Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)

Menegakkan shalat

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), [Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Menunaikan zakat

“Ambillah dari harta mereka sedekah / zakat, untuk membersikah mereka serta menghapus kesalahan mereka” (QS At Taubah [9]: 103).

Puasa Ramadhan

“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)

Haji bagi yang mampu

“Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan apapun) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)

Thursday, 26 September 2013

Kisah Tiga Orang Terkurung dalam Gua

Peristiwa ini terjadi pada zaman Bani Israil, jauh sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengisahkannya kepada kita berdasarkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا، لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ. فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ: يَا عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ. فَقُمْتُ عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ لَهُمْ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي. فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا. فَأَخَذَهُ فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ. فَفَرَجَ اللهُ مَا بَقِيَ
Ketika ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Perhatikan amalan shalih yang pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.”
Lalu berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah tertidur. Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua orangtuanya, red.) meminumnya. Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.”
Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.
Yang kedua berkata: “Sesungguhnya aku punya sepupu wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita. Aku minta dirinya (melayaniku), tapi dia menolak sampai aku datang kepadanya (menawarkan) seratus dinar. Aku pun semakin payah, akhirnya aku kumpulkan seratus dinar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu. Setelah aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata: ‘Wahai hamba Allah. Bertakwalah kepada Allah. Jangan engkau buka tutup (kiasan untuk keperawanannya) kecuali dengan haknya.’ Maka aku pun berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku melakukannya adalah karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah dari batu ini.”
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membuka satu celah untuk mereka.
Laki-laki ketiga berkata: “Ya Allah, sungguh, aku pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah satu faraq1 beras. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata: ‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan kepadanya beras tersebut, tapi dia tidak menyukainya. Akhirnya aku pun tetap menanamnya hingga aku kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian dia datang kepadaku dan berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan zalimi aku dalam urusan hakku.’
Aku pun berkata: ‘Pergilah, ambil sapi dan penggembalanya.’ Dia berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan mempermainkan saya.’ Aku pun berkata: ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’ Akhirnya dia pun membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami apa yang tersisa.”
Maka Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang menutupi.
Itulah kisah yang diceritakan oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang sangat berharga. Dalam kisah ini terkandung dalil tentang tawassul (perantara) yang dibolehkan, yaitu dengan amal shalih yang pernah dikerjakan.
Orang pertama bertawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dia seorang penggembala, dan makanan pokoknya tergantung kepada susu ternaknya. Kebiasaan orang ini adalah memerah susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi minum kepada kedua orangtuanya sebelum anak dan istrinya.
Betapa banyak di antara manusia saat ini yang berbakti kepada orangtua sesuai keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak dan istrinya, kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya di panti-panti jompo.
Tidak takutkah mereka dengan peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil mengucapkan amin, setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya? Para sahabat yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apa yang anda aminkan, wahai Rasulullah?
Beliau berkata: “Jibril datang kepadaku lalu berkata –di antaranya–:
رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ آمِيْن
Alangkah celakanya seseorang yang mendapati kedua orangtuanya atau salah satunya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke dalam jannah.’ Aku pun berkata: ‘Amiin’.”2
Adapun kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk mencari ladang gembalaan ternaknya, dan tidak kembali kecuali sesudah malam agak larut. Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan susu itu untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu dengan susu itu masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di bawah kakinya.
Sungguh, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa sulitnya keadaan si penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan kambing, lalu bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya menangis di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang ditunjukkan oleh iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan demikian tinggi karena baktinya kepada ibu bapaknya dan semangatnya melakukan hal itu, sehingga menjadi salah satu sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sedikit celah yang menutupi gua itu.
Ini adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran agar berbakti kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan kisahnya.
Orang kedua, dia bertawassul kepada Rabbnya dengan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk meninggalkan perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai dan ingin memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau mengikuti keinginannya, namun wanita itu menolak.
Pada suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi. Hal ini mendorongnya datang menemui si pemuda. Tapi keadaan ini seolah menjadi sebuah kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan syahwatnya. Akhirnya, dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya dan dia siap membantunya. Dengan terpaksa, wanita itu meluluskan keinginan si pemuda setelah dia menerima sejumlah uang yang cukup besar dan diserahkan sebelum dia melayani si pemuda.
Akan tetapi, di saat pemuda itu sudah siap untuk melakukan segala perkara yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan tidak ada lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan bergetar. Pemuda itu bertanya: “Ada apa?” Si wanita mengatakan bahwa dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dia belum pernah melakukan perbuatan keji (zina) sebelum itu. Mendengar ucapan wanita tersebut, pemuda itu segera berdiri dan meninggalkan si wanita yang sangat dicintainya serta harta yang diberikannya untuk si wanita.
Itulah keimanan, yang mendorongnya meninggalkan perbuatan zina. Padahal dia mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta situasi sangat mendukung keinginannya. Tetapi, iman dan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan keji itu dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum muslimin, justru melangkah menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua dikemas dengan label Islam; Pacaran Islami. Bahkan para orangtua mendukung perbuatan tersebut. Mereka merasa bangga bila anak gadisnya bergandengan atau berduaan dengan seorang pemuda, entah teman sekolahnya atau hasil perkenalan di sebuah tempat. Sementara pada diri para pemuda dan pemudinya, rasa minder akan menghinggapinya jika mereka tidak mempunyai pacar.
Jadi, seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja. Na’udzu billahi min dzalik. Maha Suci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan.
Tapi, lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah hampir melakukannya, terhadap wanita yang dicintainya, tanpa ada yang merintangi. Ternyata dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita dan membiarkan harta itu untuknya. Itulah taubat yang membasuh dosa.
Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat laki-laki itu menjauhi putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk berbuat apa saja, tapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat yang dirinya adalah hamba sahaya-Nya. Wanita itu mengingatkannya kepada Allah: “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah!” Artinya, buatlah antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebuah pelindung, dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.
“Bertakwalah kepada Allah, jangan kau buka tutupnya kecuali dengan haknya,” kata wanita itu.
“Lalu aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, maka lepaskanlah kami dari batu ini.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi celah lebih lebar daripada sebelumnya, namun mereka belum dapat keluar.
Apa yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam keadaan dia sudah ada di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan? Tidak ada yang menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang menghentikannya selain kebesaran Rabbnya yang bertahta di hatinya, sehingga menimbulkan rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia segera berdiri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.
Alangkah banyak di antara manusia yang masih suka mengangkangi hak orang lain. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
Siapa yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya dia bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Dia sangat murka kepadanya.” (HR. Ahmad)
Bayangkanlah hari yang sangat dahsyat tersebut. Ketika manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, di saat kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait dengan sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Walaupun sebatang kayu arak –untuk siwak–?”
Kata beliau: “Walaupun hanya sebatang kayu arak.”
Artinya, seandainya kita mengambil sebatang kayu arak dari seorang muslim dalam keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya kita akan bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia murka. Lantas, di mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?
Seandainya dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentulah dia seperti orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Kita perhatikan kisah tentang orang ketiga ini.
Dia menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang telah ditentukan, tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah pergi tanpa membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya dikembangkan. Namun, kedermawanan majikan tersebut mendorongnya mengolah upah buruh tadi sehingga bertambah banyak.
Tak lama, dari upah buruh tadi yang tidak seberapa, harta itu berkembang menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang dahulu dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah si buruh diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.
Dia berkata: “Lalu aku berikan kepada buruh itu semua yang telah aku kembangkan dari upahnya. Andai aku mau tentulah tidak aku berikan kepadanya melainkan upahnya semata.” Artinya, dia kuasa untuk tidak memberi buruh tadi harta yang sudah dikembangkannya dalam waktu cukup lama. Akan tetapi, dengan sikap pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang diperoleh dari upah buruh tersebut.
Lalu dia pun berkata: “Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, maka lepaskanlah kami.” Maka batu itu pun bergeser dan mereka berjalan keluar dari gua tersebut.
Melalui kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari petaka/bencana adalah balasan atas amal perbuatan yang shalih. Betapa besar ganjaran yang diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.
Majikan yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah buruhnya adalah cermin bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah itu di sekitar kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan dari pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian atas upayanya mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara di sekitar kita, hal ini justru menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan. Wallahul Musta’an.
Alangkah tepat ungkapan ini:
صَبْراً جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا
مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي الْأُمُوْرِ نَجَا
مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى
وَمَنْ رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ رَجَا
Bersabarlah dengan kesabaran yang indah, alangkah dekatnya jalan keluar
Siapa yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam semua urusan pasti selamat
Siapa yang jujur terhadap Allah tentu tidak akan celaka
Dan siapa yang mengharapkan-Nya tentu Dia ada di mana pun diharap
Jelaslah, dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin ini, di saat mereka ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta putus asa akan datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala satu-satunya, maka mereka pun berlindung dan berdoa kepada-Nya dengan ikhlas, serta menyebutkan amalan-amalan shalih mereka yang dahulu biasa mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu-waktu senang, sambil mengharapkan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan mereka di saat-saat yang sulit. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Ingatlah kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada saat-saat yang sulit.”2
Wallahu a’lam.
1 Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah ukuran yang dipakai untuk menimbang, dan takarannya berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Di Mesir misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1 uqiyah= 12 dirham. 1 dirham sendiri = 3,98 gram perak, berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg. Adapula yang berpendapat 1 uqiyah= 40 dirham, sehingga 1 faraq sekitar 30,5 kg.
2 Shahih Adabul Mufrad (no. 503), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
2 HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan sanadnya sahih dengan syawahid, lihat Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah (hal. 138), karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.

