Thursday, 31 July 2014
Contoh Birrul Walidain Orang Shalih Terdahulu
Contoh pertama
Muhammad bin Sirin berkata, ((Harga kurma naik melambung di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan hingga 1000 dirham, maka Usamah bin Zaid pun pergi menuju pohon kurma yang ia miliki lalu iapun melobanginya dan mengambil jantung kurma tersebut lalu ia berikan kepada ibunya. Orang-orang lalu berkata kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan ini padahal engkau tahu bahwa harga pohon kurma sekarang mencapai 1000 dirham?”, Usamah berkata, “Ibuku meminta jantung pohon kurma kepadaku dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu kecuali aku penuhi permintaannya”))[1]
Contoh kedua
Dari Abu Burdah mengabarkan bahwasanya Ibnu Umar melihat seorang pria dari Yaman towaf di ka’bah sambil mengangkat ibunya di belakang punggungnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah onta ibuku yang tunduk..jika ia takut untuk menungganginya aku tidak takut (untuk ditunggangi)”, lalu ia berkata, “Wahai Ibnu Umar, apakah menurutmu aku telah membalas jasa ibuku?”, Ibnu Umar berkata, “Tidak, bahkan engkau tidak bisa membalas jasa karena keluarnya satu tetes cairan dari cairan yang dikeluarkannya tatkala melahirkan”, kemudian Ibnu Umar menuju maqom Ibrahim dan sholat dua rakaat lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa sesungguhnya setiap dua rakaat menebus dosa-dosa yang ada dihadapan kedua rakaat tersebut”[2]
Lihatlah pemuda dari yaman ini yang telah bersusah payah memikul ibunya untuk berbakti kepada ibunya tatkala thowaf demi untuk membalas kebaikan ibunya namun seluruh keletihan itu tidaklah menyamai setetes air yang keluar tatkala melahirkan. Ini jelas menunjukan akan tingginya dan agungnya hak orangtua atas anaknya
Contoh ketiga
Dari Musa bin ‘Uqbah berkata, “Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib tidak makan bersama ibunya padahal ia adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya. Lalu ditanyakan kepadanya tentang hal itu maka ia berkata, “Aku takut jika aku makan bersama ibuku lantas matanya memandang pada suatu makanan dan aku tidak tahu pandangannya tersebut lalu aku memakan makanan yang dipandangnya itu maka aku telah durhaka kepadanya”[3]
Contoh keempat
Dikatakan bahwasanya Kihmis bin Al-Hasan At-Tamimi[4] hendak membunuh kalajengking namun kalajengking tersebut masuk ke dalam lubangnya maka beliaupun memasukan jari beliau ke dalam lubang tersebut dari belakang kalajengking maka kalajengking tersebutpun menyengatnya. Lalu ditanyakan kepadanya kenapa ia melakukan hal itu?, ia berkata, “Aku khawatir kalajengking itu keluar dari lubangnya kemudian menyengat ibuku”[5]
Contoh kelima
Al-Ma’mun berkata, “Aku tidak melihat ada orang berbakti kepada ayahnya sebagaimana berbaktinya Al-Fadhl bin Yahya kepada ayahnya. Yahya (ayah Fadhl) adalah orang yang tidak bisa berwudhu kecuali dengan air hangat. Pada suatu waktu Yahya dipenjara maka penjaga penjara melarangnya untuk memasukan kayu bakar di malam yang dingin, maka tatkala Yahya hendak tidur Al-Fadhl pun mengambil qumqum (yaitu tempat air dari tembaga yang atasnya sempit, yaitu semacam kendi kecil yang terbuat dari tembaga) lalu ia penuhi dengan air kemudian ia dekatkan dengan lampu sambil berdiri. Ia terus berdiri sambil memegang qumqum hingga subuh.”
