Monday, 2 December 2013
Kisah Abdullah Bin Abbas
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum karena kitab ini (yakni Al-Quran) dan merendahkan kaum lainnya dengannya.” [H.R. Muslim dari shahabat Umar bin Al-Khaththab .
Inilah sepenggal hadits yang menunjukkan dahsyatnya ilmu Al-Quran. Ilmu ini akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkannya tergantung dengan kualitas keilmuan dan pengamalan Al-Quran.
Dalam sejarah Islam yang gemilang, tercatatlah nama Abul Abbas Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau adalah seorang shahabat mulia yang telah mengecap manisnya ilmu syariat semenjak kecil. Kemuliaan demi kemuliaan dia raih setimpal dengan ilmu yang dia peroleh. Tentu kisahnya menarik untuk kita cermati dan kita ambil pelajaran darinya.
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
Abdullah bin Abbas adalah anak dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib bin Qushay Al-Qurasyi , paman Nabi `. Ibu beliau bernama Ummul Fadhl Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyah. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah dan berumur tiga belas tahun ketika Nabi meninggal. Dalam sebagian riwayat disebutkan, beliau berbadan gemuk, putih, dan tinggi. Beliau adalah seorang yang pandai serta fasih berbicara. Banyak dari lawan bicara Ibnu Abbas mengikuti pendapatnya setelah berdialog dengannya. Seorang ulama tabi’in, Masruq bin Al-Ajda’ mengatakan, “Ketika aku melihat Abdullah bin Abbas, aku katakan, ‘Dia adalah orang yang paling tampan.’ Lalu ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling pandai bicara.’ Dan ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling berilmu.’”
Ulama tabi’in lainnya, Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah mengatakan, “Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami pada musim haji. Beliau membuka dengan Surat Nur. Beliau membacanya dan menafsirkannya. Aku pun mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat atau mendengar ucapan seseorang yang semisal ini. Anda Persia, Romawi, dan Turki mendengarnya, niscaya mereka akan masuk Islam.”
Soal tafsir pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ahlinya. Abdullah bin Mas’ud , seorang ulama shahabat, mengakui kepiawaian Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan mengatakan, “Penafsir Al-Quran yang paling baik adalah Ibnu Abbas. Jika dia berumur seperti kita, niscaya tidak ada seorang pun dari kita yang ilmunya mencapai sepersepuluh ilmunya.”
Al-Qasim bin Muhammad mengatakan tentangnya, “Aku tidak melihat di majelis Ibnu Abbas satu kebatilan pun. Aku tidak pernah mendengar fatwa yang lebih cocok dengan sunnah daripada fatwanya. Para muridnya menjuluki beliau Al-Bahr (lautan ilmu) dan Al-Habr (tinta).” Demikianlah, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dijuluki Habrul Ummah.
Siapa tak kenal Umar bin Al-Khaththab , Sang Khalifah kedua setelah Abu Bakr? Ternyata, shahabat sekelas Umar pun mengakui keilmuan Ibnu Abbas yang waktu itu masih muda. Tercatat oleh Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau bahwasanya suatu saat Umar memasukkan Ibnu Abbas muda ke dalam majelisnya bersama para tokoh Islam. Pada waktu itu, para tokoh Badr yang telah matang dalam usia sangsi akan kemampuan Ibnu Abbas. Mereka pun bertanya kepada Umar, “Kenapa Anda memasukkan pemuda ini ke tengah majelis kita padahal kami juga punya anak seperti dia?”
Umar pun menjawab, “Kalian telah mengetahui tentangnya (yakni kepandaiannya, red.)”
Suatu saat, Umar memanggil Ibnu Abbas ke tengah majelis mereka untuk memperlihatkan kepandaian Ibnu Abbas. Umar menanyakan kepada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Jika telah datang pertolongan Allah dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1-3]?”
Sebagian tokoh Badr tersebut pun menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk beristighfar setelah Allah menolong dan memudahkan kita untuk menaklukkan kota Mekah.” Sedang sebagian lainnya memilih diam.
Sekarang giliran Ibnu Abbas, “Demikiankah?” kata Umar kepada Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan, “Tidak.”
“Lantas, apa menurutmu?” tanya Umar.
Ibnu Abbas mengatakan, “Itu adalah wafatnya Rasulullah `, Allah memberitahukannya kepada beliau. ‘Jika datang kepadamu pertolongan dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1] itu adalah tanda dari dekatnya wafat Nabi ` ‘Maka bertasbihlah dengan pujian kepada Rabbmu dan mintalah ampun. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’ [Q.S. An-Nashr:3].
Umar pun mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya kecuali seperti apa yang engkau katakan.”
Demikianlah ketajaman dan ketelitian Ibnu Abbas dalam memahami wahyu. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar tidak biasa digunakan ketika terjadi kemenangan dan penaklukan. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar dan taubat biasanya digunakan untuk mengakhiri sesuatu, maka dia pun menafsirkan pertolongan dan penaklukan dalam ayat tersebut sebagai tanda akan diwafatkannya beliau. [I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim ].