Saturday, 21 September 2013

Kisah Ashhabul Ukhdud


Peristiwa Ashhabul Ukhdud adalah sebuah tragedi berdarah, pembantaian yang dilakukan oleh seorang raja kejam kepada jiwa-jiwa kaum muslimin, ini merupakan kebiadaban dan tindakan tak berpreikemanusiaan; namun akidah tetaplah harus dipertahankan, karena dengannyalah kebahagiaan yang abadi akan diperoleh. Allah mengisahkan kejadian tragis ini dalam Alquran dengan firman-Nya:
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Buruju: 4-7)
Para ahlul ilmi sedikit berselisih dalam menafsirkan siapakah Ashhabul Ukhdud. Sebagian di antara mereka (ahlul ilmi) mengatakan bahwa mereka (Ashhabul Ukhdud) adalah suatu kaum yang termasuk orang-orang ahli kitab dari sisa-sisa orang Majusi.
Ibnu Abbas dalam suatu riwayat mengatakan: “Mereka adalah sekelompok manusia dari bani Isra’il. Mereka menggali parit yang luas di suatu tempat kemudian menyalakan api, orang-orang berdiri dihadapkan kepada parit, baik laki-laki maupun wanita, kemudian mereka dilemparkan ke dalamnya. Mereka menganggap bahwa dia adalah Daniel dan para sahabatnya.”
Dan dalam riwayat: “Hal itu adalah sebuah lubang parit di negeri Najran, di mana mereka menyiksa manusia di dalamnya.”
Sedangkan dalam riwayat Adl-Dlohak, beliau mengatakan: “Para ahli tafsir menyangka bahhwa Ashhabul Ukhdud adalah orang-orang dari bani Israil, di mana mereka meringkus manusia baik laki-laki maupun wanita, lalu dibuatkanlah parit dan dinyalakan api dalam parit tersebut, lalu dihadapkanlah seluruh kaum mu’minin ke arah parit tersebut, seraya dikatakan: ‘Kalian (memilih) kufur atau dilemparkan ke dalam api?” (Tafsir Ath-Thabari, 30/162)
Kisah tragis ini pun kerap disampaikan oleh para pengajar kepada para muridnya. Bahkan pada kisah anak-anak pun sering disajikan. Kisah tersebut ialah sebagai berikut:
Dahulu ada seorang raja, dari orang-orang sebelum kalian. Dia memiliki seorang tukang sihir. Tatkala tukang sihir itu sudah tua, berkatalah ia kepada rajanya: “Sesungguhnya aku telah tua. Utuslah kepadaku seorang anak yang akan aku ajari sihir.” Maka sang raja pun mengutus seorang anak untuk diajari sihir. Setiap kali anak tersebut datang menemui tukang sihir, di tengah perjalanan ia selalu melewati seorang tabib, ia pun duduk mendengarkan pembicaraan rahib tersebut, sehingga ia kagum kepadanya. Maka setiap kali ia datang ke tukang sihir, ia selalu duduk dan mendengarkan petuah rahib itu, kemudian baru ia datang ke tukang sihir sehingga tukang sihir itu memukulnya (karena ia datang terlambat, red.). ia mengadukan hal itu kepada rahib tadi, sang rahib pun berpesan: “Kalau engkau takut kepada tuakng sihir, katakanlah bahwa keluargamu telah menghalangimu (sehingga engkau terlambat), dan bila engkau takut kepada keluargamu, katakan juga bahwa tukang sihir itu telah mencegahmu. Maka tatkala berlangsung demikain, tiba-tiba ada seekor binatang buas mengonggok di tengah jalan sehingga menghalangi lalu-lalangnya manusia. Menghadapi peristiwa ini maka ia pun bergumam: “Pada hari ini akan aku buktikan apakah tukang sihir itu lebih utama dari pada rahib, ataukah sebaliknya.”
Ia pun mengambil sebuah batu kemudian mengatakan: “Ya Allah, apabila perkara rahib lebih engkau sukai daripada tukang sihir, maka bunuhlah binatang buas itu.” Kemudian ia lemparkan batu tersebut, sehingga matilah binatang buas tadi dan manusia pun bisa lewat kembali. Sesudah itu datang lah ia kepada rahib dan mengabarkan kejadian yang baru saja ia alami, kemudian sang rahib mengatakan:
“Wahai anakku, hari ini engkau lebih baik daripada aku, dan engkau telah sampai pada perkara yang aku sangka. (ketahuilah) sesungguhnya engkau akan diuji, dan bila engkau diuji, janganlah engkau tunjukkan tentang diriku.”
Dan kini ia dapat menyembuhkan penyakit buta, penyakit kusta, serta dapat mengobati manusia dari berbagai macam penyakit.
Hal ini terdengar oleh seorang teman duduk raja, sedangkan dia adalah seorang yang buta, kemudian ia membawa harta yang banyak seraya mengatakan: “Aku akan berikan harta ini kepadamu bila engkau bersedia menyembuhkan penyakitku.” Maka sang anak menjawab, “Sesungguhnya aku tidaklah bisa menyembuhkan siapapu, yang bisa menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah maka aku akan berdoa kepada-Nya untuk kesembuhanmu.” Maka ia pun beriman kepada Allah dan Allah pun menyembuhkan penyakitnya. Kemudian datanglah dia menemui sang raja dan duduk sebagaimana biasanya, sang raja pun heran seraya mengatakan: “Siapakah yang telah mengembalikan pandanganmu?” maka ia menjawab: “Rabb-ku.” Sang raja melanjutkan: “Apakah engkau memiliki tuhan selain aku?!!” Jawabnya, “Ya, Dia adalah Rabb-ku dan Rabb-mu juga.” Maka sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada anak tersebut. Didatangkanlah si anak itu, kemudian sang raja berujar: “Wahai anakku, sekarang engkau telah memiliki kepandaian sihir, sehingga bisa menyembuhkan orang yang buta dan juga bisa menyembuhkan penyakit kusta dan lain sebagainya.” Sang anak balik menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, dan hanya Allah-lah yang bisa menyembuhkan.”
Akhirnya sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada rahib. Maka didatangkanlah si rahib, kemudian dikatakan kepadanya: “Berhentilah dari agamamu!!” Ia pun enggan. Maka sang raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat di tengah kepalanya, dan dibelahlah tubuhnya sampai terbelah menjadi dua bagian. Kemudian didatangkan pula teman duduk sang raja tersebut, dan dikatakan kepadanya: “Berhentilah dari agamamu!!” Demikian pula, ia pun enggan, kemudian ditaruh gergaji itu di atas kepalanya, lantas dibelahlah tubuhnya hingga terbelah.
Selanjutnya didatangkanlah sang anak, dan dikatakan kepadanya: “Berhentilah dari agamamu!!” Ia pun menolak.
Kemudian ia dilemparkan kepada sekelompok prajurit raja, dan dikatakan: “Pergilah kalian ke gunung ini dan gunung ini, mendakilah sampai di puncak gunung, apabila ia mau berhenti dari agamanya selamatkan dia, dan kalau tidak, maka lemparkan ia ke dasar jurang.”
Maka mereka pun pergi, kemudian naik, dan tatkala berada di atas gunung sang anak berdoa: “Ya Allah! Jagalah diriku dari tipudaya mereka sekehendak-Mu.” Tiba-tiba bergetarlah gunung tersebut dan semua prajurit raja jatuh berguguran ke bawah jurang, kemudian kembalilah sang anak menemui sang raja. Ia heran dan mengatakan: ‘Apa yang terjadi pada para sahabatmu?” Sang anak menjawab: “Sesungguhnya Alalh telah menjagaku dari makar mereka.” Maka kembali sang raja melemparkannya ke sekelompok prajuritnya yang lain, kalai ini perintah sang raja: “Pergilah kalian dan bawalah anak ini ke sebuah perahu, apabila kalain telah ke tengah laut, maka apabila ia mau berhenti dari agamanya selamatkanlah ia, kalau ia tetap enggan, lemparkanlah ia ke tengah lautan!”
Maka mereka pun pergi, setelah sampai di tengah laut, sang anak pun berdoa: “Ya Allah! Jagalah diriku dari tipudaya mereka sekehendak-Mu.” Maka perahu itu pun terbalik, namun Allah tetap menyelematkannya dan tenggelamlah seluruh prajurit raja. Kembalilah sang anak datang menemui sang raja, ia pun terkejut seraya mengatakan: “Apa yang terjadi pada para sahabatmu?” Sang anak menjawab, “Allah telah menjagaku dari makar mereka.” Kemudian ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya engkau tidak akan pernah bisa membunuhku, kecuali bila engkau mau menuruti permintaanku.” Sang raja menjawab, “Apakah itu? Sang anak melanjutkan, “Kumpulkanlah seluruh manusia pada satu tempat, kemudian saliblah aku di sebuah pohon kurma, kemudian ambillah satu anak panah dari tempat anak panahku, letakkan anak panah itu di busurnya, kemudian katakanlah “Bismilah Rabbil ghulam (dengan nama Allah Rabb-nya anak ini).’ Kemudian lepaskanlah anak panah tersebut. Dengan begitu engkau bisa membunuhku.”
Maka sang raja pun mengumpulkan manusia pada suatu padang yang luas. Dia menyalib anak tersebut pada sebuah batang kurma, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempat anak panahnya dan diletakkan di sebuah busur, kemudian mengatakan: “Bismillah Rabbin ghulam (Dengan menyebut nama Allah, Rabb anak ini).” Kemudian panah itu dilepaskan, maka anak panah itu melesat tepat mengenai pelipis sang anak, setelah itu Ia meletakkan tangannya di pelipisnya kemudian meninggal.
Maka manusia seluruhnya mengucapkan, “Aamanna bi Rabbil ghulam (Kami beriman kepada Allah Rabb-nya anak tersebut).” Maka dikatakan kepada sang raja: “(Wahai sang raja!) Tahukah engkau, perkara yang selama ini kau khawatirkan telah terjadi. Sungguh manusia seluruhnya telah beriman.” Maka sang raja memerintahkan untuk membuat sebuah parit di dekat pintu-intu jalan dan membuat lubang panjang. Lalu dinyalakanlah api kemudian ia berorasi: “Barangsiapa yang tidak mau kembali dari agamanya, maka lemparkanlah ke dalam parit tersebut.” Atau sehingga dikatakan, “Lemparkanlah!!” maka mereka pun melemparkan seluruhnya. Sampai datang seorang wanita bersama bayinya, ia seorang wanita bersama bayinya, ia berputus asa, berdiri lemas tanpa daya menghadap jurang parit yang tengah berkobar api, tiba-tiba sang bayi berucap, “Wahai ibuku.. bersabarlah, sesungguhnya engkau dalam kebenaran…!”
(Hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam kitab Az-Zuhd bab “Qishashotu Ash-habil Ukhdud was Sahir war Rahib wal Ghulam: 3005)