Dan selain Ma’mun menceritakan bahwasanya para petugas penjaga penjarapun mengetahui apa yang diperbuat oleh Al-Fadhl maka merekapun melarang Al-Fadhl untuk mendekati lampu pada malam berikutnya maka Al-Fadhl pun mengambil qumqum yang penuh dengan air kemudian ia membawanya tatkala ia hendak tidur, ia memasukannya diantara bantal-bantal hingga subuh sehingga airnyapun hangat”[6]
Dan masih banyak contoh-contoh para salaf dalam berbakti kepada orangtua mereka.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Catatan Kaki:
[1] Sifatus Sofwah 1/522
[2] HR Al-Bukhari dalam adabul mufrod 1/18 dan Dishahihkan sandanya oleh Syaikh Al-Albani
[3] Kitabul bir was silah hal 82 karya Ibnul jauzi sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 33
[4] Seorang tabi’in yang tinggal di Bashroh dan seorang ‘abib (ahli ibadah) , wafat pada tahun 149 H (Masyahir Ulama Al-Amshor 1/152). Berkata Adz-Dzahabi, “Beliau sholat sehari semalam 1000 rakaat…dan uangnya sedinar pernah jatuh lalu iapun mencarinya dan akhirnya mendapatkannya, namun ia tidak mengambilnya dan berkata, “Jangan-jangan ini bukan uangku”,…dan beliau adalah orang yang berbakti kepada ibunya…” (As-Siyar 6/216-217)
[5] Nuzhatul Uqola’ 1/541 sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 35
[6] Kitabul bir was silah, karya Ibnul Jauzi hal 85 sebagaimana dinukil oleh Abdurrohman Alibabtein dalam risalahnya “Birrul Walidain” hal 45
Wednesday, 23 July 2014
Sa’id bin Zaid Radhiyallahu 'anhu
Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya bumi juga telah berserah diri
dengan memikul batu-batu yang berat
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung
dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya awan-awan telah menyerahkan diri
dengan membawa air yang tawar
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…
Zaid bin ‘Amr bin Nufail (ayah Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu) membawakan bait-bait syair tersebut, lalu dia memandang ke arah Ka’bah seraya berucap, “Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku. Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu dengan sebenar-benarnya.”
Zaib bin ‘Amr bin Nufail merupakan putra dari paman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Dia hidup sebelum Islam datang dan sebelum diutusnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan fitrah atau tabiatnya yang lurus, dia pun mendapat petunjuk untuk menyembah Allah, sehingga dia tidak pernah menyembah berhala-berhala ataupun menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala itu seperti yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin di Makkah pada saat itu.
Dia pernah berkata kepada penduduk Makkah, “Wahai kaum Quraisy, Allah telah menurunkan hujan untuk kalian, menumbuhkan tanaman untuk kalian, dan menciptakan kambing untuk kalian, tetapi mengapa kalian menyembelih binatang-binatang ini untuk selain Allah? Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
Mendengar ini, Khaththab bin ‘Amr bin Nufail pun berdiri dan memukul wajahnya, lalu dia berkata kepadanya: ”Celakalah kamu, sungguh kita sudah terlalu bersabar terhadapmu.”
Selanjutnya, Khaththab menyiksanya dengan siksaan yang pedih, hingga akhirnya Zaid pun terpaksa keluar dari Makkah. Dia tidak pernah kembali ke Makkah, kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu karena dia merasa takut kepada pamannya, Khaththab ayah ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Di Makkah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits.
Zaid berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah menyimpang dari ajaran –ajaran agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.”
Mereka kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama yang benar. Adapun Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi, sementara ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah Islam. ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’(syahid yang tangannya terpotong).
Tinggalah Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam untuk mencari agama Ibrahim ‘alaihissalam, hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Dia menceritakan hal itu kepada pendeta tersebut. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu, pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”
Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamtelah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang Badui (Arab pedalaman).
Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “ Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”
Menjelang hembusan nafas terakhirnya, Zaid berkata, “Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.”
Doa Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).
