: 103).

Puasa Ramadhan

“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)

Haji bagi yang mampu

“Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan apapun) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)

Sunday, 2 August 2015

Pencarian Kebenaran Imam Al -Ghazali





Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H, umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, ia berkata di akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal islam karya Khalid al baghadi hal. 79). Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya
 “Ketika beliau meninggal, kitab shahih bukhari tengah berada di atas dada beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau cenderung kepada thariqah ahli hadits”. (lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah 1/162). Pada akhir hidupnya Al Ghazali menyibukkan dirinya mempelajari dua kitab shahih(Bukhari&Muslim) sebagaimana diceritakan oleh muridnya yaitu Abdul Ghafir Al Farisi dgn pernyataanya : " Dan akhir urusan beliau (Al Ghazali) adalah memperhatikan hadits Al Musthafa shalallahu'alaihi wasallam, dan duduk dihadapan para ahlinya. Serta menelaah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim --yang kedua orang ini merupakan hujjatul islam--. Seandainya beliau masih hidup tentulah akan mendahului setiap orang dalam cabang ilmu (hadits) ini dengan sedikit waktu yang beliau curahkan untuk meraihnya. Dan tidak ada keraguan bahwa pada waktu-waktu sebelumnya, beliau telah mendengar hadits-hadits. Dan pada akhir usianya beliau menyibukkan diri dengan mendengarnya" [Lihat Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Wa Manhaj Al Asya'irah Fii Tauhidillah, II/682, karya Khalid bin Abdul Lathif bin Muhammad bin Nur].

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201). Berikut adalah video ilustrasi dan penjelasan perjalanan hidup Imam Al Ghazali.



Sumber: 
Majalah As Sunnah
Kitab Dar’u Ta’arudhil Aql wan Naql
Kitab Al-Iman wal Islam
Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Wa Manhaj Al Asya'irah Fii Tauhidillah

Sunday, 21 June 2015

Mengenal Sahabat Mulia Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu




Para sahabat Nabi ` memiliki kebaikan hati, kedalaman ilmu, kelurusan perilaku,keindahan perangai, dan jauh dari sikap pembebanan diri. Karenanya, Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan sekaligus menegakkan agama-Nya. Menjadikan para sahabat sebagai suri teladan adalah pokok mendasar bagi kaum muslimin. Demikian ini dititahkan dalam Islam sebagai ajaran mulia. Selayaknya kita bersemangat mengenal pribadi mereka. Satu di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.

Mengenal Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu
Tubuh pendek, gemuk, rambut keriting, hidung pesek, kulit sawo matang, jemari tebal dan kasar, serta badannya dipenuhi bulu; itulah sosok Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi n nan mulia. Beliau bernama Sa’ad bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin ‘Abdi Manaf al-Qurasyi az-Zuhri al-Makki. Kunyah beliau adalah Abu Ishaq. Nasab beliau radhiyallahu ‘anhu bertemu dengan nasab Rasulullah n pada ‘Abdu Manaf bin Zuhrah. Beliau radhiyallahu ‘anhu lahir di Makkah dan berasal dari suku Quraisy. Memiliki keturunan sebanyak 35 anak, di antaranya Ibrahim, ‘Amir, ‘Umar, Muhammad, Mush’ab, dan ‘Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk dalam as-Sabiqunal Awwalun (para sahabat Nabi yang pertama kali masuk Islam). Beliau pula termasuk salah satu dari Ahlusy Syura (enam sahabat Nabi yang dipilih ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk menentukan pengganti ‘Umar sebagai khalifah). Bahkan Sa’ad radhiyallahu ‘anhu tergolong dalam al-’Asyarah al-Mubasysyarun bil Jannah (sepuluh sahabat Nabi yang mendapat kabar gembira dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghuni surga).

Kisah Keislaman Beliau radhiyallahu ‘anhu
Beliau memeluk Islam melalui ajakan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Saat itu usianya masih 17 tahun. Sebelum masuk Islam, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu pernah bermimpi. Beliau berada dalam kegelapan, tidak dapat melihat sesuatu apapun. Tiba-tiba bulan menyinarinya. Beliaupun mengikuti sinar bulan tersebut. Tampak olehnya beberapa orang yang telah mendahuluinya berjalan ke arah bulan. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berupaya melihat sekumpulan orang itu. Ternyata mereka adalah Zaid bin Haritsah, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhum. Memang benar, mereka lebih dahulu masuk Islam.