Mutiara faidah dari kisah pemuda dan tukang sihir (Ashhabul Ukhdud)
Ahlul fasad (para pengusung kesesatan) selalu berusaha untuk menularkan dan mewariskan kesesatan mereka, dengan berupaya sekuat tenaga untuk melanggengkan kesesatannya tersebut.

Disenanginya belajar di kala kecil, karena belajar di kala kecil seperti mengukir di atas batu, dan seorang anak akan mampu menerima didikan dan pengajaran sesuai dengan yang diharapkan.

Hati-hati para hamba adalah berada di Tangan Allah, maka Allah akan memberi petunjuk atau menyesatkan siapapun yang dikehendaki-Nya. Lihatlah si anak tersebut, ia mendapatkan petunjuk sekalipun berada dalam didikan tukan sihir dan dalam asuhan seorang raja sesat.

Menetapkan adanya karomah para wali, mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, seperti dalam firman-Nya: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Bolehnya bagi seseorang untuk mengorbankan dirinya apabila di sana ada kemaslahatan manusia secara umum. Berkata Syaikhul Islam, “Karena hal itu termasuk jihad di jalan Allah, dengan itu umat akan beriman dan ia pun tidak akan sia-sia, karena cepat atau lambat ia pun pasti akan meninggal dunia” Adapun yang dilakukan oleh sebagian manusia dengan praktek bom bunuh diri, yaitu dengan membawa alat peledak (bom) kemudian meledakkannya di sekelompok orang-orang kafir, maka ini termasuk kategori membunuh diri sendiri, dan barangsiapa yang membunuh diri sendiri maka ia kekal di dalam neraka selama-lamanya. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits: “Barangsiapa membunuh dirinya dengan sebatang besi, maka besi itu berada di tangannya, lantas ia akan menusuk perutnya dengannya di neraka jahannam, dia kekal selama-lamanya di dalamnya.” (HR. Bukhari 5778, Muslim: 109). Karena perilakus emacam itu tidak membawa maslhat bagi kaum muslimin secara keseluruhan. Dengan itu, ia mungkin hanya membunuh 10, 100, atau 200 kaum kuffar, yang hal tersebut tidak membawa manfaat bagi Islam dan tidak pula menjadikan manusia masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah ghulam (anak) tersebut. (Lihat Bahjatun Nadhirin karya Syaikh Salim bin Id Al-Hilali 1/86-88, Syarh Riyadlush Shalihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin: 156-166).
Wallahul Muwaffiq.
Sumber: Majalah Al-Furqon

Taubatnya Fudhail Bin Iyadh


Hidayah merupakan karunia Allah. Dia memberikannya kepda siapa saja yang dikehendakinya. Termasuk kepada penjahat sekalipun. Imam adz-Dzahabi pernah menceritakan kisah seorang pencuri yang bertaubat , kekmudian dia menjadi seorang ulama. Beliau menceritakan,” Adalah Al fudhail bin Iyadh dulunya sorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu warda dan Sirjis. Awal mulanya beliau pernah terpikat seorang wanita> Suatu malalm beliau menyelinap ke rumah wanita tersebut, ketika beliau memanjat tembok, tiba-tiba saja beliau mendengar seserang membaca ayat
“Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna meningat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang tleh turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq (QS Al Hadid 16)
Tatkala mendengarnya beliau gemetar dan berkata, “ Tentu saja wahai rabb ku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).  Belliau pun turun ke reruntuhan bangunan, tempat beliau tinggal. Tiba-tiba saja sekelompok orang yang lewat. Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus!” dan sebagian yang lain berkata,” Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini,” fudhail menceritakan ,”Kemudian aku merenung dan bergumam.” aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku bertaubat kepadaMu dan aku jadikan taubat itu denga tinggal di Baitul Haram.
AYat itulah yang menyadarkan seorang Fudhail bin Iyadah dari kelalaian yang panjang. Hingga akhirya beliau menjadi ulama senior di kalangan tabi’in, sekaligus dikenal sebagi ahli ibadah yang zuhud. Ayat itu pula yang menyadarkan Malik  bin Dinar yang pada gilirannya menjadi ulama terkemuka di zamannya..
Ayat di atas menjadi teguran yang halus, sekaligus menohok’ terhadap orang-orang yang telah menyatakan  dirinya beriman.  Halus, karena ALLah  menyentuh dengan sapaan “orang-orang yang beriman.” Bukan dengan kalilmat “orang-orang yang durhaka”. Menohok karena setiap orang yang merasa  dirinya beriman pasti terhenyak ketika menghayati ayat ini. Ini menimbulkan kesadaran, betapa tidak layaknya seseorang sebagai orang beriman,Jika hati dan perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang beriman- Yang terkadang masih menyepelekan dosa-dosa, menomor duakan perintah Allah dan RasulNya. Ditambah lagi merasa enjoy berlama-lama dengan kondisi seperti itu.
Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya seorang mukmin membayangkan dosa-dosanya seperti duduk di kaki gunung dan ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan seorangyang pendosa menganggap dosanya seperti lalat yang hinggap dihidungnya lalu dikibasnya (HR Tirmidzi)
.Para sahabat yang demikian taat pun menganggap bahwa ayat ini sebagai teguran untuk mereka. Abdullah bin Mas’ud berkata, Jarak antara keislaman kami dengan teguran Allah pada ayat ini adalah 4 tahun,: sementara Abdullah bin Abbas mengatakan “ Sesungguhnya Allah menganggp lambat hati orang-orang dalam merespon (ayat-ayatnya) lalu Allah menegur mereka setelah 13 tahun sejak diturunkannya ayat !” yakni teguran dengan ayat ini.
Jika demikian, tentulah kita lebih layak menjadi obyek dari teguran Allah dalam ayat ini. Memang kita telah banyak mendengar ayat Allah dibacakan, juga membaca dan mempelajarinya, alhamdulillah. Namun jujur  kadang hati dan jasad belum juga khusyuk. Hati belum fokus dan konsen terhadap peringatan dari Allah . Ayat-ayat dan hadits Nabi saw tentang larangan, sering pula mampir di telinga, ancamannya pun kerap kita baca. Namun seberapakah efek peringatan itu terhadap hati dan tindakan kita? Seakan masih menunggu waktu  atau masih merasa panjang waktu kita untuk bersenang-senang dan bersibuk-sibuk dengan dunia. Seolah kita tahu berapa jatah umur kita hidup di dunia lalu dengan ‘pede’nya merencanakan  untuk menyisihkan waktu saat taubat beberapa saat saja diujung usia. Alangkah lancangnya kita dengan taqdir Allah. Kita lupa bahwa angan-angan manuis itu melampui batas ajalnya. Kematian bisa saja datang sebelum kita menyelesaikan separuh atau bahkan seperempat dari rencan yang kita buat.
Sementara setan terus menghembuskan bisikan yang memabukkan’ dan berdampak mematikan hati. Bisikan itu adlah ‘taswif , bujukan utntuk menunda kebaikan dan taubat dengan kalimat beracun, “nanti  !” Setan membisikan kata itu setiap kali tercetus hasrat di hati untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karena itulah, Ibnul qayyim Al Jauziyah mengatakan ‘innat taswif min junuudi ibllis’, sesungguhnya taswif (mengatakan nanti untuk kebaikan) adalah satu tentara iblis”.
Membaca ayat di atas mestinya kita tersadar, Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertaubat dan menyuruh kita bersegera kembali kepadaNya setelah sekian lama teledor dan lalai. Dan kita tidak tahu, seberapa lama lagi Allah masih memberi kesempatan dan menunggu kita untuk memperbaiki diri..
Allahuma a inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadtika… Ya Allah aku memohon pertolongan Mu untuk bisa  mengingatMu dan bersyukur kepadaMu serta dalam khusyu beribadah kepadaMu