Said masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah, seperti yang dialami sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi kemudian, ‘Umar mengetahui keimanan Sa’id. ‘Umar pun bermaksud membunuhnya, lalu dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id . Akan tetapi, kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap ‘Umar inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab masuknya ‘Umar radhiallahu ‘anhu ke dalam Islam.
Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin Ubaidillah dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberinya bagian ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh dalam perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam perang itu.
Setelah itu Sa’id ikut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia bertempur dengan menggunakan pedangnya dan beriman dengan menggunakan hatinya. Bahkan pada suatu hari dia pernah berada bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Hira’ dengan para shahabat lainnya. Ketika itu tiba-tiba gunung Hira’ bergetar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Tenanglah, wahai Hira’, karena sungguhnya tidak ada yang berada di atasmu, kecuali seorang nabi, seorang yang sangat jujur (ash-shiddiq), dan seorang syahid.”
Ketika orang-orang bertanya kepada Sa’id, “Siapa sajakah yang bersamamu pada saat itu ?”
Sa’id pun menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zubair, Thalhah, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Malik.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda tentang Sa’id, “Sa’id bin Zaid di surga.”
Sa’id merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoinya.
Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api yang menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah penaklukan terhadap negeri Persia selesai, Sa’id tidak tinggal diam. Dia mengangkat pedang dan barang-barangnya untuk pergi ke negeri-negeri lain yang sedang di perangi oleh kaum muslimin. Kali ini sasarannya adalah negeri Syam dimana pada saat itu sedang berlangsung pertempuran yang sangat menentukan antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi, yaitu perang Yarmuk.
Di atas kertas, nampaknya kemenangan lebih dekat kepada pasukan Romawi, karena jumlah mereka sangat banyak, sementara jumlah kaum muslimin sangat sedikit.
Kekalahan bangsa Romawi berarti jatuhnya negeri Syam secara keseluruhan ke tangan kaum muslimin. Karenanya, kedua pasukan itu pun sama-sama mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi pertempuran ini. Pasukan Romawi datang dengan jumlah personel seratus dua puluh ribu pasukan, sedangan jumlah pasukan kaum muslimin hanya dua puluh empat ribu pasukan saja. Kedua pasukan ini saling berhadap-hadapan.
Para pendeta dan uskup datang sambil membawa salib-salib mereka sambil mengeraskan suara mereka untuk membaca doa-doa. Ketakutan pun merasuk ke dalam hati kaum muslimin ketika pasukan Romawi mengulang-ulang doa-doa tersebut. Suara mereka laksana gunung-gunung yang bergeser dari tempatnya.
Pemimpin kaum muslimin yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri untuk memberikan khutbah kepada kaum muslimin. Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, tolonglah Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian. Bersabarlah, sesungguhnya kesabaran akan menyelamatkan kalian dari kekufuran dan akan menyebabkan kalian diridhai oleh Tuhan. Tetaplah kalian diam sampai aku memberikan perintah kepada kalian. Ingatlah selalu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Diantara kaum muslimin, keluarlah seorang laki-laki. Dia berkata kepada Abu Ubaidah, “Wahai Abu Ubaidah, sekarang aku akan pergi dengan harapan aku dapat gugur sebagai syahid dan aku akan keluar untuk memerangi mereka. Apakah kamu mempunyai pesan yang akan kamu kirimkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”
Abu Ubaidah menjawab, “Ya. Kirimkan salam dari kami untuk beliau, dan katakan kepada beliau bahwa kami telah mengetahui bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan kami kepada kami adalah benar.”
Melihat itu, Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu pun berkata, “Ketika aku melihat lelaki tersebut telah menaiki kudanya, menghunus pedangnya, dan melesat menuju musuh-musuh Allah guna memerangi mereka, aku pun meletakkan lututku ke tanah, lalu aku melemparkan anak panahku ke arah seorang anggota pasukan berkuda dari bangsa Romawi. Saat itu Allah menghilangkan rasa takut dari dalam hatiku. Maka, aku pun langsung masuk menembus barisan musuh. Aku memerangi mereka hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada kami.”