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu adalah anak yang sangat berbakti pada ibunya, Hamnah bintu Sufyan. Ketika masuk Islam, sang ibu marah dan mengancam, “Wahai Sa’ad, agama apa yang engkau ikuti ini? Sungguh, engkau harus meninggalkan agamamu ini, atau aku akan mogok makan dan minum sampai aku mati, sehingga engkau akan dicela karenanya.” “Wahai ibu, janganlah engkau lakukan itu. Sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku,” pinta Sa’ad.

Benarlah, ibunya tidak makan dan minum seharian hingga kepayahan. Melihat hal itu, Sa’ad mengatakan, “Demi Allah, sekiranya engkau memiliki seribu nyawa, lalu nyawa itu keluar satu persatu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.” Mengetahui tekad putranya, ibu Sa’ad mengurungkan niatnya lalu mau kembali makan dan minum. Dari peristiwa inilah Allah menurunkan ayat-Nya,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)

Kedekatannya dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berasal dari kabilah Bani Zuhrah. Demikian pula ibu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berasal dari kabilah tersebut. Sehingga Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dikategorikan sebagai Khalun NabiShalallahu ‘alaihi wa Sallam (paman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dari jalur ibu). Suatu hari di Makkah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjenguk Sa’ad radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengusap wajah, dada, dan perut Sa’ad radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau radhiyallahu ‘anhu mendoakannya, “Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad.” Kebaikan Nabi begitu membekas pada diri Sa’ad. Dinginnya telapak tangan Nabi senantiasa dirasakan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika perang Uhud meletus, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bersama beberapa sahabat tetap bertahan menjaga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu sendiri adalah seorang prajurit yang mahir dalam memanah. Tak seorang pun yang maju hendak membahayakan diri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kecuali terkena sasaran anak panahnya. Sambil menyiapkan anak panah dan mengamati hasil bidikan Sa’ad, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai Sa’ad, panahlah. Ayah dan ibuku sebagai tebusannya.”Demikian pula Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mendoakan Sa’ad radhiyallahu ‘anhu pada peristiwa itu, “Ya Allah, kabulkanlah permohonan Sa’ad apabila berdoa kepada-Mu.” Sehingga Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai orang yang dikabulkan (mustajab) doanya.

Pada suatu malam, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sulit untuk tidur. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Seandainya ada orang saleh dari sahabatku yang sudi menjagaku malam ini.” Tiba-tiba terdengar suara dentingan senjata. “Siapa ini?,” tanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Lelaki itu menjawab, “Sa’ad bin Abi Waqqash. Saya wahai RasulullahShalallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya datang kemari guna menjagamu.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallampun mendoakan kebaikan untuknya, kemudian beliau tidur dengan lelap hingga terdengar suara dengkurannya.

Perjuangannya di Jalan Allah
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang begitu lihai dalam memacu kuda. Karenanya, beliau dijuluki sebagai Farisul Islam (prajurit Islam yang ahli berkuda). Di awal-awal Islam, para sahabat beribadah di lereng-lereng bukit karena khawatir terhadap gangguan kaum musyrikin. Suatu hari, sekelompok kaum musyrikin mengetahui keberadaan mereka di salah satu bukit di Makkah. Kaum musyrikin terus mengejek dan mencela agama Islam hingga mengganggu para sahabat. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu marah dan memukul salah seorang dari mereka dengan kulit unta yang sudah kering. Orang tersebut terluka dan berdarah. Dengan peristiwa ini, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menjadi sahabat Nabi yang pertama kali menumpahkan darah di jalan Allah.

Ketika perang Badr meletus, beliau radhiyallahu ‘anhu bersama para sahabat lainnya berusaha sekuat tenaga membela Nabi Muhammad n. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menjadi sahabat Nabi yang pertama kali melepaskan anak panah di jalan Allah. Bahkan beliau radhiyallahu ‘anhu mendapat dua tawanan pada peristiwa itu.

Demikian pula pada masa pemerintahan Khulafa’ur Rasyidin, beliau turut andil dalam memperjuangkan agama Islam. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang membangun kota Kufah, Irak.

Demikian pula ketika menjadi panglima perang, beliau berhasil menaklukkan sejumlah wilayah penting kerajaan Persia di Irak, seperti kota Qadisiyyah, Madain, dan Jalula’.