Tidak hanya tafsir, Ibnu Abbas juga pandai dalam banyak perkara. Murid Ibnu Abbas, Atha` bin Abi Rabah mengatakan, “Banyak orang mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari syair dan nasab-nasab. Orang yang lain mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari sejarah hari-hari peperangan. Dan kelompok lainnya mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu agama dan fikih. Tidak ada satu golongan pun dari mereka kecuali mendapatkan apa yang mereka mau.”
Berawal Dari Doa Yang Mustajab
Berbagai keutamaan yang Ibnu Abbas raih ini sejatinya tidak lepas dari doa mustajab yang dipanjatkan oleh Rasulullah . Saat itu, Rasulullah hendak buang hajat. Ibnu Abbas kecil memahami kebiasaan Rasulullah yang berwudhu setiap kali habis dari buang hajat. Dia pun meletakkan air wudhu di tempat keluarnya Nabi . Lantas, ketika Nabi melihat air wudhu yang sudah dipersiapkan, Rasulullah pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Ibnu Abbas.” Maka Rasulullah pun meletakkan telapak tangannya yang mulia di bahu Ibnu Abbas kecil seraya berdoa:
“Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam masalah agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” [H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya, ini lafazh Imam Ahmad].
Nah, dari doa inilah kemuliaan demi kemuliaan kemudian dia peroleh. Namun, tentu saja kemuliaan ini bukan turun dari langit begitu saja. Allah memberi taufik kepada Ibnu Abbas untuk menuntut dan mencari kemuliaan tersebut dengan sepenuh tenaga yang Allah karuniakan kepadanya, bukan hanya dengan berpangku tangan.
Ibnu Abbas menuturkan pengalamannya dalam menuntut ilmu, “Tatkala Rasulullah telah berpulang ke hadirat Allah, aku mengatakan kepada seorang Anshar, ‘Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah , mumpung sekarang mereka masih banyak.’
Orang Anshar itu pun menukas, ‘Aku heran, apakah engkau menyangka bahwa manusia membutuhkan dirimu?’”
Ibnu Abbas tidak menggubris ucapannya. Dia pergi menemui para shahabat dan menanyai mereka. Ibnu Abbas melanjutkan penuturannya, “Suatu hari, aku mengetahui ada hadits dari seseorang. Aku pun mendatangi pintunya. Ternyata orang tersebut sedang tidur siang. Aku pun beralas baju atasku (pada waktu itu, baju atas berupa selendang) menunggunya di depan pintu. Angin meniupkan debu ke wajahku. Lalu, setelah orang tersebut pun keluar dan melihatku, dia berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah, kebutuhan apa gerangan yang membuat Anda datang kepadaku? Kenapa Anda tidak mengutus seseorang untuk kemudian aku yang akan mendatangi Anda?’
Aku pun mengatakan, ‘Tidak. Aku lebih berhak untuk mendatangimu lalu menanyaimu tentang hadits.’
Orang Anshar tadi pun hidup hingga melihat orang-orang mengelilingiku untuk menanyaiku. Dia pun berkata, ‘Sejak dahulu, pemuda ini lebih pandai dariku.’”
Demikianlah Ibnu Abbas yang sangat menghargai ilmu. Dia datang merendahkan diri untuk mendapatkan ilmu, bukan dengan menunggu datangnya ilmu.
Selain itu, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma sangat menghargai dan menghormati para ulama disebabkan ilmu mereka. Seorang ulama tabi’in Asy-Sya’bi mengisahkan, “Zaid bin Tsabit (seorang ulama shahabat) mengendarai unta. Ibnu Abbas pun menuntun untanya. Zaid mengatakan, ‘Jangan lakukan, wahai sepupu Rasulullah .’ Ibnu Abbas pun menyahut, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.’ Kemudian, Zaid bin Tsabit mencium tangannya dan mengatakan, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Nabi kami.”
Akhir Hayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
Ibnu Abbas meninggal di Tha`if pada tahun 68 H pada pemerintahan Ibnu Zubair. Waktu itu, umur beliau sekitar 70 tahun. Di antara yang menshalati beliau adalah seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyah (w. 80 H). Beliau mengatakan, “Telah meninggal seorang ulama rabbani bagi umat ini.”
Demikianlah uraian singkat mengenai biografi Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, seorang shahabat yang Allah karuniakan keutamaan ilmu kepadanya. Andai kita menyebutkan seluruh keutamaan beliau, niscaya tidak akan tertampung beberapa lembaran saja. Namun, cukuplah kiranya kisi-kisi dari biografi ulama shahabat yang satu ini untuk melecut kita mempelajari ilmu syar’i, ilmu yang kini mulai ditinggalkan oleh kaum muslimin. Sehingga, kita mendapatkan bagian yang banyak dari warisan kenabian. Allahu a’lam bish shawab.
Sumber : Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr
Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
Pelajaran dari Kisah Abu Tholib Menjelang Wafat
Dalam shiroh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan bahwa paman Nabi -Abu Tholib- biasa melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gangguan kaumnya. Perlindungan yang diberikan ini tidak ada yang menandinginya. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan hidayah itu datang pada pamannya. Saat menjeleng wafatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenjenguk pamannya tersebut dan ingin menawarkan pamannya masuk Islam. Beliau ingin agar pamannya bisa menutupi hidupnya dengan kalimat “laa ilaha illallah” karena kalimat inilah yang akan membuka pintu kebahagiaan di akhirat. Berikut kisah yang disebutkan dalam hadits.
Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Tholib (paman Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Tholib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah berkata,
يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthollib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Tholib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muttholib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan :
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”
Kemudian turunlah ayat,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam” (QS. At Taubah: 113)
Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada orang-orang yang engkau cintai” (QS. Al Qosshosh: 56) (HR. Bukhari no. 3884)
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
1- Boleh menjenguk orang sakit yang non-muslim asal dengan tujuan untuk mendakwahinya masuk Islam.
2- Bahaya memiliki teman yang jelek yang terus merayu pada kekafiran dan maksiat.
3- Makna kalimat “laa ilaha illallah” adalah meninggalkan peribadahan pada berhala, wali dan orang sholeh. Orang-orang musyrik di masa Rasul sudah mengetahui hal ini.
4- Seseorang yang mengucapkan kalimaat “laa ilaha illallah” dengan penuh keyakinan, maka ia dianggap masuk Islam.
5- Terlarang meminta ampunan pada Allah untuk orang musyrik dan dilarang loyal pada mereka, juga dilarang mencintai mereka (atas dasar agama).
6- Amalan itu dilihat dari akhirnya.
7- Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak dapat memberi manfaat pada pamannya sendiri, lebih-lebih pada orang lain. Ini menunjukkan terlarangnya ketergantungan hati pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meraih manfaat dan menolak mudhorot.
8- Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Tholib mati dalam keadaan kafir.
9- Bahaya hanya mengekor (taklid) pada nenek moyang atau hanya mengikuti tradisi mereka, dan hal itu dijadikan alasan ketika didebat, “Ini kan tradisi nenek moyang kita.”
10- Hidayah agar seseorang bisa melakukan ketaatan adalah kuasa Allah. Sedangkan kita sebagai manusia hanya bisa memberikan penjelasan pada kebenaran.
Semoga pelajaran ini bermanfaat bagi pengunjung Hanya Allah yang memberi taufik.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Referensi:
Al Mulakhosh fii Syarh Kitab Tauhid karya guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan kedua, tahun 1433 H, hal. 155-157.
Sunday, 6 October 2013
Sumbangan Islam Untuk Dunia Kesehatan
Berbicara mengenai bidang kesehatan tentu saja arah pembicaraan kita akan tertuju pada bidang kedokteran. Ilmu kedokteran merupakan ilmu yang perkembangannya sangat cepat. Umat Islam memberikan sumbangsih yang sangat besar pada cabang ilmu pengetahuan ini. Kedokteran Islam bukan sekedar mendiagnosa mengobati penyakit lalu selesai, tapi meliputi dasar-dasar metode eksperimen yang sangat berpengaruh pada seluruh sisi-sisi praktis sebagai pencegahan dan pengobatan, meringankan dan akurasi pengobatan, serta menjauhkan manusia dari pola hidup yang buruk.
Ketika Islam datang, orang-orang Arab jahiliyah juga mempunyai tabib, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berobat. Beliau bersabda, “Berobatlah! Karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali membuat obatnya. Kecuali satu penyakit, yaitu tua.” Rasulullah berobat dengan madu, kurma serta ilalang alami dan yang lainnya. Metode ini dikenal dengan Tibbun Nabawi (Pengobatan Nabi).
Kaum muslimin tidak hanya berhenti pada tibbun nabawi, mereka terus bereksperimen dan terus mengembangkan ilmu kedokteran. Ada seorang dokter muslim pada abad pertengahan, Ali bin Isa al-Kahal, spesialisasinya pada mata dan banyak merumuskan teori-teori tentang mata. Ia mengumpulkan teorinya dalam sebuah buku yang berjudul Tazkirah al-Kahalain. Adapula az-Zahrawi, orang pertama yang menemukan teori bedah dengan menggunakan suntik dan alat-alat bedah. Az-Zahrawi mengarang sebuah buku tentang ilmu bedah yang berjudul at-Tashrif Liman Ajiza an Ta’lif yang diterjemahkan ke bahasa latin oleh ilmuan Italia, Gerardo (1114 – 1187). Alat bedah az Zahrawi Penemuan Umat Islam Yang Mengubah Dunia
Sejak saat itu buku teori bedah az-Zahrawi dijadikan dasar-dasar ilmu bedah di Eropa hingga 5 abad kemudian, yakni abad ke-16, lalu mempengaruhi perkembangan ilmu bedah di masa berikutnya. Seorang pakar anatomi tubuh, Hallery, mengatakan, “Seluruh pakar bedah Eropa sesudah abad ke-16 menimba ilmu dan berpatokan pada pembahasan buku ini (at-Tashrif Liman Ajiza an Ta’lif).” (Fi Tarikh at-Tib fi ad-Daulah al-Islamiyah, Hal: 132-133).