Abu Ubaidillah telah mengetahui dengan baik kesungguhan keimanan Sa’id. Karenanya Abu Ubaidillah pun menyerahkan misi penaklukan Damaskus kepada Sa’id, lalu dia menjadikan Sa’id sebagai wali (gubernur) disana. Ketika semua orang yang hidup pada masanya sudah berpulang keharibaan Allah, Sa’id bin Zaid masih tetap hidup sampai masa Dinasti Bani Umayyah.
Masa-masa akhir hayat Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Sa’id bin Zaid menangisi shahabat-shahabat Islam yang telah meninggal sebelumnya. Tinggalah dia seorang diri menyaksikan terjadinya fitnah (kerusuhan) dan menyaksikan bagaimana kehidupan dunia dengan segala macam perhiasannya telah masuk ke dalam hati kaum muslimin, maka Sa’id pun lebih memilih untuk kembali ke Madinah dan tinggal disana. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di Madinah adalah Marwan bin Hakam bin ‘Ash.
Saat itu seorang wanita yang bernama Arwa binti Uwais keluar, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Sa’id telah mencuri tanahku dan telah memasukkannya ke bagian tanahnya.” Sungguh perkataan itu sangat menyakitkan hati Sa’id bin Zaid, shahabat Rasulullah dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira berupa surga. Karenanya, Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika dia berbohong, maka hilangkanlah penglihatannya dan bunuhlah ia di tanahnya sendiri.”
Seketika itu pula hujan turun dari langit sampai diperbatasan tanah yang menurut wanita itu Sa’id telah melampaui batas tersebut. Seketika mata wanita itupun menjadi buta dan hanya selang beberapa hari, wanita itu terjatuh dalam sebuah lubang yang berada di tanah miliknya hingga dia meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doa Sa’id bin Zaid yang terzhalimi dan telah dituduh sebagai seorang pembohong dan pendusta.
Pada suatu pagi penduduk Madinah dikagetkan oleh suara seorang pelayat yang menangisi kepergian Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Peristiws itu terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan, tepatnya pada tahun ke-50 Hijriyah. Dia di kuburkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Salam sejahtera baginya.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber:Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006
Tuesday, 22 July 2014
Kemuliaan Itu pada Agama dan Ilmu
Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan sebuah kisah menarik tentang dialog antara khalifah Abdul Malik bin Marwan dan ulama hadits dari generasi tabi’in, imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri. Kisah tersebut dituturkan oleh Walid bin Muhammad Al-Muwaqqari bahwa pada suatu hari imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri mendatangi khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Abdul Malik bin Marwan: “Dari mana Anda datang?”
Az-Zuhri: “Dari Makkah.”
Abdul Malik bin Marwan: “Siapa ulama yang memimpin Makkah sepeninggal Anda?”
Az-Zuhri: “Atha’ (bin Abi Rabah).”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Dengan apa ia menjadi pemimpin (ulama) Makkah?”
Az-Zuhri: “Dengan agama (ketakwaan) dan riwayat (ilmu dan periwayatan hadits).”
Abdul Malik bin Marwan: “Orang yang memiliki agama dan riwayat memang seyogyanya diangkat sebagai pemimpin. Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Yaman?”
Az-Zuhri: “Thawus (bin Kaisan Al-Yamani).”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Syam?”
Az-Zuhri: “Makhul (Abu Abdillah Asy-Syami).”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia seorang budak yang telah dimerdekakan. Ia seorang budak bangsa Naubah yang dimerdekakan oleh seorang wanita dari suku Hudzail.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Jazirah (negeri di antara sungai Tigris dan Eufrat di Irak)?”
Az-Zuhri: “Maimun bin Mihran dan ia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Khurasan (Afghanistan)?”
Az-Zuhri: “Dhahak bin Muzahim dan ia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Bashrah?”
Az-Zuhri: “Hasan (bin Yasar Al-Bashri) dan ia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Kufah?”
Az-Zuhri: “Ibrahim (bin Yazid) An-Nakha’i.”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia adalah orang Arab.”
