Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)

Menegakkan shalat

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), [Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Menunaikan zakat

“Ambillah dari harta mereka sedekah / zakat, untuk membersikah mereka serta menghapus kesalahan mereka” (QS At Taubah [9]: 103).

Puasa Ramadhan

“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)

Haji bagi yang mampu

“Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan apapun) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)

Friday, 30 May 2014

Empat Orang yang Kelak Minta Tangguh Pada Hari kiamat



Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“Ada empat golongan, kelak pada hari kiamat  akan berhujah dan minta ditangguhkan perkaranya. Orang tuli yang tidak bisa mendengar apapun, orang pandir, orang pikun, dan yang  terakhir orang yang hidup pada masa-masa kekosongan tidak ada rasul.
Adapun orang yang tuli, maka ia membela dirinya dengan mengatakan: “Ya Rabb, sungguh Islam telah datang, namun diriku tidak mendengar apapun tentangnya”.
Sedangkan orang yang pandir, mengatakan: “Ya Rabb, Islam telah datang, akan tetapi saya tidak mengerti sama sekali, sedangkan anak-anak kecil melempariku dengan kotoran hewan”.
Orang yang pikun membela dan berkata: “Ya Rabb, Islam datang, namun saya tidak mengerti sama sekali”. Adapun orang yang meninggal pada masa-masa fatroh (tidak ada Nabi maupun Rasul), maka ia mengatakan: “Ya Rabb, Engkau tidak pernah mengutus padaku seorang rasul”.
Maka setelah itu mereka semua diambil sumpahnya agar mentaati -Nya dan diutus pada mereka yang menyuruh agar semuanya masuk ke dalam api. Barangsiapa yang memasukinya maka rasa dingin dan keselamatan yang ia peroleh, dan barangsiapa yang enggan memasukinya maka ia ditarik darinya”.
Hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, Ibnu Abi ‘Ashim di dalam kitabnya ‘as-Sunnah’, dan al-Baihaqi di dalam ‘al-I’tiqad’, semuanya dari Abu Hurairah dan dari al-Aswad bin Sura’i.
Al-Baihaqi mengatakan: “Sanadnya Shahih”.

Wallahu a’lam bis shawwab.
Oleh: Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari [Diterjemahkan Abu Umamah Arif Hidayatullah melalui IslamHouse.com]