Kemudian umat Islam juga merupakan generasi pertama yang membangun rumah sakit. Rumah sakit Islam pertama kali didirikan pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik, yang memegang jabatan antara 705-715 M. Rumah sakit ini khusus untuk penderita lepra. Setelah itu banyak rumah sakit dibangun di wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Saat itu rumah sakit disebut dengan istilah al-Baimarastanat (tempat tinggal orang sakit) bukan dengan istilah musytasyfa. Sembilan abad kemudian barulah rumah sakit-rumah sakit didirikan di Eropa.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber: http://kisahislami.com/
Ketika Islam datang, orang-orang Arab jahiliyah juga mempunyai tabib, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berobat. Beliau bersabda, “Berobatlah! Karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali membuat obatnya. Kecuali satu penyakit, yaitu tua.” Rasulullah berobat dengan madu, kurma serta ilalang alami dan yang lainnya. Metode ini dikenal dengan Tibbun Nabawi (Pengobatan Nabi).
Kaum muslimin tidak hanya berhenti pada tibbun nabawi, mereka terus bereksperimen dan terus mengembangkan ilmu kedokteran. Ada seorang dokter muslim pada abad pertengahan, Ali bin Isa al-Kahal, spesialisasinya pada mata dan banyak merumuskan teori-teori tentang mata. Ia mengumpulkan teorinya dalam sebuah buku yang berjudul Tazkirah al-Kahalain. Adapula az-Zahrawi, orang pertama yang menemukan teori bedah dengan menggunakan suntik dan alat-alat bedah. Az-Zahrawi mengarang sebuah buku tentang ilmu bedah yang berjudul at-Tashrif Liman Ajiza an Ta’lif yang diterjemahkan ke bahasa latin oleh ilmuan Italia, Gerardo (1114 – 1187). Alat bedah az Zahrawi Penemuan Umat Islam Yang Mengubah Dunia
Sejak saat itu buku teori bedah az-Zahrawi dijadikan dasar-dasar ilmu bedah di Eropa hingga 5 abad kemudian, yakni abad ke-16, lalu mempengaruhi perkembangan ilmu bedah di masa berikutnya. Seorang pakar anatomi tubuh, Hallery, mengatakan, “Seluruh pakar bedah Eropa sesudah abad ke-16 menimba ilmu dan berpatokan pada pembahasan buku ini (at-Tashrif Liman Ajiza an Ta’lif).” (Fi Tarikh at-Tib fi ad-Daulah al-Islamiyah, Hal: 132-133).
Kemudian umat Islam juga merupakan generasi pertama yang membangun rumah sakit. Rumah sakit Islam pertama kali didirikan pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik, yang memegang jabatan antara 705-715 M. Rumah sakit ini khusus untuk penderita lepra. Setelah itu banyak rumah sakit dibangun di wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Saat itu rumah sakit disebut dengan istilah al-Baimarastanat (tempat tinggal orang sakit) bukan dengan istilah musytasyfa. Sembilan abad kemudian barulah rumah sakit-rumah sakit didirikan di Eropa.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber: http://kisahislami.com/
Friday, 4 October 2013
Taubatnya si Pembunuh 100 (Seratus) Jiwa
Kisah ini pernah terjadi di zaman Bani Israil dahulu kala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakannya kepada umatnya agar menjadi pelajaran berharga dan teladan dalam kebaikan. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu, di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ketika itu, lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah). Maka dia pun mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya?
Ahli ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya. Maka dia pun menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian dia menanyakan apakah ada orang yang paling alim di muka bumi ketika itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya tentang seorang yang berilmu. Maka dia pun mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya? Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Dan jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang buruk/jahat.”
Maka dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang dia.
Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”
Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali.”
Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”
Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.
Kata rawi: Kata Qatadah: Al-Hasan mengatakan: “Disebutkan kepada kami, bahwa ketika kematian datang menjemputnya, dia busungkan dadanya (ke arah negeri tujuan).”
Hadits ini menceritakan kepada kita tentang orang yang telah membunuh 99 jiwa lalu dia menyesal dan bertaubat serta bertanya tentang ahli ilmu yang ada ketika itu. Kemudian ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.
Ternyata ahli ibadah itu hanyalah ahli ibadah, tidak mempunyai ilmu. Rahib tersebut menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan: “Tidak ada taubat bagimu.” Laki-laki pembunuh itu marah lantas membunuh ahli ibadah tersebut. Lengkaplah korbannya menjadi 100 jiwa.
Kemudian dia tanyakan lagi tentang ahli ilmu yang ada di masa itu. Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim. Lalu dia bertanya, apakah ada taubat baginya yang telah membunuh 100 jiwa? Orang alim itu menegaskan: “Ya. Siapa yang bisa menghalangimu untuk bertaubat? Pintu taubat terbuka lebar. Tapi pergilah, tinggalkan negerimu menuju negeri lain yang di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jangan pulang ke kampungmu, karena negerimu adalah negeri yang buruk.”
Akhirnya, lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan kampung halamannya yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta menyesali perbuatan dan dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad meninggalkan dosa yang dia lakukan, memperbaiki diri, mengisi hari esok dengan amalan yang shalih sebagai ganti kezaliman dan kemaksiatan yang selama ini digeluti.
Di tengah perjalanan menuju kampung yang baik, dengan membawa segudang asa memperbaiki diri, Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan dia harus mati.