Abdul Malik: “Aduh! Anda telah mengurangi kesempitan saya. Demi Allah, budak-budak yang dimerdekakan akan memimpin orang-orang Arab di negeri ini sehingga nama mereka disebut-sebut di atas mimbar-mimbar, sementara orang-orang Arab berada di bawah mimbar.”
Az-Zuhri:
يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، إِنَّمَا هُوَ دِيْنٌ، مَنْ حَفِظَهُ، سَادَ، وَمَنْ ضَيَّعَهُ، سَقَطَ.
“Wahai amirul mukminin, ini adalah agama. Barangsiapa menjaga agama, niscaya ia akan memimpin. Dan barangsiapa menelantarkan agama, niscaya ia akan jatuh.”
***
Saudaraku seislam dan seiman…
Kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa nilai seseorang diukur dari kadar pengetahuan dan pengamalannya terhadap dien Allah. Jika seseorang memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-sunnah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya walaupun ia berasal dari rakyat jelata dan bangsa non-Arab. Sebaliknya, Allah akan menghinakan derajat seseorang yang tidak memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan as-sunnah, walau ia seorang penguasa dan berasal dari bangsa Arab.
Itulah hukum Allah dan hukum Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam juga telah menegaskan hukum yang sama.
عَنْ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ، أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ، لَقِيَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ، وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ، فَقَالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي، فَقَالَ: ابْنَ أَبْزَى، قَالَ: وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟ قَالَ: مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا، قَالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى؟ قَالَ: إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ، قَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ: «إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ».
Dari Amir bin Watsilah bahwasanya Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Umar bin Khathab di Usfan. Nafi’ adalah pejabat yang diangkat oleh Umar sebagai gubernur Makkah. Umar bertanya, “Siapa yang engkau angkat sebagai gubernur sementara atas penduduk lembah Makkah ini?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?” Nafi’ menjawab, “Seorang budak yang telah kami merdekakan.” Umar bertanya, “Engkau mengangkat seorang budak yang telah dimerdekakan sebagai gubernur sementara atas penduduk Makkah?” Nafi’ menjawab, “Tetapi dia hafal Al-Qur’an dan ahli di bidang faraidh (ilmu pembagian warisan).” Umar bin Khathab berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al-Qur’an ini dan merendahkan derajat beberapa kaum lainnya dengan Al-Qur’an ini.” (HR. Muslim no. 817, Ahmad no. 232, Ibnu Majah no. 218, Al-Bazzar 249 dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 1184)
Wallahu a’lam bis shawwab.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber kisah:
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 5/85, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H.
Thursday, 17 July 2014
Ibnul Atsir Rahimahullah
26 November 2010
Nama Ibnul Atsirrahimahullah memang tidak setenar Imam al-Bukhari rahimahullah, Imam Muslimrahimahullah ataupun Imam Ahmadrahimahullah. Namun demikian, para ulama ahli hadits sangat mengapresiasikan karya ilmiah beliau dalam salah satu aspek ilmu hadits yang beliau dalami dan merasakan manfaatnya yang besar.
Terlahir dengan nama Mubarak, putra Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Karim bin Abdul Wahid asy-Syaibani al-Jazari, di kota Maushil (Mosul, Irak) pada tahun 544 H. Selanjutnya lebih populer dengan panggilan Ibnul Atsir, putra al-Atsir yang merupakan laqab (julukan) sang ayah.