Saturday, 17 May 2014

Tanah Pertama di Afrika Yang Mengenal Islam




An-Najsyi adalah gelar untuk raja-raja Habasyah –Ethiopia sekarang- sebagaimana Firaun adalah sebutan untuk penguasa Mesir kuno. Namun, di dalam teks-teks hadits, nama tersebut identik dengan seorang Raja Habasyah yang terkenal dengan keadilannya, yang bernama Ashhamah bin Abhar. Karena terkenal sebagai seorang raja yang adil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merekomendasikan para sahabatnya untuk berhijrah ke negeri kekuasaannya. Dan saat itulah untuk pertama kalinya benua hitam mengenal syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masuknya Islam ke Desa An-Najasyi
Nama Desa An-Najasyi terambil dari seorang An-Najasyi (Raja Habasyah) yang bernama Ashhamah bin Abhar. Ia memerintah wilayah tersebut antara 610 – 630 M. Habasyah mencakup wilayah Eritria, Somalia, Sudan, Jibouti, dan Ethiopia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemuji Ashhamah dalam sabdanya,
ملك عادل لا يظلم عنده أحد
“Ia adalah seorang raja yang adil, yang tidak akan dizalimi seorang pun yang berada di wilayahnya.”
Subhanallah, sebuah tazkiyah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang raja yang bahkan belum mengenal cahaya Islam secara langsung.
Saat ini, Desa An-Najasyi terletak dekat Kota Makalele ibu kota wilayah Tigray di sebelah Utara Ethiopia. Inilah tempat pertama di benua hitam yang mengenal cahaya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Islam masuk ke daerah tersebut pada tahun ke-5 kenabian bersamaan dengan tahun 615 M. Momen yang membawa Islam ke kampung An-Najasyi ini adalah hijrahnya para sahabat Nabi dari Mekah menuju Habasyah, menghindari represi yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy.
Kedatangan umat Islam ke wilayah tersebut bukan hanya semata-mata untuk hijrah, namun di wilayah tersebut para sahabat Nabi juga bisa bebas berdakwah. Di antara buah dakwah tersebut adalah masuk islamnya sang raja, Ashhamah bin Abhar an-Najasyi.
Walaupun ia berkuasa dan memegang tampuk tertinggi di negaranya, ia tidak dapat mengubah masyarakatnya menjadi pemeluk Islam, ia hanya seorang diri sebagai muslim di negerinya. Hal ini mengajarkan kepada kita, selain penguasa yang baik rakyat juga harus memiliki kesiapan untuk menjadi orang baik. Penguasa yang baik saja tidak cukup apabila rakyatnya tidak siap menjadi orang yang baik. Dengan demikian kelirulah orang yang mengatakan, seandainya Umar bin Khattab memimpin di zaman ini, maka masyarakat Islam akan menjadi baik. Ya, keadaan demikian akan terwujud apabila masyarakat Islam siap diajak kepada kebaikan, kalau tidak, bisa jadi Umar bin Khattab pun dituntut lengser dari kepemimpinan.
Dalam keadaan terasing sebagai muslim seorang diri, An-Najasyi tetap teguh memegang ajaran Islam hingga ajal menjemputnya. Ia pun dimakamkan di sebuah tempat yang saat ini dikenal dengan nama Desa An-Najasyi.
Corak Keislaman di Desa Sang Raja
Eksistensi Islam di kota bersejarah ini cukup terlihat dengan adanya 25 masjid yang tersebar hingga ke penjuru daerah dan 15% penduduk desa adalah muslim. Adapun dalam skala negara, menurut WHO, pada tahun 2012 terdapat sekitar 34% muslim dari jumlah penduduk Ethiopia 91.700.000 orang. Semoga Allah melindungi mereka, memberi taufik, dan keistiqomahan.