Wallahu a’lam bis shawwab.
(disadur, AR Risalah Media , Menata Hati menyentuh Ruhani)

Abdullah Bin Zubeir r.a



Ketika menempuh padang pasir yang panas bagai menyala dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah yang terkenal itu, ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya. Demikianlah telah menjadi taqdir bagi Abdullah bin Zubeir melakukan hijrah bersama Kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, masih tersimpan dalam perut ibunya .
Ibunya Asma, – semoga Allah ridla kepadanya dan ia jadi ridla kepada Allah – setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, datanglah saat melahirkan, dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuklah ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya muhajirin lainnya dari shahabat-shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam … !
Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu, dibawa kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di rumahnya di Madinah, maka diciumnya kedua pipinya dan dikecupnya mulutnya, hingga yang mula pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Zubeir itu ialah air selera Rasulullah shallallahu alaihi i wasallam yang mulia.

Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir. Latar belakangnya ialah karena tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang- orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap Kaum Muslimin.
Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir Kaum Muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka… !
Maka tatkala Abdullah bin Zubeir muncul dari alam gaib, hal itu merupakan suatu kenyataan yang digunakan taqdir untuk menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu muslihat mereka … !
Di masa hayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , Abdullah belum mencapai usia dewasa. Tetapi lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, telah membentuk kerangka kepahlawanan dan prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini menjadi buah bibir orang dan tercatat dalam sejarah dunia. Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjukkan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda, seorang yang suci, tekun beribadat, hidup sederhana dan perwira tidak terkira ….
Demikianlah hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabiatnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. Ia benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa….
Sewaktu pembebasan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel, ia yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampak sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terlukis sepanjang masa ….
Dalam pertempuran di Afrika sendiri, Kaum Muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu tentara, pernah menghadapi musuh yang berkekuatan sebanyak seratus duapuluh ribu orang.
Pertempuran berkecamuk, dan pihak Islam terancam bahaya besar! Abdullah bin Zubeir melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri. Tak putus-putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkitkan semangat mereka dengan cara istimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut ….
Abdullah maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatunya panglima yang menakutkan ini. Tetapi betapa caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh … !
Tetapi semangat dan keberanian Ibnu Zubeir tak perlu diragukan lagi untuk selama-lamanya… ! Dipanggilnya sebagian kawan-kawannya, lalu katanya: “Lindungi punggungku dan mari menyerbu bersamaku… !” Dan tak ubah bagai anak panah lepas dari busurnya, dibelahnya barisan yang berlapis itu menuju raja musuh, dan demi sampai di hadapannya, dipukulnya sekali pukul, hingga raja itu jatuh tersungkur. Kemudian secepatnya bersama kawan-kawannya, ia mengepung tentara yang berada di sekeiiling raja dan menghancurkan mereka …,lalu dikumandangkannya Allahu Akbar… !
Demi Kaum Muslimin melihat bendera mereka berkibar di sana, yakni di tempat panglima Barbar berdiri menyampaikan perintah dan mengatur siasat, tahulah mereka bahwa kemenangan telah tercapai. Maka seolah-olah satu orang jua, mereka menyerbu ke muka, dan segala sesuatu-pun berakhir dengan keuntungan di pihak Muslimin … !
Abdullah bin Abi Sarah, panglima tentara Islam, mengetahui peranan penting yang telah diiakukan oleh Ibnu Zubeir. Maka sebagai imbalannya disuruhnya ia menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah terutama kepada khalifah Utsman bin Affan….
Hanya kepahlawanannya dalam medan perang bagaimana juga unggul dan luar biasanya, tetapi itu tersembunyi di balik ketekunannya dalam beribadah ….Maka orang yang mempunyai tidak hanya satu dua alasan untuk berbangga dan menyombongkan dirinya ini akan menakjubkan kita karena selalu ditemukan dalam lingkungan orang-orang shaleh dan rajin beribadat.
Maka baik derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi seorang laki-laki abid yang berpuasa di siang hari, bangun malam beribadat kepada Allah dengan hati yang khusu’ niat yang suci.
Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah: “Cobalah ceritakan kepada kami kepribadian Abdullah bin Zubeir!” Maka ujarnya: “Demi Allah! Tak pernah kulihat Jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya! Ia tekun melakukan shalat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya. … Ia ruku dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangkanya dinding tembok atau kain yang tergantung. Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia shalat, tetapi demi Allah, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu ruku nya.
Memang, berita-berita sebenamya yang diceritakan orang tentang ibadat Ibnu Zubeir, hampir merupakan dongeng. Maka di dalam shaum dan shalat, dalam menunaikan haji dan serta zakat, ketinggian cita serta kemuliaan diri dalam bertenggang di waktu malam – sepanjang hayatnya – untuk bersujud dan beribadat, dalam menahan lapar di waktu siang, – juga sepanjang usianya – untuk shaum dan jihadun nafs …, dan dalam keimanannya yang teguh kepada Allah …dalam semua itu ia adalah tokoh satu-satunya tak ada duanya .
Pada suatu kali Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ditanyai orang mengenai Ibnu Zubeir. Maka walaupun di antara kedua orang ini terdapat perselisihan paham, Ibnu Abbas berkata: “Ia adalah seorang pembaca Kitabullah, dan pengikut sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, tekun beribadat kepada-Nya dan shaum di siang hari karena takut kepada-Nya.. ·
Seorang putera dari pembela Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan ibunya ialah Asma puteri Shiddiq, sementara mak-tuanya ialah Khadijah istri dari Rasululiah shallallahu alaihi wasallam. Maka tak ada seorang pun sedang membicarakan khalifah yang telah pergi berlalu bernama Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, tanpa mengindahkan tata-tertib kesopanan dan tidak didasari oleh kesadaran, mereka dicelanya, katanya: “Demi Allah, aku tak sudi meminta bantuan dalam menghadapi musuhku kepada orang-orang yang membenci Utsman “~ Pada saat itu ia sangat memerlukan bantuan, tak ubah bagai seorang yang tenggelam membutuhkan pertolongan, tetap uluran tangan orang tersebut ditolaknya Keterbukaannya terhadap diri pribadi serta kesetiaannya terhadap aqidah dan prinsipnya, menyebabkannya tidak peduli kehilangan duaratus orang pemanah termahir yang Agama mereka tidak dipercayai dan berkenan di hatinya! Padahal waktu itu ia sedang berada dalam peperangan yang akan menentukan hidup matinya, dan kemungkinan besar akan berubah arah, seandainya pemanah-pemanah ahli itu tetap berada di sampingnya.,,.!
Kemudian pembangkangannya terhadap Muawiyah dan puteranya Yazid sungguh-sungguh merupakan kepahlawanan! Menurut pandangannya, Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat … ! Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga, Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka betapa Ibnu Zubeir akan mau baiat kepadanya, ?
Kata-kata penolakannya terhadap Muawiyah selagi ia masih hidup amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubeir mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak membaiat pada Yazid … ? Ketika itu Ibnu Zubeir memberikan jawabannya: “Kapan pun, aku tidak akan baiat kepada si pemabok … !” kemudian katanya berpantun : “Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut “.
Ibnu Zubeir tetap menjadi Amirul Muminin dengan mengambil Mekah al-Mukarramah sebagai ibu kota pemerintahan dan membentangkan kekuasaannya terhadap Hijaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan dan seluruh Syria kecuali Damsyik, setelah ia mendapat baiat dari seluruh warga kota-kota daerah tersebut di atas.
Tetapi orang-orang Banu Umaiyah tidak senang diam dan berhati puas sebelum menjatuhkannya, maka mereka melancarkan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan. Hingga akhirnya datanglah masa pemerilitahan Abdul Malik bin Marwan yang untuk menyerang Abdullah di Mekah itu memilih salah seorang anak manusia yang paling celaka dan paling merajalela dengan kekejaman dan kebuasannya … ! Itulah dia Hajjaj ats-Tsaqafi, yang mengenai pribadinya, Umar bin Abdul Aziz, Imam yang adil itu pernah berkata: “Andainya setiap ummat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedang kami hanya datang dengan kesalahan Hajjaj seorang saja, maka akan lebih berat lagi kesalahan kami dari mereka semua… !”
Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang upahannya, Hajjaj datang memerangi Mekah ibukota Ibnu Zubeir. Dikepungnya kota itu serta penduduknya, selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapat makanan dan air, dengan harapan agar mereka meninggalkan Ibnu Zubeir sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara. Dan karena tekanan bahaya kelaparan itu banyaklah yang menyerahkan diri, hingga Ibnu Zubeir mendapatkan dirinya tidak berteman atau kira-kira demikian ….
Dan walaupun kesempatan untuk meloloskan diri dan menyelamatkan nyawanya masih terbuka, tetapi Ibnu Zubeir memutuskan akan memikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Maka ia terus menghadapi serangan tentara Hajjaj itu dengan keberanian yang tak dapat dilukiskan, padahal ketika itu usianya telah mencapai tujuh puluh tahun Dan tidaklah dapat kita melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali jika kita mendengar percakapan yang berlangsung antara Abdullah dengan ibunya yang agung dan mulia itu, Asma binti Abu Bakar, yakni di saat-saat yang akhir dari kehidupannya. Ditemuinya ibunya itu dan dipaparkannya di hadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitupun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi ….
Kata Asma kepadanya: “Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu! Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, maka shabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabisan. Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah … ! Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas bersamamu!”
Ujar Abdullah: “Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya… ! Dan sekali-kali tidaklah anakanda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas … !”
Kata Asma pula: – Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya, Engkau terima disertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubeir ini, pahalanya orang-orang yang shabar dan bersyukur … !”
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal.. Dan beberapa saat kemudian, Abdullah bin Zubeir terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, hingga syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya. Peristiwa itu menjadikan Hajjaj kuasa Abdul Malik bin Marwan berkesempatan melaksanakan kebuasan dan dendam kesumatnya, hingga tak ada jenis kebiadaban yang lebih keji kecuali dengan menyalib tubuh syahid suci yang telah beku dan kaku itu.
Bundanya, wanita tua yang ketika itu telah berusia sembilan puluh tujuh tahun, berdiri memperhatikan puteranya yang disalib. Dan bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia tegak menghadap ke arahnya tanpa bergerak. Sementara itu Hajjaj datang menghampirinya dengan lemah lembut dan berhina diri, katanya: “Wahai ibu, Amirui Muminin Abdulmalik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan balk … !” “Maka adakah kiranya keperluan ibu ?. Bagaikan berteriak dengan suara berwibawa wanita itu berkata: “Aku ini bukanlah ibumu … ! Aku adalah ibu dari orang yang disalib pada tiang karapan ..!
Tiada sesuatu pun yang kuperlukan daripadamu. Hanya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah Hadits yang kudengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sabdanya:
“Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang durjana …! Adapun si pembohong telah sama-sama kita hetahui ….!Adapun si durjana, sepengetahuanku hanyalah kamu ”
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu datang menghiburnya dan mengajak- nya bershabar. Maka jawabnya: — “Kenapa pula aku tidak akan shahar, padahal kepala Yahya bin Zakaria sendiri telah diserahkan kepada salah seorang durjana dari durjana-durjana Bani Israil !”.
Oh, alangkah agungnya anda, wahai puteri Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu anhu … ! Memang, adakah lagi kata-kata yang lebih tepat diucapkan selain itu kepada (,rang-orang yang telah memisahkan kepala Ibnu Zubeir dari tubuhnya sebelum mereka menyalibnya !
Tidak salah! Seandainya kepala Ibnu Zubeir telah diberikan sebagai hadiah bagi Hajjaj dan Abdul Malik, maka kepala Nabi yang mulia yakni Yahya alaihissalam dulu juga telah diberikan sebagai hadiah bagi Salome, seorang wanita yang durjana dan hina dari Bani Israil … ! Sungguh, suatu tamsil yang tepat dan kata-kata yang jitu … !
Kemudian mungkinkah kiranya bagi Ahdullah bin Zubeir akan melanjutkan hidupnya di bawah tingkat yang amat tinggi dari keluhuran, keutamaan dan kepahlawanan ini, sedang yang menyusukannya ialah wanita yang demikian corak bentuk-nya .
Salam kiranya terlimpah atas Abdullah … ! Dan kiranya terlimpah pula atas Asma…!
Salam bagi kedua mereka di lingkungan syuhada yang tidak pernah fana… !
Dan di lingkungan orang-orang utama lagi bertaqwa.