Takdir dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala jua yang berlaku. Itulah rahasia dari sekian rahasia Allah Yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin ditanya mengapa Dia berbuat begini atau begitu. Tetapi makhluk-Nya lah yang akan ditanya, mengapa mereka berbuat begini dan begitu. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Semua yang ada di alam semesta, baik yang terlihat maupun tidak terlihat adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, ciptaan-Nya dan di bawah pengawasan serta pengaturan-Nya. Dia Yang menentukan setiap perbuatan seorang hamba, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Dia yang memberikan perangkat kepada seorang hamba untuk melakukan sesuatu. Dia pula yang memberi taufiq kepada hamba tersebut ke arah apa yang telah ditakdirkan-Nya.
Pembunuh 100 jiwa itu, adalah salah satu dari makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia ada di bawah kehendak dan kendali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah pasti berlaku pula atasnya. Perbuatan zalim yang dikerjakannya adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat dan penyesalan yang dia rasakan dan dia inginkan adalah takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah beruntungnya dia. Tapi kalau begitu, zalimkah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Kejamkah Dia kepada hamba-Nya?
Jawabnya sudah pasti, tidak. Sama sekali tidak. Dari sisi manapun, Dia bukanlah Dzat yang zalim.
Apakah kezaliman itu? Kezaliman adalah berbuat sesuatu pada hal-hal yang bukan miliknya. Atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Siapakah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan siapakah kita? Milik siapakah kita?
Kita milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia-lah Yang telah menciptakan dan mengatur kita. Dia Maha Tahu yang tepat bagi hamba-Nya. Dia Maha Bijaksana, Dia meletakkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dia Maha Tahu apa yang diciptakan-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Allahu Akbar.
Lelaki itu meninggal dunia. Dia mati dalam keadaan belum ‘beramal shalih’ sekali pun. Dia hanya punya tekad memperbaiki diri, bertaubat dari semua kesalahan. Hal itu terwujud dari keinginannya bertanya kepada mereka yang dianggap berilmu: Apakah ada taubat baginya? Semua itu tampak dari tekadnya pergi meninggalkan masa lalu yang kelam, menyongsong cahaya hidayah dan kebaikan.
Alangkah besar karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya. Alangkah besar rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Tetapi alangkah banyak manusia yang tidak mengetahui bahkan tidak mensyukuri nikmat tersebut.
Sungguh, andaikata kezaliman-kezaliman yang dikerjakan oleh Bani Adam ini harus diselesaikan dengan azab dan siksa di dunia, niscaya tidak akan ada lagi satu pun makhluk yang melata di atas muka bumi ini. Sungguh, seandainya kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dahulu daripada rahmat-Nya, niscaya tidak akan pernah ada rasul yang diutus, tidak ada Kitab Suci yang diturunkan. Tidak ada ulama dan orang shalih serta berilmu yang memberi nasihat, peringatan, dan bimbingan. Bahkan tidak akan ada satu pun makhluk yang melata di muka bumi ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
Kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, di daratan maupun di lautan tidak lain adalah akibat ulah manusia. Sementara kesempatan hidup yang diberikan kepada mereka membuat mereka lupa, bahkan semakin menambah kedurhakaan mereka. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ. وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (Al-Qalam: 44-45)
Maka jelas pulalah bagi kita alangkah jahatnya ucapan orang yang mengatakan: “Saya tidak suka tuhan yang kejam.”
Andaikata yang dia maksud adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ada dua kemungkinan pada diri orang seperti ini, kafir (murtad) atau kurang akalnya (idiot). Apabila sudah dia terima bukti dan keterangan tapi masih menolak dan mengingkari, maka dikhawatirkan dia telah keluar dari Islam.
Betapa luas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Siang malam Dia memerhatikan serta mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tetapi mereka justru menampakkan kebencian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan senantiasa mengerjakan maksiat sepanjang siang dan malam.
Maka dari itu:
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكَ تَتَمَارَى
“Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu?” (An-Najm: 55)
Dan:
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 75)
Di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga adalah seperti yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ. أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Benar-benar Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang kamu yang berada di atas kendaraannya di sebuah tanah padang yang sunyi, lalu kendaraan itu lepas (lari) meninggalkannya, padahal di atasnya ada makanan dan minumannya. Akhirnya dia putus asa mendapatkannya kembali. Maka dia pun mendatangi sebatang pohon lalu berbaring di bawah naungannya, dalam keadaan putus asa dari kendaraannya. Ketika dia dalam keadaan demikian, ternyata tiba-tiba kendaraan itu berdiri di dekatnya. Lalu dia pun menggenggam tali kekangnya dan berkata saking gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabbmu.’ Dia salah ucap karena saking gembiranya.”