Namun yang menjadi PR bagi seluruh umat Islam adalah di Ethiopia masih banyak tersebar pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Di antaranya adalah mengistimewakan tanggal 10 Muharam sebagai Id dan perayaan tertentu. Apabila kita mengunjungi Ethiopia pada tanggal 10 Muharam, maka kita akan banyak menyaksikan ritual-ritual keagamaan yang tidak memiliki dsar tuntunan dari Alquran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Khususnya di Desa Negu, kedatangan para peziarah ke kota tersebut akan meningkat pesat pada tanggal 10 Muharam hingga satu bulan ke depan.
Selain itu, ada juga keyakinanya barangsiapa yang mengunjungi makam An-Najasyi dan 15 orang sahabat Nabi yang dimakamkan di sana, maka sama saja dengan berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keyakinan lainnya adalah masyarakat sering ngalap berkah di sebuah sumur yang digali oleh sahabat muhajirinradhiallahu ‘anhum. Sumur tersebut dinamai sumur zam-zam. Masyarakat setempat yakin bahwa air sumur tersebut mendatangkan keberkahan, rahmat, dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak sampai di situ, sebagian orang ada juga yang mengharap kesembuhan dan rezeki dari air sumur tersebut. Keyakinan akan keberkahan sumur tersebut timbul dari sebuah analogi bahwa para sahabat yang berhijrah dari Mekah lalu menggali sumur tersebut, sama halnya dengan keadaan ibunda Ismail, Hajar, yang berhijrah ke tanah haram.
Walaupun banyak terdapat keyakinan yang menyimpang, secara umum masayarakat memiliki perhatian yang besar terhadap agama Islam. Di Desa An-Najasyi dibangun sebuah madrasah yang difungsikan sebagai sarana menuntut ilmu agama Islam bagi penduduk setempat. Mereka memiliki semangat dan kecintaan terhadap Islam, yang kurang hanyalah bimbingan para dai yang mumpuni keilmuannya. Semoga Allah menganugerahkan kepada mereka orang-orang yang mendakwahi dan memimbing mereka kepada Islam yang haq.
Masjid An-Najasyi
Masjid An-Najasyi
Masjid An-Najasyi
Di Desa An-Najasyi terdapat sebuah masjid yang juga dinamai Masjid An-Najasyi. Masjid tersebut sangat ramai dikunjungi jamaah. Uniknya, selain Masjid An-Najasyi, di desa ini juga teradapat sebuah geraja yang dibangun atas nama istri An-Najasyi, namanya Gereja Maryam. Maryam wafat menganut agama lamanya, Nasrani, dan tidak mengikuti jejak sang suami menjadi seorang penganut Islam.
Masjid seluas 200 m2 ini merupakan pusat kegiatan pembelajaran Islam. Di suatu sisi mempelajari Alquran dan sisi yang lainnya mempelajari sirah Nabi dan sahabatnya dll. Sisi kiri dari masjid terdapat 15 kuburan yang katanya adalah kuburan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 10 kuburan sahabat laki-laki dan 5 kuburan sahabat perempuan radhiallahu ‘anhum.
Selain itu, di dekat masjid, dan berbatasan dengan dinding, juga terdapat makam Raja An-Najasyi. umat Islam di sana meyakini, berziarah ke makam An-Najasyi sama saja dengan berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masyarakat Sufi Ethiopia
Sama halnya dengan Asia Tenggara –atau bahkan lebih- keyakinan tahayul dan khurofat sangat kuat mempengaruhi masyarakat Afrika, baik sebelum maupun setelah kedatangan Islam. Oleh karena itu, tidak heran kalau Ethiopia merupakan negara yang memiliki komunitas Sufi terbesar di Afrika Timur. Tidak heran, aktivitas ngalap berkah di kuburan orang yang dianggap wali sangat marak di negeri ini. Demikian juga syiar-syiar Sufi berupa haul-haul peringatan kematian, terutama haulnya An-Najasyi yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharam, menjadi amalan besar yang diagungkan.
Inilah sedikit gambaran tentang keadaan Desa An-Najasyi, sebuah tempat yang menjadi titik permulaan menyebarnya dakwah Islam di benua Afrika.

Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber: masralarabia.com

Perjalanan Hidup Imam Ahmad bin Hanbal



Imam madzhab yang empat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang saling melengkapi antara satu dan yang lainnya. Imam Abu Hanifah adalah pelopor dalam ilmu fikih dan membangun dasar-dasar dalam mempelajari fikih. Imam Malik adalah seorang guru besar hadits yang pertama kali menyusun hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu buku. Imam Syafii merupakan ulama cerdas yang meletakkan rumus ilmu ushul fikih, sebuah rumusan yang membangun fikih itu sendiri.
Artikel ini akan mengenalkan kepada pembaca tokoh keempat dari imam-imam madzhab, dialah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus pakar hadits di zamannya. Perjuangan besarnya yang selalu dikenang sepanjang masa adalah perjuangan membela akidah yang benar. Sampai-sampai ada yang menyatakan, Imam Ahmad menyelamatkan umat Muhammad untuk kedua kalinya. Pertama, Abu Bakar menyelematkan akidah umat ketika Rasulullah wafat dan yang kedua Imam Ahmad lantang menyerukan akidah yang benar saat keyakinan sesat khalqu Alquran mulai dilazimkan.
Nasab dan Masa Kecilnya
Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ibnu al-Atsir mengatakan, “Tidak ada di kalangan Arab rumah yang lebih terhormat, yang ramah terhadap tetangganya, dan berakhlak yang mulia, daripada keluarga Syaiban.”  Banyak orang besar yang terlahir dari kabilah Syaiban ini, di antara mereka ada yang menjadi panglima perang, ulama, dan sastrawan. Beliau adalah seorang Arab Adnaniyah, nasabnya bertemu denga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
Imam Ahmad berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat berumur 10 tahun. Setelah itu ia baru memulai mempelajari hadits. Sama halnya seperti Imam Syafii, Imam Ahmad pun berasal dari keluarga yang kurang mampu dan ayahnya wafat saat Ahmad masih belia. Di usia remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu ia lakukan sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadits di Baghdad.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Guru pertama Ahmad bin Hanbal muda adalah murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi. Ia belajar dasar-dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi kias dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Madzhab Hanafi, Imam Ahmad mempelajari hadits dari seorang ahli hadits Baghdad, Haitsam bin Bishr.
Tidak cukup menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia juga pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya seperti Mekah, Madinah, Suriah, dan Yaman. Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan Imam Syafii di Mekah, lalu ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu dari beliau selama empat tahun. Imam Syafii mengajarkan pemuda Baghdad ini tidak hanya sekedar mengahfal hadits dan ilmu fikih, akan tetapi memahami hal-hal yang lebih mendalam dari hadits dan fikih tersebut.
Walaupun sangat menghormati dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Imam Syafii, namun Imam Ahmad memiliki arah pemikiran fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang tidak fanatik dan membuka diri.
Menjadi Seorang Ulama
Setelah belajar dengan Imam Syafii, Imam Ahmad mampu secara mandiri merumuskan pendapat sendiri dalam fikih. Imam Ahmad menjadi seorang ahli hadits sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berebagai penjuru negeri Islam. Terutama setelah Imam Syafii wafat di tahun 820, Imam Ahmad seolah-olah menjadi satu-satunya sumber rujukan utama bagi para penuntut ilmu yang senior maupun junior.
Dengan ketenarannya, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk masuk dalam kehidupan yang mewah. Beliau tetap rendah hati, menghindari hadiah-hadia terutama dari para tokoh politik. Beliau khawatir dengan menerima hadiah-hadiah tersebut menghalanginya untuk bebas dalam berpendapat dan berdakwah.
Abu Dawud mengatakan, “Majelis Imam Ahmad adalah majelis akhirat. Tidak pernah sedikit pun disebutkan perkara dunia di dalamnya. Dan aku sama sekali tidak pernah melihat Ahmad bin Hanbal menyebut perkara dunia.”
Masa-masa Penuh Cobaan
Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan peran rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh hanya mengandalkan Alquran dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini adalah bahwa meyakini bahwa Alquran adalah sebuah buku dibuat, artinya Alquran itu adalah makhluk bukan kalamullah.
Al-Makmun percaya pada garis utama pemikiran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan baru dan berbahaya tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk menerima ide-ide Mu’tazilah demi menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, beliau dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan sesat tersebut.
Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk menerima ide-ide Muktazilah dianiaya dan dihukum dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling terkenal di Baghdad, dibawa ke hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia disiksa dan dipenjarakan. Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah saat itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan jika disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan karena keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.
Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan akidah yang benar, yang demikian benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menunjukkan bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan akidah mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa. Pada akhirnya, Imam Ahmad hidup lebih lama dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil  mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan, beliau pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terkenal itu ditulis.
Wafatnya Imam Ahmad
Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki yang mengantarkan jenazah Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang wanita .”
Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahn fikih yang ia hasilkan, atau hanya sejumlah hadits yang telah ia susun, namun beliau juga memiliki peran penting dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
Selain itu, meskipun secara historis Madzhab Hanbali adalah madzhab termuda dalam empat madzhab yang ada, banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam yang sangat terpengaruh oleh Imam Ahmad dan pemikirannya, seperti: Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Katsir, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab.
Semoga Allah Ta’ala menerima amalan Imam Ahmad bin Hanbal dan menempatkannya di surga yang penuh kenikmatan.

Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber:
- Islamstory.com
- Lostislamichistory.com

Biografi Imam Syafii




Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukanistinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yuTetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj Orang-orang shalih terdahulu –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata,“Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

WaAllahu a'lam
Sumber:
  1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
  2. Siyar A‘lam an-Nubala’
  3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon

Biografi Imam Malik



Dalam perjalanan sejarah Islam, kodifikasi hadits merupakan salah satu bagian terpenting yang berfungsi menjaga kemurnian agama. Selama 1400 tahun lebih, para ulama mempelajari teks hadits, berusaha mengenali orang-orang yang meriwayatkannya, menetapkan status keabsahan hadits, dan kemudian menyebarkannya ke tengah umat dengan lisan mereka atau melalui usaha pembukuan. Sebuah usaha yang tidak sederhana yang membedakan teks-teks syariat Islam dibanding dengan teks ajaran lainnya.
Salah seorang ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan dan pembukuan hadis adalah imam besar umat ini yang berasal dari Kota Madinah, ia adalah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah orang pertama yang membukukan hadits dalam kitabnya al-Muwatta.
Mari sejenak mengenal seorang imam yang mulia ini…
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Beliau adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.
Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya, radhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.
Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat. Kemudian Imam Malik pun mengikuti jejak saudaranya dalam mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam Malik melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya semakin tampak karena Malik juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.
Perjalanan Menuntut Ilmu dan Menjadi Ulama Madinah 
Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak memperoleh manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak mengetahu suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan ‘aku tidak tahu’.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai seorang yang paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi, di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.
Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab lainnya.
Sifat dan Karakter Imam Malik
Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits  setampan Malik.”
Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya. Demikian juga saat murid-muridnya berbicara dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara. Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.
Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.”
Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,
إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب
“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas (menghafalnya pen.).
Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)
Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”
Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para muridnya yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat hendak mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan kebiasaan beliau.
Hendaknya demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama. Seorang muslim harus berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama tidak diganti, dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat shalat berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan Allah mencintai keindahan.
Firasat Yang Tajam
Sering kita dapati ketika membaca biografi orang-orang shaleh bahwasanya mereka memiliki firasat yang tajam. Demikian juga dengan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Imam Syafii mengisahkan tentang gurunya ini sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat sang guru. Kata Imam Syafii, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik, kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia berfirasat tentangku. Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku Muhammad.’. Ia kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau akan mendapatkan suatu keadaan (menjadi orang besar pen.).”
Wafatnya
Imam Malik rahimahullah wafat di Kota Madinah pada tahun 179 H/795 M dengan usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.

Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber: Islamstory.com

Biografi Imam Abu Hanifah



Semakin jauh dari masa Rasulullah dan semakin luas daerah-daerah yang mengenal Islam, semakin luas pula perkembangan ilmu keislaman. Perkembangan di sini diartikan dalam hal yang positif bukan perkembangan yang keluar dari garis besar tuntunan Islam. Misalnya, dahulu di zaman Rasulullah dan sahabatnya, huruf-huruf Alquran ditulis dengan tanpa menggunakan harokat dan tanda titik. Setelah orang-orang non-Arab mengenal Islam, penulisan huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan dengan menambahkan titik pada huruf-huruf yang hampir sama, lalu di masa berikutnya ditambahkan harokat. Yang demikian dimaksudkan agar orang-orang non-Arab mudah membacanya.
Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung dengan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in bisa bertanya kepada para sahabat. Adapun orang-orang setelah mereka, dengan penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah dipahami oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha besar menyederhanakan permasalahan ini adalah seorang imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Beliau menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.
Kelahiran dan Masa Kecilnya
Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya yaitu Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Nu’man, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.
Memulai Belajar
Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Seorang Ulama Berpengaruh
Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.
Wafatnya
Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.

Wallahu a’lam bis shawwab.

Sumber:
- Islamstory.com
- Lostislamichistory.com