Wallahu a’lam bis shawwab.


Sumber
Suaramedia.com

Sunday, 1 September 2013

Sejarah Mazhab



Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”
Sebelum ditinjau sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu maksud perkataan “Mazhab” dan “Imam” itu sendiri.

Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa bererti “jalan” atau “the way of”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.

Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap daripada kumpulan mazhab akidah ini mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya yang tersendiri. Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali.[1]

Mazhab fiqh pula, sebagaimana terang Huzaemah Tahido, bererti:
Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Ianya juga bererti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.[2]

Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal. Pengertian mazhab ini kemudiannya beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sesebuah wilayah atau negara. Ianya menjadi sumber rujukan dan pegangan yang diiktiraf sebagai ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran asli al-Qur’an dan al-Sunnah.

Perkataan “Imam” dari sudut bahasa bererti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud selari dengan konteks penggunaannya, iaitu:
1. Imam sebagai pemimpin solat berjamaah.
2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komuniti orang-orang Islam.
3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber pembelajaran dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmu, autoriti mereka hanyalah terhad kepada apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
4.Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam sebegini hanya khusus bagi Mazhab Syi‘ah. Imam-imam ini bukan sahaja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki autoriti dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa terhad kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.[3]

Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam
Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat iaitu Maliki, Hanafi, Shafi‘e dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasid, iaitu sejak kurun ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya boleh dilihat dalam 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rashidun yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyad dan Abbasid di mana pada ketika inilah mazhab-mazhab Islam mula muncul dan berkembang.
3. Pada era kejatuhan Islam, iaitu mulai kurun ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4. Era kebangkitan semula Islam dan ilmu-ilmunya sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.[4]

Era Pertama
Era ini bermula sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, iaitu Islam. Pada ketika ini sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan tunjuk ajar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat menerima dan belajar secara bertahap.

Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bertindak sebagai guru. Ini sebagaimana dikhabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:

(Sebagaimana) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (iaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2: 151]

Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadis. Hadis beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:

Dan dia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]

Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk tunjuk ajar wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bertindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan apa-apa perbuatan umat pada ketika itu yang salah atau kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Hurairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap iaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.

Ketika aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Hurairah?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”[5]

Daripada keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahawa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama ini hanyalah apa yang bersumber daripada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada ketika ini fiqh Islam mudah dipelajari dan sebarang kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.[6]

Selepas kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rashidun iaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telahpun lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rashidun meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, iaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya wujud satu perbezaan yang besar pada ketika ini, iaitu wahyu tidak lagi diturunkan.

Dalam era empat khalifah ini, sempadan-sempadan Islam sudah mula meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan pembukaan ini, para khalifah Islam sekali-sekala terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum ini yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, hartanah dan sebagainya. Bagi mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara dengan para sahabat (Shura) bagi memperoleh satu jawapan majoriti yang paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.

Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang berperkara kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ia. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para sahabat.

Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan jika Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju) iaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu.

Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.[7]

Pada ketika ini, para sahabat kebanyakannya masih berada di sekitar Kota Madinah. Oleh itu tidaklah menjadi kesukaran untuk berbincang sesama mereka. Faktor ini memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar dan selari tanpa wujud apa-apa mazhab atau jalan pandangan yang lain. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman dan bersatu sebagaimana yang wujud sebelum ini hasil kefahaman dan konsep saling bertolak ansur yang wujud di kalangan para sahabat dan pemimpin mereka.

Dalam era ini, tidak wujud sebarang mazhab melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, diajar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.

Era Kedua
Mulai tahun 41H/661M, setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyad, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti iaitu yang berdasarkan zuriat keturunan. Dinasti Umayyad tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya menumpukan perhatian kepada soalan perluasan empayar dan kekuasaan material.

Dalam era ini banyak pengaruh luar yang berasal daripada Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyad. Pola pemerintahan mula bertukar sedikit sebanyak ke arah sekular yang mengasingkan antara agama dan pentadbiran negara.[8] Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mula diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti muzik dan tari menari, ahli nujum, penilik nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar daripada milik rakyat kepada kegunaan persendirian dan pelbagai cukai baru dikenakan.[9] Pemerintah juga mula membezakan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen perkauman di kalangan rakyat.[10]

Pola pemerintahan Dinasti Umayyad ini digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan tertubuhnya Dinasti Umayyad ini, suatu era baru telah bermula, iaitu lahirnya suatu empayar pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah hinggalah ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementing dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan empayar walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah pentadbiran dan kewangan dalaman.

Dari segi pentadbiran negara, boleh dikatakan Dinasti Umayyad telah berjaya melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat bagi menjaga wilayah-wilayah dalam empayar mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti ini jelas melambangkan kejatuhan dan kemerosotan dari kesyumulan Islam yang wujud sebelum itu.

Mereka (Umayyad) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan pentadbiran empayar dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh. [11]

Di kalangan pemerintah-pemerintah Dinasti Umayyad, sedikit sahaja yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang jawatan pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman inilah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang sebenar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan selepas itu Dinasti Umayyad kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang seterusnya.

Para pemerintah Umayyad tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat umumnya. Sebarang teguran daripada para ulama’ ditepis dan sesiapa yang berani menentang dihukum buang negeri. Para ulama’ istana adalah yang dipilih khas bagi menepati hasrat dan tuntutan persendirian sahaja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyad yang sedemikian menyebabkan ulama'-ulama' pada ketika itu mula menyisihkan diri daripada istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih dahagakan ajaran Islam yang sepenuhnya.

Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah baru Islam ini ialah anak-anak murid didikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali sebagai gelaran tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang kehandalannya berhujah serta berfatwa melebihi daripada kebiasaan. Kepantasan serta kecekapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan.

Justeru itu orang ramai mula berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” ini. Sering kali juga berita kehandalan tokoh baru ini tersebar ke daerah-daerah berdekatan menyebabkan mereka juga datang beramai-ramai untuk belajar sama. Ini berlaku di beberapa daerah dan dengan ini wujudlah suasana pembelajaran fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana sebegini tidaklah dapat dielakkan kerana tidak wujud medium penyampaian pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada daerah-daerah lain. Suasana ini berterusan sehingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Selari dengan itu, pengaruh tokoh yang mengajar juga semakin berkembang luas.

Akhirnya suasana fiqh Islam telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorangan, tidak lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorangan ini pula wujud dalam suasana berkelompok atau berkumpulan di sekitar seseorang tokohnya dan ini merupakan noktah permulaan kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa ketika seperti pada musim haji.

Pada permulaan kurun ke 2H/8M, umat Islam sudah mula merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti Umayyad. Suasana ini menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti ini dapat dijatuhkan. Peristiwa ini diringkaskan oleh Ensiklopidi Islam (Ind) dalam satu perenggan sebagai:
Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyad telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, iaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Shi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayad sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyad telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati ini akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.[12]

Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:
Pada penghujung Era Dinasti Umayyad, orang ramai mula menyedari bahawa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar.

Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Shi'ah yang selama ini sememangnya tidak menerima pemerintahan Umayyad - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyad. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh Abbasid………… [13]

Kejatuhan Dinasti Umayyad menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasid yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasid dan Umayyad tidaklah sama di mana Dinasti Abbasid mula memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era inilah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:

Sebaik sahaja fiqh Islam memasuki era ini, berjalanlah perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa ini memasuki period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era ini mewariskan kepada para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.

Dalam era inilah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadis, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era inilah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal…….. [14]

Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan ini ialah mereka yang sudah mula terkenal namanya sejak dari era Umayyad lagi sepertimana yang diterangkan sebelum ini. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga orang ramai dari segala pelusuk dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.

Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian daripada mereka lahir juga tokoh-tokoh lain yang mana mereka ini pula ialah anak murid bagi tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi‘e (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M).[15] Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas diiktiraf ramai dan gelaran Imam diberikan kepada mereka.

Setiap daripada tokoh-tokoh ini mempunyai ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai punca sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh ini mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbezaan sesama mereka. Perbezaan ini timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dielakkan pada masa era ini seperti berijtihad secara berseorangan, tidak kesampaian sesuatu Hadis yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeza dan sebagainya. Perbezaan-perbezaan ini adalah kecil dan insya-Allah akan dihuraikan pada bahagian akan datang.

Perbezaan-perbezaan ini dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh itu dan ia dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat inilah yang digelar sebagai Mazhab. (A particular school of thought).

Pada era ini juga ilmu-ilmu Islam mula dibahagikan kepada beberapa jurusan bagi memudahkan seseorang itu mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.

Selain itu ilmu-ilmu di atas juga mula dibukukan secara formal. Antara pembukuan terawal bagi ilmu fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf[16] dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi‘e. Pembukuan dan penulisan kitab hadis yang terawal juga berlaku pada dalam era ini atas saranan Khalifah Harun al-Rashid.[17] Antara kitab hadis terawal yang diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.

Selepas kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak murid mereka. Setiap dari mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh kerana itulah kita dapati pada era ini orang ramai di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), orang ramai di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan orang ramai di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.

Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasid mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah sahaja sebagai mazhab rasmi dunia Islam ketika itu. Suasana ini menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan ini menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasid mula mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan hanya atas tujuan peribadi dan hiburan istana.[18] Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasid ini memburukkan lagi suasana perkelompokan dan persendirian dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:

Perdebatan-perdebatan ini menimbulkan suasana persaingan dan dogmatisma sesama mereka kerana apabila kalahnya seorang tokoh itu dalam perdebatan ini dia bukan sahaja kehilangan ganjaran wang dari pemerintah tetapi juga kehilangan maruah dirinya.

Lebih dari itu kehilangan maruah diri sangat berhubung-kait dengan kehilangan maruah mazhab seseorang itu. Justeru kita dapati menghujahkan kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama debat-debat tersebut. Hasilnya, persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.[19]

Pada kurun ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadis seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka menjihadkan seluruh tenaga, masa dan hayat bagi merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam ketika itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadis-Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadis-hadis Rasulullah ditapis dan dianalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum ianya diterima dan diberikan status sahih.[20]

Malangnya pada ketika ini, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal telahpun meninggal dunia. Ini sedikit-sebanyak ada hubung-kaitnya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka kerana ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadis yang lemah atau tidak tepat kerana tidak menjumpai hadis yang khusus sebagai dalil.

Permulaan kurun ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasid mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Selepas tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada ketika ini ajaran-ajaran fiqh Islam mula terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, iaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada kurun ke 4H/10M dan seterusnya mula terikut secara ketat kepada empat mazhab ini.

Pada penghujung hayat Dinasti Abbasid ini juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak sehinggakan acara ini memperoleh namanya yang tersendiri, iaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan sahaja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada orang ramai kerana masing-masing membenarkan tokoh dan menyokong mazhab mereka.[21]

Ini secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antara sesebuah mazhab sama ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok ini dengan peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mula dibahagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi sehinggakan ahli-ahli ilmu pada zaman ini juga mula mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didokongi masing-masing.

Era Ketiga
Selepas kejatuhan Dinasti Abbasid, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan yang tersendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada ketika ini juga, iaitu pada kurun-kurun ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mula mengalami kejatuhan dan kemundurannya berbanding dengan negara-negara non-muslim selainnya.[22]

Banyak faktor yang menyumbang kepada kejatuhan umat Islam pada ketika ini, antaranya ialah:
1. Terlalu leka dengan kejayaan yang dicapai sejak beberapa kurun yang lepas,
2. Ghairah dengan habuan duniawi hingga alpa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama sendiri atas tuntutan duniawi dan berbagai lagi.

Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubung-kait dengan mazhab-mazhab Islam yang empat ialah wujudnya ketaksuban mazhab dan lahirnya budaya taqlid, iaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.

Dengan terbahaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sesebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya sahaja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu majoriti umat pula sudah mula menerima hakikat kewujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti sahaja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih daripada itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi cogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh.

Para ulama’ juga tidak terlepas daripada belenggu ini. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak selari dengan tuntutan mazhab rasmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan dipulau atau dibuang negeri. Ditambah pula, ke negeri mana sekalipun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justeru itu para ulama’ sesebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekala timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab ini akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.[23]

Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, iaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah mahupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid ini, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era ini kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul selari dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini.

Dengan meluasnya budaya taqlid ini, kefahaman umat Islam berkenaan agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, iaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya terhad kepada bidang fiqh Islam sahaja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.

Budaya taqlid ini dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya yang tersendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid kerana yang sedemikian itu bererti mempermainkan agama.

Tak ada yang tertinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut', setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.

Seseorang yang mengakui dirinya melakukan ijtihad tidaklah diakui orang hasil ijtihadnya dan tak seorangpun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat ini telah menjadi serombongan manusia yang hanya bertaqlid kepada imam yang empat tersebut. Inilah yang dikatakan orang sekarang sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad. [24]

Walaupun beberapa ketika selepas itu (kurun ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan material dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropah[25], ini tidak bertahan lama kerana di sebalik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mula melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika ianya diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.

Beberapa kerajaan Islam ketika itu mula mengimport dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana ini lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Ini mereka lakukan atas fahaman bahawa ilmu-ilmu Islam ini hanyalah sebagai apa yang termaktub dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman.

Era ini berjalan terus dengan nasib umat Islam yang sedemikian, iaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.

Era Keempat
Pada kurun ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropah mula mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropah mula menjajah dan menakluk negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka.[26] Suasana ini mula menyedar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenar. Umat Islam, sekalipun sudah agak terlambat, mula menyedari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.

Huzaemah Tahido menerangkan:
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyedarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.

Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan bagi umat Islam. Hubungan dengan Barat inilah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.

Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya? Pertanyaan ini terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama ini. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali bergerak. [27]

Kurun ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bahagian dunia Islam bagi menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan semula umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan semula, kesedaran umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan semula dan semangat Islam maju umat maju dilaungkan kembali.

Antara mereka yang berani lagi gigih membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.

Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan semula Islam di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan yang tersendiri, objektifnya tetap sama iaitu memajukan semula Islam berdasarkan pengkajian semula ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya.

Mereka menekankan bahawa untuk umat Islam bangkit maju semula, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua-dua bidang ilmu, iaitu ilmu agama dan ilmu duniawi kerana sememang pada asalnya kedua-dua ilmu ini adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi, ianya saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah kerana kurangnya pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.[28]

Usaha pembangunan semula umat masih diperjuangkan hingga ke hari buku ini diusahakan. Tokoh-tokoh agama serata dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian semula ilmu-ilmu Islam, menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mula diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dianjurkan tanpa henti-henti.