Inilah Hakikat Hijrah
Hijrah adalah salah satu kewajiban ajaran Islam, salah satu amalan shalih paling utama, bahkan merupakan sebab keselamatan agama seseorang serta perlindungan bagi imannya. Hijrah terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ialah hijrah meninggalkan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas setiap mukallaf. Maka, orang yang bertaubat dari kemaksiatan yang telah lalu berarti dia telah berhijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan seorang muslim, dibebankan kepadanya agar meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُهَاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Sesungguhnya, muhajir sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ahmad, no. 6912)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sekaligus perintah, meliputi semua perbuatan haram baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini meliputi pula hijrah lahir dan hijrah batin. Hijrah lahir adalah lari membawa tubuhnya menyelamatkan diri dari fitnah. Sedangkan hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang menjadi ajakan hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan dan apa-apa yang dijadikan indah oleh setan. Hijrah kedua ini merupakan dasar bagi hijrah yang pertama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 100)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan:
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya yang sengaja menuju Rabbnya, mengharap ridha-Nya, karena cinta kepada Rasul-Nya, dan demi membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta bukan karena tujuan lain,
ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ
“Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju)”, karena terbunuh atau sebab lainnya,
فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
“Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” Yakni, pahala muhajir yang mencapai tujuannya dengan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dia terima. Hal itu karena dia telah berniat dan bertekad; dia telah memulai kemudian segera mulai mengerjakannya. Maka termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya dan orang-orang seperti dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya pahala sempurna. Meskipun mereka belum mengerjakan amalan mereka secara tuntas, serta mengampuni mereka dengan kekurangan yang ada pada hijrah atau amalan tersebut.
Sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akhiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia dalam firman-Nya:
وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Dia memberi ampunan bagi kaum mukminin yang mengerjakan dosa terutama mereka yang bertaubat kepada Rabb mereka. Dia Maha penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Penyayang kepada kaum mukminin dengan memberi mereka taufiq agar beriman, mengajari mereka ilmu yang menambah keyakinan mereka, memudahkan mereka sebab-sebab menuju kebahagiaan dan kemenangan.
Beberapa Faedah
1. Seorang pembunuh, bisa diterima taubatnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48)
Inilah pendapat jumhur ulama. Adapun pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa tidak ada taubat bagi seorang pembunuh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)
Mungkin bisa dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada taubat sehubungan dengan korban yang terbunuh. Karena si pembunuh terkait dengan tiga hak sekaligus: hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, hak korban yang dibunuhnya, dan hak ahli waris korban (walinya).
Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak disangsikan lagi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya dengan adanya taubat dari pelaku maksiat tersebut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Az-Zumar: 53)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا. يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا. إِلَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا. وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 68-71)
Adapun hak korban yang dibunuhnya, maka taubat si pembunuh tidaklah berguna dan jelas belum tertunaikan hak korbannya, karena korban itu sudah mati. Tidak mungkin pula sampai pada tingkat dia minta penghalalan atau lepas dari tuntutan darahnya. Jadi, inilah yang masih tersisa serta menjadi beban tuntutan di pundak si pembunuh, meskipun dia sudah bertaubat. Sedangkan pada hari kiamat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara di antara mereka.
Sedangkan hak ahli waris (wali) korban, maka taubat si pembunuh juga tidak sah hingga dia menyerahkan dirinya kepada mereka, mengakui perbuatannya, dan menyerahkan kepada mereka, apakah dia harus dihukum mati (qishash), membayar diyat (tebusan), atau mereka memaafkannya.
2. Dalam hadits kisah ini, disyariatkan untuk bertaubat dari semua dosa besar. Mungkin, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang pembunuh, Dia menjamin keridhaan lawan (korban)nya, dan Dia kembalikan kezalimannya. Inilah salah satu rahmat dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kisah ini melarang kita membuat orang lain putus asa dari dosa besar yang dikerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah menerangkan bahwa Dia tidak akan menjadikan kekal di neraka orang yang mati dalam keadaan bertauhid, sebagaimana dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan At-Tirmidzi rahimahullahu:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه ِn يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai Bani Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku, mengharapkan-Ku, niscaya Aku beri ampun kepadamu atas apa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku beri ampunan kepadamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, sungguh, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh itu juga.”
Namun, bisa jadi pula dia diampuni dan tidak masuk neraka sama sekali, atau diazab sebagaimana pelaku maksiat lainnya dari kalangan orang yang bertauhid lalu dikeluarkan menuju ke dalam jannah. Maka janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan pula membuat orang lain berputus asa darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khalil-Nya, Ibrahim :
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)
4. Di dalam kisah ini terdapat pula keutamaan berpindah dari negeri yang di sana seseorang bermaksiat, apakah karena adanya teman dan fasilitas yang mendukung atau hal-hal lainnya.
5. Dari kisah ini pula jelaslah betapa seseorang tidak mungkin selamat dan lolos dari azab kecuali dengan beratnya timbangan kebaikan dirinya meski hanya sebesar biji sawi. Maka dari itu, sudah semestinyalah orang yang bertaubat memperbanyak amal kebaikannya.
6. Termasuk tugas seorang yang bertaubat –kalau dia bukan orang yang berilmu– hendaknya dia pelajari apa saja yang wajib atas dirinya di masa yang akan datang dan apa yang haram dikerjakannya.
7. Perlu pula diingat dalam kisah ini, bahwasanya lingkungan yang baik, bergaul dengan orang shalih akan menambah iman seseorang. Sedangkan segala kerusakan, petaka dan penyimpangan, tumbuhnya tidak lain karena adanya dukungan para setan dan bala tentaranya, termasuk dari kalangan manusia yang senantiasa membuka pintu kelalaian dan syahwat serta tidak mendukungnya kepada kebaikan dan ketaatan.