Sejak dini beliau memasuki dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab Jami’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul, ” Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ilmi (belajar ilmu agama), duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para Ulama). Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku lantaran menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufik Allah Azza wa Jalla sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi-sisi yang tersembunyi dan mengetahui segi-segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikitpun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku taufik untuk dapat mencari ilmu dengfan baik dan meraih tujuan mulia.” [1]
Seiring dengan perjalanan waktu, kemampuan ilmiah beliaupun mencapai kematangan. Tidak hanya menguasai satu disiplin ilmu. Ilmu bahasa Arab, Tafsir, Hadits dan Fiqih adalah deretan pengetahuan beliau yang menonjol. Karya-karya ilmiah beliau dibidang-bidang yang telah disebutkan menjadi bukti nyata akan kepakaran beliau di dalamnya. Tak ketinggalan, Ulama yang juga akrab dengan panggilan Abus Sa’adat Majduddin ini juga dikenal sebagai penyair ulung. Akan tetapi, dari seluruh aspek keahliannya itu kedalamannya dalam ilmu hadits, terutama yang berkaitan dengan ilmul gharib lah yang paling menonjol. Namanya pun sering dikaitkan dengannya lantaran telah melahirkan karya yang disebut-sebut tiada tandingannya. Orang lebih mengenal beliau dari sisi lain.
Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa menulis sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus di tandu. Karena itu, beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak menghalangi beliau untuk mewariskan ilmu-ilmu bagi umat. Bahkan ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya menghadapi penyakit yang di deritanya. Ada sejumlah murid yang membantu beliau menuliskannya.
URGENSI AN-NIHAYAH FI GHARIBIL HADITSI WAL ATSAR
Imam Ahmad rahimahullah pernah di tanya tentang satu kata sulit yang terdapat dalam sebuah hadits. Beliau menjawab: ” Tanyakanlah itu kepada orang-orang yang menguasainya (ashhabul gharib). Aku tidak suka berbicara tentang perkataan Rasulullah dengan dasar prasangka semata yang mengakibatkan aku melakukan kesalahan”.
Ungkapan Imam Ahmad ini sedikit banyak menandakan pentingnya penguasaa dalam dunia ilmu hadits yand disebut dengan ‘ilmul gharib, yang nantinya menjadi titik keunggulan Ibul Atsir rahimahullah dan karyanya.
Secara mudah, pengertian al-ghariib, dikatakan Ibnu Shalah, ialah satu ungkapan untuk menerangkan kata-kata yang (belum) tidak dijelaskan maknanya, susah dipahami yang belum ada matan (teks-teks) hadits lantaran sudah jarang dipakai (orang)”. Jadi yang masuk kata gharib (kata-kata asing) adalah kata yang sudah termarjinalkan pemakaiannya, sulit dipahami, tidak terbiasa didengar di telinga.
An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar, itulah nama kitab susunan Ibnul Atsirrahimahullah dalam masalah ini. Sebagaimana namanya, an-Nihayah (penghabisan), kitab ini kandungannya karya, sangat mencukupi dan memadai untuk menjadi jembatan memahami kata-kata sulit yang terdapat dalam hadits-hadits, lantaran telah menggabungkan kitab-kitab sebelumnya, plus tambahan dari beliau yang banyak. Selain itu, melalui kitab ini, akan mudah dicari kata sulit yang diinginkan dan dengan cara yang mudah, tidak seperti karya-karya ulama sebelumnya dalam bidang yang sama yang masih menyisakan kesulitan dalam mencari perkata. Tak pelak, bila dijadikan sebagai ‘umdah, pegangan utama dalam ilmu gharib.
Tentang kitabnya, as-Suyuthi rahimahullah berkata: ” Kitabnya adalah kitab terbaik dalam bahasan gharibul hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai”.