Akan tetapi usaha yang dilakukan ini masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mahu berusaha atau yang menentang terus ijtihadiah sezaman begini. Masih ramai umat dan tokoh semasa yang terlalu taksub kepada mazhab sehingga amat berat untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan ini. Tidak kurang juga yang sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehinggakan dirasanya Islam ini, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama persendirian yang diamalkan di rumah sahaja oleh sesiapa yang mengingininya. Golongan-golongan sebeginilah yang sebenarnya menjadi penghalang kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebeginilah yang perlu ditangani dan dirundingi segera.[29]

Demikianlah secara ringkas sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Sememangnya pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rashidun tidak wujud sebarang mazhab-mazhab Islam. Hanya dengan sebab-sebab sejarah dan politik, barulah muncul mazhab-mazhab ini sebagaimana yang telah dihuraikan di atas. Bagi memantapkan kefahaman, berikut dihuraikan faktor-faktor penyebab bagi munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:
· Pola pemerintahan Umayyad yang tidak akur dan patuh kepada tunjuk ajar para ulama’ yang wujud ketika itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, diancam atau ditangkap. Ini menyebabkan ulama’-ulama’ era ini menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal ini menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam apa-apa persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyad.
· Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh kerana Kerajaan Umayyad tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha ini jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara persendirian.
· Tidak wujud sebarang sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman ini bagi membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh itu para ulama’ era ini terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang sedia ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadis yang sedia diketahuinya.
· Dalam suasana ini timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cekap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan orang ramai mula berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mula tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan orang ramai mula bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.
· Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasid melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era ini juga kehandalan beberapa tokoh persendirian tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘e di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka digelar mazhab dan dari sinilah bermulanya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘e dan Hanbali.
· Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasid. Pemerintah-pemerintah Abbasid melantik qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gabenor atau mufti bagi wilayah-wilayah dalam empayar mereka. Ini menimbulkan banyak ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak cenderung kepada mazhab Hanafi. Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.
· Menyedari wujudnya perbezaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasid mula menganjurkan acara perdebatan antara tokoh sesebuah mazhab. Perbuatan ini menyebabkan persaingan dan perselisihan antara mazhab mula memanas dan memuncak.
· Setelah jatuhnya Dinasti Abbasid, Kerajaan Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman wujud juga beberapa kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka yang tersendiri dan mengangkat sesebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka. Perbuatan ini menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.
· Mulai masa ini umat Islam dan negara mereka mula dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.
· Mulai kurun pertengahan hingga masa kini, umat Islam hanya merujuk kepada satu-satu mazhab tertentu sahaja. Umat Islam dengan sendirinya menutup pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan bertaqlid tanpa banyak soal.

Jika kita benar-benar menganalisa faktor-faktor kemun-culan mazhab-mazhab fiqh Islam ini, kita akan dapati ianya wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik. Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang sebenar kepada umat. Mereka berhijrah ke sana-sini semata-mata bagi mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya ianya tidak hilang dimakan masa, supaya umat terkemudian dapat merujuknya.
Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam ini kepada mazhab mereka sahaja. Tidaklah menjadi hasrat para imam mazhab yang empat untuk membelahkan umat ini kepada empat kumpulan. Sejarah dunia memaksa ajaran mereka menjadi terhad kepada sekian daerah dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati orang ramai tanpa persetujuan mereka.

Oleh yang demikian kita tidak boleh memandang serong dan menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab timbulnya mazhab-mazhab Islam ini. Malah jika diperhatikan benar-benar, para imam mazhab inilah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab ini boleh dirumuskan sebagai:
· Tegas berusaha menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama daripada dicemari faktor-faktor politik.
· Berusaha menghidupkan semula ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.
· Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.
· Mengorak kaedah-kaedah fiqh yang sistematik bagi memudahkan umat Islam kemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum.

Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat dilupakan sehingga ke hari ini. Inilah sebagaimana yang diterangkan oleh Abdul Rahman I. Doi:

Imam-imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal, iaitu pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah, telah memberikan jasa baik yang tiada tandingnya dalam bidang fiqh Islami.

Tiadalah seorang juapun dari mereka yang cuba untuk mengubah ajaran al-Qur'an dan tiadalah juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir orang lain mahupun ahli-ahli ilmuan Islam yang cetek ilmunya. [30]

Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hinggalah ke masa kini. Insya-Allah di bahagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih rapat, siapakah Para imam mazhab yang empat ini dan bagaimanakah jalan hidup mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam.

Wallahu a’lam bis shawwab.

Rujukan / Nota Kaki:
[1] Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.

[2] Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997), ms. 71-72.

Dr. Huzaemah Tahido Yanggo lahir di Indonesia pada 1365H/1946M dan memegang kelulusan al-Azhar dalam jurusan Muqaranah Mazahib iaitu Perbandingan Mazhab. Buku ini beliau usahakan sebagai bahan rujukan bagi memenuhi dasar silibus Institut Agama Islam Nasional (IAIN) Indonesia yang sejak tahun 1415H/1995M sudahpun mula mengajar jurusan perbandingan mazhab kepada pelajarnya. Selain itu Huzaemah adalah juga ahli Majlis Fatwa Indonesia.

[3] Syi‘ah memiliki sejumlah dalil daripada al-Qur’an dan al-Sunnah bagi membenarkan mazhab mereka tersebut. Penulis dalam rangka mengusahakan sebuah buku yang khusus dalam menjawab hujah-hujah mereka yang insya-Allah akan disiapkan dengan judul: Jawapan Ahl al-Sunnah kepada Syi‘ah al-Rafidhah dalam persoalan al-Imamah.

[4] Penulisan dalam bab ini hanya akan membicarakan sejarah Islam secara ringkas dengan perhatian ditumpukan kepada evolusi fiqh Islam dan perkara-perkara berhubung-kait dengannya. Sejarah politik, ekonomi, peradaban dan selainnya hanya akan dihuraikan secara ringkas jika memiliki kaitan dengan evolusi fiqh.

[5] Sahih: Hadis riwayat Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, al-Nasa‘i dan Ibn Majah, lihat Shahih al-Bukhari – no: 0283 (Kitab Mandi, Bab Berkenaan junub dan seorang mukmin tidak najis).

al-Bukhari ialah al-Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari, lahir pada 194H/810M dari perkampungan Bukhara di Samarqand. Mengarang kitabnya yang pertama pada umur belasan tahun, beliau merantau ke seluruh dunia Islam pada ketika itu bagi mencari dan mengumpul hadis. al-Bukhari terkenal dengan kitab hadisnya Shahih al-Bukhari, diusahakannya selama 16 tahun, memuatkan lebih-kurang 9000 hadis yang sahih. Ia telah pun diterjemahkan. Selain itu al-Bukhari juga mengarang dan menulis lebih 20 buah kitab-kitab lain. Beliau meninggal dunia pada tahun 256H/870M.

[6] Namun ada segelintir pihak yang menolak peranan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam syari‘at Islam. Pihak ini dikenali sebagai Golongan Anti Hadis dan penulis telah mengusahakan sebuah buku khas dalam menjawab hujah-hujah mereka. Ia berjudul 20 Hujah Golongan Anti Hadis dan Jawapannya terbitan Jahabersa, Johor Bahru.

[7] Riwayat Ibn Hazm di dalam al-Ihkam, jld. 5, ms. 92 sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasbi al-Shiddieqie di dalam bukunya Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (Bulan Bintang, Jakarta 1971), ms. 27.

Ibn Hazm ialah al-Imam Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm lahir di Qordoba (Sepanyol) pada tahun 384H/994M dan terkenal sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Ketelitiannya dalam mengkaji hadis dipuji dan dihormati ramai, antaranya oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, seorang tokoh hadis dalam kurun ke 9H. Antara karyanya ialah al-Muhalla, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam dan lain-lain. Meninggal dunia pada 456H/1064M

Prof. Dr. Hasbi al-Shiddieqie ialah salah seorang ulama' besar Indonesia, saling bergandingan dengan Prof. Dr. HAMKA, pengarang kitab Tafsir Al-Azhar. Beliau menjawat kedudukan Guru Besar IAIN (Institut Agama Islam Nasional) Kalijaga Yogyakarta. Semasa hidupnya beliau telah berjaya menulis buku-buku dalam hampir semua bidang ilmu Islam, seperti Tafsir dan Usulnya, Hadis dan Usulnya, Fiqh dan Usulnya, Solat, Puasa, Zikir, Doa dan pelbagai lagi. Antara bukunya yang paling masyhur di Malaysia ialah Pedoman Solat dan Pedoman Zikir dan Doa Rasulullah. Beliau meninggal dunia pada 1394H/1975M.

[8] Encyclopedia Britannica 98 (edisi Cdrom) dan The Concise Encyclopedia of Islam (ed: Cyril Glasse; Stacey Intl, England, 1989 & Rajawali Press, Jakarta 1996) di atas tajuk – Umayyad Dynasty.