Sungguh indah peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa misik dan pandai besi. Adapun si pembawa misik (minyak wangi), mungkin dia akan memberimu, atau kamu membeli darinya, atau kamu dapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau kamu dapatkan bau tidak sedap darinya.”
8. Satu hal yang harus kita ingat dari kisah ini, tekad dan niat ikhlas si pembunuh, itulah yang mengantarnya kepada rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat luas. Meski belum mengisi lembaran hidup barunya dengan kebaikan, tetapi tekad dan niat ikhlas ini sangat bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah salah satu buah dan keutamaan tauhid yang murni.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita membersihkan hati kita dari kekotoran syirik dan maksiat sampai kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan membawa hati yang selamat. Amin.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Dikutip dari: www.Asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harist Judul: Pembunuh 100 Jiwa
Thursday, 26 September 2013
Kisah Tiga Orang Terkurung dalam Gua
Peristiwa ini terjadi pada zaman Bani Israil, jauh sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengisahkannya kepada kita berdasarkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا، لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ. فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ: يَا عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ. فَقُمْتُ عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ لَهُمْ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي. فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا. فَأَخَذَهُ فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ. فَفَرَجَ اللهُ مَا بَقِيَ
Ketika ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Perhatikan amalan shalih yang pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.”
Lalu berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah tertidur. Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua orangtuanya, red.) meminumnya. Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.”
Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.
Yang kedua berkata: “Sesungguhnya aku punya sepupu wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita. Aku minta dirinya (melayaniku), tapi dia menolak sampai aku datang kepadanya (menawarkan) seratus dinar. Aku pun semakin payah, akhirnya aku kumpulkan seratus dinar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu. Setelah aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata: ‘Wahai hamba Allah. Bertakwalah kepada Allah. Jangan engkau buka tutup (kiasan untuk keperawanannya) kecuali dengan haknya.’ Maka aku pun berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku melakukannya adalah karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah dari batu ini.”
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membuka satu celah untuk mereka.
Laki-laki ketiga berkata: “Ya Allah, sungguh, aku pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah satu faraq1 beras. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata: ‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan kepadanya beras tersebut, tapi dia tidak menyukainya. Akhirnya aku pun tetap menanamnya hingga aku kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian dia datang kepadaku dan berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan zalimi aku dalam urusan hakku.’
Aku pun berkata: ‘Pergilah, ambil sapi dan penggembalanya.’ Dia berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan mempermainkan saya.’ Aku pun berkata: ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’ Akhirnya dia pun membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami apa yang tersisa.”
Maka Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang menutupi.
Itulah kisah yang diceritakan oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang sangat berharga. Dalam kisah ini terkandung dalil tentang tawassul (perantara) yang dibolehkan, yaitu dengan amal shalih yang pernah dikerjakan.
Orang pertama bertawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dia seorang penggembala, dan makanan pokoknya tergantung kepada susu ternaknya. Kebiasaan orang ini adalah memerah susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi minum kepada kedua orangtuanya sebelum anak dan istrinya.
Betapa banyak di antara manusia saat ini yang berbakti kepada orangtua sesuai keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak dan istrinya, kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya di panti-panti jompo.
Tidak takutkah mereka dengan peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil mengucapkan amin, setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya? Para sahabat yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apa yang anda aminkan, wahai Rasulullah?”
Beliau berkata: “Jibril datang kepadaku lalu berkata –di antaranya–:
رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ آمِيْن
‘Alangkah celakanya seseorang yang mendapati kedua orangtuanya atau salah satunya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke dalam jannah.’ Aku pun berkata: ‘Amiin’.”2
Adapun kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk mencari ladang gembalaan ternaknya, dan tidak kembali kecuali sesudah malam agak larut. Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan susu itu untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu dengan susu itu masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di bawah kakinya.
Sungguh, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa sulitnya keadaan si penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan kambing, lalu bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya menangis di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang ditunjukkan oleh iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan demikian tinggi karena baktinya kepada ibu bapaknya dan semangatnya melakukan hal itu, sehingga menjadi salah satu sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sedikit celah yang menutupi gua itu.
Ini adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran agar berbakti kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan kisahnya.
Orang kedua, dia bertawassul kepada Rabbnya dengan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk meninggalkan perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai dan ingin memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau mengikuti keinginannya, namun wanita itu menolak.
Pada suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi. Hal ini mendorongnya datang menemui si pemuda. Tapi keadaan ini seolah menjadi sebuah kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan syahwatnya. Akhirnya, dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya dan dia siap membantunya. Dengan terpaksa, wanita itu meluluskan keinginan si pemuda setelah dia menerima sejumlah uang yang cukup besar dan diserahkan sebelum dia melayani si pemuda.
Akan tetapi, di saat pemuda itu sudah siap untuk melakukan segala perkara yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan tidak ada lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan bergetar. Pemuda itu bertanya: “Ada apa?” Si wanita mengatakan bahwa dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dia belum pernah melakukan perbuatan keji (zina) sebelum itu. Mendengar ucapan wanita tersebut, pemuda itu segera berdiri dan meninggalkan si wanita yang sangat dicintainya serta harta yang diberikannya untuk si wanita.