Nasihat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu
Suatu hari, ‘Abdullah bin Fairuz ad-Dailami berjumpa dengan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Maka ‘Abdullah bin Fairuz bertanya, “Sesungguhnya aku memiliki keraguan pada sebagian permasalahan takdir. Maka jelaskanlah hal itu kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikan penjelasanmu bisa melapangkan diriku.” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dengan tenang memberikan pengarahan, “Wahai anak saudaraku (sesama muslim), sesungguhnya kalau sekiranya Allah mengadzab semua penghuni langit dan bumi, niscaya Dia mengadzab mereka tanpa kedzaliman. Dan kalau sekiranya Dia merahmati mereka, niscaya rahmat Allah lebih baik bagi diri mereka daripada amalan-amalan mereka.” Lalu beliau radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Dan sesungguhnya kalau seandainya seseorang berinfak emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, namun tidak beriman terhadap takdir yang baik atau yang buruk, niscaya infaknya tidak akan diterima oleh Allah.” Kemudian Sa’ad radhiyallahu ‘anhumenyarankannya untuk menemui sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ternyata penjelasan Ibnu Mas’ud semakna dengan ucapan Sa’ad. Lalu Ibnu Mas’ud menyarankan ‘Abdullah bin Fairuz ad-Dailami untuk menemui sahabat Ibnu Abi Ka’bradhiyallahu ‘anhu. Ternyata penjelasan Ibnu Abi Ka’b juga senada dengan ucapan dua sahabat sebelumnya. Kemudian ‘Abdullah bin Fairuz disarankan untuk menemui sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Ternyata pemaparan Zaid bin Tsabit mirip dengan ucapan ketiga sahabat tadi. Karena semua yang terjadi di dunia ini telah ditentukan oleh Allah.

Akhir Kehidupannya di Dunia
Di saat kegelapan fitnah melanda kaum muslimin, beliau berusaha menyelamatkan diri dari fitnah tersebut. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu tinggal di bentengnya di daerah al-’Aqiq, sekitar tujuh mil dari Madinah. Beliau radhiyallahu ‘anhutetap berada di sana hingga akhir hayatnya. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai orang yang paling mulia kedudukannya, memiliki akhlak yang mulia, kokoh dalam menjalankan tuntunan Nabi, dan sangat menyayangi rakyatnya. Menjelang ajalnya, beliau radhiyallahu ‘anhu meminta untuk diambilkan sebuah pakaian yang terbuat dari kain wol. Lalu beliauradhiyallahu ‘anhu berpesan, “Kafanilah aku dengan pakaian wolku ini. Sesungguhnya dahulu aku berperang melawan kaum musyrikin pada perang Badr, dengan mengenakan pakaian tersebut. Pakaian itu senantiasa ada pada diriku. Dan selama ini aku menyimpannya untuk hal ini.” Tepat pada tahun 55 H, beliau radhiyallahu ‘anhu pun meninggal dunia pada usia 82 tahun. Dengan kejadian itu, maka beliau radhiyallahu ‘anhu menjadi sahabat yang terakhir meninggal dari kalangan kaum Muhajirin. Lalu jenazah beliau di bawa ke Madinah. Sesampainya di Madinah, kaum muslimin menshalati jenazahnya di Masjid Nabawi. Demikian pula para istri Nabi turut menshalatinya. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu dimakamkan di pekuburan Baqi’. Umat Islam sangat bersedih dengan kepergiannya. Semoga Allah meridhainya. Berikut adalah video kisah hidup sahabat mulia Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. 



Faidah Ilmu Hadits
Al-Imam al-Bukhari  dalam kitab Shahih-nya menyebutkan riwayat melalui Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu sebanyak lima hadits. Al-Imam Muslim menyebutkan 18 hadits dalam kitab Shahih-nya. Adapun al-Imam Baqi bin Makhlad radhiyallahu ‘anhu dalam kitab Musnad-nya menyebutkan 270 hadits. Bahan Renungan Para pembaca yang mulia, kisah bukanlah perkara yang tiada memiliki ibrah (pelajaran). Pemaparan kisah akan mudah meresap ke dalam hati orang yang membacanya, menanamkan kesan yang demikian mendalam.

Memang, keadaan kita sangatlah berbeda dengan mereka. Namun, selayaknya kita mendamba seperti mereka. Sehingga jiwa ini segera tersadar dari kelengahan yang teramat lama. Lantas, mau bergegas menuju ampunan Allah dan surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi.
Wallahu a’lam bish shawab.

Penyusun: Ustadz Muhammad Hadi
Sumber : buletin-alilmu.net