[9] Bilal Philips – Evolution of Fiqh (International Islamic Publishing House, Riyadh 1995), ms. 46.

Abu Ameenah Bilal Philips berasal dari Jamaica, memeluk Islam pada 1391H/1972M. Sejurus selepas itu beliau ke Madinah untuk mendapatkan Diploma dalam Bahasa Arab, diteruskan kepada Sarjana dalam jurusan Usul al-Deen dan kemudian diteruskan kepada pengajian Master dalam jurusan Islamic Theology. Seterusnya memperoleh kelulusan Ph.D dalam jurusan Islamic Studies pada tahun 1987. Banyak menulis buku-buku Islam berbahasa Inggeris bertujuan membantu umat Islam yang tidak dapat berbahasa Arab mempelajari dan memahami Islam secara yang sebenar. Bukunya The Evolution of Fiqh - Islamic Law and Mazhabs diterima baik di seluruh dunia Islam dan kini telahpun diterjemahkan kepada beberapa bahasa lain.

[10] Ensiklopidi Islam – ‘Bani Umayyad’

[11] Seyyed Hussein Nasr – Ideals and Realities of Islam (Allen & Unwin, U.K. 1996), ms. 102

Prof. Dr. Seyyed Husein Nasr dilahirkan di Iran dan mendapat kelulusan Ph.D di Harvard dalam bidang Sejarah dan Sains Islam. Kini dia adalah pensyarah bagi jurusan Islamic Studies di George Washington University, USA. Menulis dan mengarang puluhan buku dan artikel berkenaan Islam terutamanya dalam topik Sufism. Bukunya Ideals and Realities of Islam adalah antara yang terbaik dalam memberikan pengenalan tentang ajaran Islam ini, baik kepada umat Islam atau bukan Islam.

[12] Ensiklopidi Islam– ‘Dinasti Umayyad’

[13] Seyyed Husein Nasr - Ideals and Realities of Islam, ms. 102-103

[14] Hasbi al-Shiddieqie - Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, ms. 81.

[15] Biografi tokoh-tokoh di atas akan diberikan dalam satu bab berasingan nanti, insya-Allah.

[16] Abu Yusuf, beliau ialah al-Imam Abu Yusuf Yaakob bin Ibrahim, lahir pada 113H/731M dan merupakan salah seorang anak murid utama bagi Abu Hanifah (150H/767M). Sebelum berguru bersama Abu Hanifah selama 9 tahun, beliau berguru bersama Ibn Abi Laila (148H/765M), anak kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selepas kewafatan Abu Hanifah, beliau turun ke Madinah untuk berguru kepada Malik bin Anas. Abu Yusuf menjawat kedudukan Ketua Hakim (Qadi) Dinasti Abbasid dari tahun 158H/775M hinggalah ke masa kewafatannya pada tahun 182H/798M.

[17] Harun al-Rashid adalah khalifah ke-5 bagi Dinasti Abbasid. Beliau lahir pada tahun 147H/764M dan telah dihantar untuk belajar agama bersama-sama tokoh-tokoh pada ketika itu. Kebanyakan guru beliau adalah daripada kalangan tabi‘in dan tabi-tabi‘in yang menerima ilmu mereka secara terus daripada generasi sahabat. Harun menjawat kedudukan khalifah pada tahun 169H/786M dan pada zaman beliaulah kerajaan Abbasid dan Islam mencapai era kegemilangannya. Beliau meninggal dunia pada tahun 193H/809M.

[18] Hassan Ibrahim Hassan, pensyarah University Islam Baghdad, dalam bukunya Islam: A Religious, Political, Social and Economic Study, ms. 356-378; dinukil daripada The Evolution of Fiqh, ms. 58 oleh Bilal Philips. Lebih lanjut tentang fenomena ini lihat penjelasan al-Ghazali (505H) di dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din (edisi terjemahan oleh Ismail Yaakub; Victorie Agencie, K.Lumpur 1988), jld. 1, ms. 166-188 oleh al-Ghazali.

[19] Abu Ameenah Bilal Philips - The Evolution of Fiqh, ms. 58. Lihat juga Hasbi al-Shiddieqie - Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, ms. 99-100.

[20] Lebih lanjut sila kaji buku Sejarah dan Pertumbuhan Ilmu Hadis oleh Hasbi al-Shiddieqie (Rizki Putra, Semarang 1978).

[21] Abu Ameenah Bilal Philips - The Evolution of Fiqh, ms. 102.

[22] Lihat pengkajian dan perbandingan yang dilakukan oleh Karen Amstrong dalam bukunya The History of God: A 4000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (Ballantine Books, New York 1994), Bab ke 8.

Karen Amstrong ialah seorang pengkaji keagamaan / teologi yang terkenal masa kini. Berasal dari Britain, beliau telah mengarang banyak buku-buku keagamaan terutamanya dalam topik tiga agama samawi kini, iaitu Yahudi/Judaism, Nasrani/Christian dan Islam.

[23] Hasbi al-Shiddieqie - Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, ms. 152-158; Ibn Khaldun – Muqaddimah (edisi terjemahan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, K.Lumpur 1995), ms. 579-582.

[24] Ibn Khaldun - Muqaddimah, ms. 576 dan nk 34.

Ibn Khaldun ialah seorang ahli sejarah, ahli falsafah dan ahli fikir Islam yang hidup pada kurun ke 8 hijrah. Nama beliau ialah Abdul Rahman bin Muhammad Abu Zaid bin Khaldun, lahir di Tunisia pada 732H/1332M. Pengalamannya merantau ke dunia Islam termasuk negara-negara utara Benua Afrika sehingga ke Sepanyol dan lain-lain. Karangannya ini adalah pendahuluan (Muqaddimah) kepada kitabnya yang asal Kitab al-'Ibar wa Diwan. Kitab Muqaddimah ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggeris, Indonesia dan Melayu. Beliau meninggal dunia di Kaherah, Mesir pada 808H/1406M.

[25] Karen Amstrong - The History of God: A 4000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, ms. 259-260.

[26] Hakikat kebenaran bahawa penjajahan Barat atas negara-negara Islam bukan semata-mata atas alasan 'mencari rempah ratus dan serbuk teh' jelas terbukti melalui pengakuan ahli-ahli sejarah dan agama Barat/Kristian sendiri, sebagaimana yang dihuraikan oleh David Waines, pensyarah Islamic Studies di Lancaster University, England dalam bukunya An Introduction to Islam (Cambridge University Press, 1995), ms. 214-215.

[27] Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab, ms. 44.

[28] Sila lihat buku An Introduction to Islam: Issues in Contemporary Islam oleh David Waines di mana beliau menghuraikan secara umum akan usaha-usaha membangkitkan Islam pada zaman kebelakangan ini. Selain itu lihat juga huraian mendalam lagi terperinci dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islam yang dipimpin oleh John Esposito, Ketua Fakulti Pengkajian Agama, Georgetown University, Washington, USA. Lihat juga buku beliau dalam subjek yang sama: The Islamic Threat: Myth of Reality ?

Amat menyedihkan apabila kita lihat pengkaji-pengkaji non-muslim amat prihatin lagi peka terhadap suasana kebangkitan Islam akhir-akhir ini; apabila dalam waktu yang sama umat Islam sendiri tidak mengetahui apatah lagi mengambil iktibar terhadapnya.

[29] Antara lain lihat kertas kerja yang dibentangkan oleh Yusuf al-Qaradhawi berjudul Priorities of The Islamic Movement in The Coming Phase (edisi terjemahan oleh Dar al-Nasr for Egyptian Universities, Cairo 1992); di mana beliau menghuraikan halangan-halangan yang terlebih dahulu perlu diatasi sebelum umat boleh mengorak langkah ke arah kejayaan hakiki.

Prof. Dr. Muhammad Yusuf al-Qaradhawi lahir pada 1344H/1926M di Mesir, berkelulusan Al Azhar. Kini bertugas sebagai Deen Syari'ah dan Islamic Studies, juga Director for Centre of Sunnah and Sirah Studies di University of Qatar. Mengarang puluhan buku dalam isu-isu Islam mutakhir dan sehingga kini buku-bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa kita (Malaysia & Indonesia) sudah menjangkau lebih 40 buah. Diikktiraf dunia sebagai salah seorang ulama' mutakhir yang banyak berusaha memberikan kefahaman dan menyelesaikan isu-isu dunia Islam masa kini (fiqh al-Waqi').

[30] ‘Abd al-Rahman I. Doi - Shari'ah: The Islamic Law (A.S. Noordeen, K.Lumpur 1995),ms. 85.

Prof. Dr. ‘Abd al-Rahman I.Doi dilahirkan di India. Beliau mempelajari Islam dan ilmu-ilmunya di Madrasah-madrasah tempatan, kemudian melanjutkannya ke University of Bombay. Jawatannya sebagai pensyarah pengajian Islam bermula di Univ. of Nigeria, kemudian ke Univ. of IFE, kemudiannya ke Univ. of Ahmadu Bello, Zaria. Ketika menulis buku di atas, beliau bertugas di Univ. Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM). Beliau ialah salah seorang tokoh dalam bidang syari‘ah Islam yang ulung masa kini, banyak membahas isu-isu syari'ah masa kini di seminar-seminar Islam antarabangsa, banyak menulis artikel, majalah dan buku.