Itulah keimanan, yang mendorongnya meninggalkan perbuatan zina. Padahal dia mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta situasi sangat mendukung keinginannya. Tetapi, iman dan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan keji itu dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum muslimin, justru melangkah menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua dikemas dengan label Islam; Pacaran Islami. Bahkan para orangtua mendukung perbuatan tersebut. Mereka merasa bangga bila anak gadisnya bergandengan atau berduaan dengan seorang pemuda, entah teman sekolahnya atau hasil perkenalan di sebuah tempat. Sementara pada diri para pemuda dan pemudinya, rasa minder akan menghinggapinya jika mereka tidak mempunyai pacar.
Jadi, seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja. Na’udzu billahi min dzalik. Maha Suci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan.
Tapi, lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah hampir melakukannya, terhadap wanita yang dicintainya, tanpa ada yang merintangi. Ternyata dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita dan membiarkan harta itu untuknya. Itulah taubat yang membasuh dosa.
Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat laki-laki itu menjauhi putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk berbuat apa saja, tapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat yang dirinya adalah hamba sahaya-Nya. Wanita itu mengingatkannya kepada Allah: “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah!” Artinya, buatlah antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebuah pelindung, dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.
“Bertakwalah kepada Allah, jangan kau buka tutupnya kecuali dengan haknya,” kata wanita itu.
“Lalu aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, maka lepaskanlah kami dari batu ini.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi celah lebih lebar daripada sebelumnya, namun mereka belum dapat keluar.
Apa yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam keadaan dia sudah ada di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan? Tidak ada yang menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang menghentikannya selain kebesaran Rabbnya yang bertahta di hatinya, sehingga menimbulkan rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia segera berdiri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.
Alangkah banyak di antara manusia yang masih suka mengangkangi hak orang lain. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Siapa yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya dia bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Dia sangat murka kepadanya.” (HR. Ahmad)
Bayangkanlah hari yang sangat dahsyat tersebut. Ketika manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, di saat kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait dengan sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Walaupun sebatang kayu arak –untuk siwak–?”
Kata beliau: “Walaupun hanya sebatang kayu arak.”
Artinya, seandainya kita mengambil sebatang kayu arak dari seorang muslim dalam keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya kita akan bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia murka. Lantas, di mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?
Seandainya dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentulah dia seperti orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Kita perhatikan kisah tentang orang ketiga ini.
Dia menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang telah ditentukan, tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah pergi tanpa membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya dikembangkan. Namun, kedermawanan majikan tersebut mendorongnya mengolah upah buruh tadi sehingga bertambah banyak.
Tak lama, dari upah buruh tadi yang tidak seberapa, harta itu berkembang menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang dahulu dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah si buruh diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.
Dia berkata: “Lalu aku berikan kepada buruh itu semua yang telah aku kembangkan dari upahnya. Andai aku mau tentulah tidak aku berikan kepadanya melainkan upahnya semata.” Artinya, dia kuasa untuk tidak memberi buruh tadi harta yang sudah dikembangkannya dalam waktu cukup lama. Akan tetapi, dengan sikap pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang diperoleh dari upah buruh tersebut.
Lalu dia pun berkata: “Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, maka lepaskanlah kami.” Maka batu itu pun bergeser dan mereka berjalan keluar dari gua tersebut.
Melalui kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari petaka/bencana adalah balasan atas amal perbuatan yang shalih. Betapa besar ganjaran yang diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.
Majikan yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah buruhnya adalah cermin bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah itu di sekitar kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan dari pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian atas upayanya mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara di sekitar kita, hal ini justru menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan. Wallahul Musta’an.
Alangkah tepat ungkapan ini:
صَبْراً جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا
مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي الْأُمُوْرِ نَجَا
مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى
وَمَنْ رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ رَجَا
Bersabarlah dengan kesabaran yang indah, alangkah dekatnya jalan keluar
Siapa yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam semua urusan pasti selamat
Siapa yang jujur terhadap Allah tentu tidak akan celaka
Dan siapa yang mengharapkan-Nya tentu Dia ada di mana pun diharap
Jelaslah, dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin ini, di saat mereka ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta putus asa akan datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala satu-satunya, maka mereka pun berlindung dan berdoa kepada-Nya dengan ikhlas, serta menyebutkan amalan-amalan shalih mereka yang dahulu biasa mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu-waktu senang, sambil mengharapkan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan mereka di saat-saat yang sulit. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Ingatlah kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada saat-saat yang sulit.”2
Wallahu a’lam.
1 Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah ukuran yang dipakai untuk menimbang, dan takarannya berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Di Mesir misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1 uqiyah= 12 dirham. 1 dirham sendiri = 3,98 gram perak, berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg. Adapula yang berpendapat 1 uqiyah= 40 dirham, sehingga 1 faraq sekitar 30,5 kg.
2 Shahih Adabul Mufrad (no. 503), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
2 HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan sanadnya sahih dengan syawahid, lihat Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah (hal. 138), karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
Subscribe to:
Posts (Atom)