DI ANTARA PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
1. Manfaat besar memulai mendalami agama sejak dini. Pengaruhnya akan lebih kuat di masa dewasa
2. Pentingnya ketekunan dalam belajar untuk menggapai tujuan.
3. Allah Azza wa Jalla memudahkan hamba-Nya untuk memberi kemanfaatan bagi sesama bila jujur dalam niatnya meski menderita kekurangan secara fisik. Wallahu’alam
Manhajul Ibnul Atsir al-Jazari fi Mushannafihi, An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar.olehSyaikh Prof. DR. Ahmad bin Muhammad al-Kharrath.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Footnote:
[1] Jami’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul 1/35
Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Thn.XIV Dzulqa’dah 1431 H/ Oktober 2010 M. [Baituna, hal 9-10]
Wednesday, 16 July 2014
Kitab Al-Bidayah Wan-Nihayah
Kitab Al Bidayah wa Nihayah, adalah kitab sejarah karya ulama besar Ibnu Katsir Rahimahullah yang merupakan kitab sejarah terlengkap yang telah diringkas oleh Dr. Ahmad Al-Khani, dimulai dari Sejarah Awal Mula Penciptaan, Kisah Para Nabi, Kisah umat-umat terdahulu, Sejarah Nabi Muhammad saw dan Khulafa’ Rasyidin, Daulah Umawiyah dan Abasiyah, hingga peristiwa sampai 768 Hijriah dimana Ibnu Katsir hidup di zaman itu.
Tentu saja kitab itu sangat banyak jumlahnya berjilid-jilid sehingga menyulitkan bagi penuntut ilmu untuk meneliti secara perlahan peristiwa demi peristiwa satu persatu.
Adalah DR. Ahmad Al Khani, ahli sejarah Islam dari negeri Syam, berusaha meringkas kitab ini. Kitab yang dihasilkannya jauh berbeda dibanding kitab-kitab ringkasan pada umumnya. Kitabnya mampu mengumpulkan buah-buah yang telah dipetiknya, laksana udara baru dan segar, yang sarat dengan makna.
Keistimewaan-keistimewaan yang paling menonjol dari kitab ini adalah:
- Dalam ringkasan ini seluruh haditsnya sudah di takhrij, demikian pula materi dan syair-syairnya.
- Penulis telah mengetengahkan kejadian-kejadian yang sangat penting bagi pembaca, dengan bahasa sastra yang mudah dipahami
- Satu kejadian yang ditampilkan berbagai versi oleh Ibnu katsir, diringkas dan disajikan dengan sangat sederhana.
>>DOWNLOAD DI SINI<<
Saturday, 12 July 2014
Shalahuddin al-Ayyubi
Seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam,
seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin
Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin
al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding
dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya
Shalahuddin
al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam(non-Arab), tidak
seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang
Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit,
Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang
besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran
Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa
kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang
yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan
menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit,
keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal
bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin
az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang
penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar
menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat
mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari
Alquran, menghafal hadis-hadis Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri di
Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin
al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah.
Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai
digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko
menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin,
melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan
penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem
dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan
cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin
Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir.
Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di
Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan
Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil
dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun
tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin
diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir,
Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun
dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia
tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah
Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu
negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang
ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan
nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: “Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan.” Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d’ Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.
Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.
Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup.
Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.
Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya, kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.
Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.
Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.
Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai yang diterima oleh Sultan. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.
“Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu” tulis Michaud “di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam pertempuran ini.
Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.
Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber::
Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)
The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold.
Shalahuddin
al-Ayyubi Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin
al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin
al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com
Kitab Riyadhus Shalihin
Riyadhus Shalihin merupakan kitab kumpulan hadits dari Rasulullah Saw berkenaan dengan berbagai persoalan. Kitab ini disusun oleh al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi. Seorang ulama besar Ahli hadits yang diakui seluruh ulama Islam dari masa ke masa.
Pada kitab ini hadits-hadits Rasulullah Saw dikelompokkan ke dalam bab-bab berdasarkan tema utama, misalnya shalat, zakat, jihad, doa, Qur’an, dan sebagainya. Sangat cocok menjadi pegangan muslim yang ingin mempelajari sunah-sunah Rasulullah saw.
Riyadhus Shalihin benar-benar menjadi taman surga bagi orang-orang yang shalih dan yang menginginkan keshalihan. Semenjak ditulis pada tahun 670 M, lebih dari tujuh abad silam buku ini telah menyebar ke seluruh belahan bumi.
Download Kitab Riyadhus Shalihin
Riyadhus Sholihin buku 1
Riyadhus Sholihin buku 2
Subscribe to:
Posts (Atom)