Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)

Menegakkan shalat

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), [Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Menunaikan zakat

“Ambillah dari harta mereka sedekah / zakat, untuk membersikah mereka serta menghapus kesalahan mereka” (QS At Taubah [9]: 103).

Puasa Ramadhan

“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)

Haji bagi yang mampu

“Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan apapun) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)

Thursday, 31 July 2014

Contoh Birrul Walidain Orang Shalih Terdahulu


Contoh pertama
Muhammad bin Sirin berkata, ((Harga kurma naik melambung di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan hingga 1000 dirham, maka Usamah bin Zaid pun pergi menuju pohon kurma yang ia miliki lalu iapun melobanginya dan mengambil jantung kurma tersebut lalu ia berikan kepada ibunya. Orang-orang lalu berkata kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan ini padahal engkau tahu bahwa harga pohon kurma sekarang mencapai 1000 dirham?”, Usamah berkata, “Ibuku meminta jantung pohon kurma kepadaku dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu kecuali aku penuhi permintaannya”))[1]
Contoh kedua

شهد بن عمر رجلا يمانيا يطوف بالبيت حمل أمه وراء ظهره يقول

إني لها بعيرها المذلل      إن أذعرت ركابها لم أذعر

ثم قال يا بن عمر أترانى جزيتها قال لا ولا بزفرة واحدة ثم طاف بن عمر فأتى المقام فصلى ركعتين ثم قال يا بن أبى موسى إن كل ركعتين تكفران ما أمامهما

Dari Abu Burdah mengabarkan bahwasanya Ibnu Umar melihat seorang pria dari Yaman towaf di ka’bah sambil mengangkat ibunya di belakang punggungnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah onta ibuku yang tunduk..jika ia takut untuk menungganginya aku tidak takut (untuk ditunggangi)”, lalu ia berkata, “Wahai Ibnu Umar, apakah menurutmu aku telah membalas jasa ibuku?”, Ibnu Umar berkata, “Tidak, bahkan engkau tidak bisa membalas jasa karena keluarnya satu tetes cairan dari cairan yang dikeluarkannya tatkala melahirkan”, kemudian Ibnu Umar menuju maqom Ibrahim dan sholat dua rakaat lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa sesungguhnya setiap dua rakaat menebus dosa-dosa yang ada dihadapan kedua rakaat tersebut”[2]
Lihatlah pemuda dari yaman ini yang telah bersusah payah memikul ibunya untuk berbakti kepada ibunya tatkala thowaf demi untuk membalas kebaikan ibunya namun seluruh keletihan itu tidaklah menyamai setetes air yang keluar tatkala melahirkan. Ini jelas menunjukan akan tingginya dan agungnya hak orangtua atas anaknya
Contoh ketiga
Dari Musa bin ‘Uqbah berkata, “Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib tidak makan bersama ibunya padahal ia adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya. Lalu ditanyakan kepadanya tentang hal itu maka ia berkata, “Aku takut jika aku makan bersama ibuku lantas matanya memandang pada suatu makanan dan aku tidak tahu pandangannya tersebut lalu aku memakan makanan yang dipandangnya itu maka aku telah durhaka kepadanya”[3]
Contoh keempat
Dikatakan bahwasanya Kihmis bin Al-Hasan At-Tamimi[4] hendak membunuh kalajengking namun kalajengking tersebut masuk ke dalam lubangnya maka beliaupun memasukan jari beliau ke dalam lubang tersebut dari belakang kalajengking maka kalajengking tersebutpun menyengatnya. Lalu ditanyakan kepadanya kenapa ia melakukan hal itu?, ia berkata, “Aku khawatir kalajengking itu keluar dari lubangnya kemudian menyengat ibuku”[5]
Contoh kelima
Al-Ma’mun berkata, “Aku tidak melihat ada orang berbakti kepada ayahnya sebagaimana berbaktinya Al-Fadhl bin Yahya kepada ayahnya. Yahya (ayah Fadhl) adalah orang yang tidak bisa berwudhu kecuali dengan air hangat. Pada suatu waktu Yahya dipenjara maka penjaga penjara melarangnya untuk memasukan kayu bakar di malam yang dingin, maka tatkala Yahya hendak tidur Al-Fadhl pun mengambil qumqum (yaitu tempat air dari tembaga yang atasnya sempit, yaitu semacam kendi kecil yang terbuat dari tembaga) lalu ia penuhi dengan air kemudian ia dekatkan dengan lampu sambil berdiri. Ia terus berdiri sambil memegang qumqum hingga subuh.”
Dan selain Ma’mun menceritakan bahwasanya para petugas penjaga penjarapun mengetahui apa yang diperbuat oleh Al-Fadhl maka merekapun melarang Al-Fadhl untuk mendekati lampu pada malam berikutnya maka Al-Fadhl pun mengambil qumqum yang penuh dengan air kemudian ia membawanya tatkala ia hendak tidur, ia memasukannya diantara bantal-bantal hingga subuh sehingga airnyapun hangat”[6]
Dan masih banyak contoh-contoh para salaf dalam berbakti kepada orangtua mereka.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Catatan Kaki:
[1] Sifatus Sofwah 1/522
[2] HR Al-Bukhari dalam adabul mufrod 1/18 dan Dishahihkan sandanya oleh Syaikh Al-Albani
[3] Kitabul bir was silah hal 82 karya Ibnul jauzi sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 33
[4] Seorang tabi’in yang tinggal di Bashroh dan seorang ‘abib (ahli ibadah) , wafat pada tahun 149 H (Masyahir Ulama Al-Amshor 1/152). Berkata Adz-Dzahabi, “Beliau sholat sehari semalam 1000 rakaat…dan uangnya sedinar pernah jatuh lalu iapun mencarinya dan akhirnya mendapatkannya, namun ia tidak mengambilnya dan berkata, “Jangan-jangan ini bukan uangku”,…dan beliau adalah orang yang berbakti kepada ibunya…” (As-Siyar 6/216-217)
[5] Nuzhatul Uqola’ 1/541 sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 35
[6] Kitabul bir was silah, karya Ibnul Jauzi hal 85 sebagaimana dinukil oleh Abdurrohman Alibabtein dalam risalahnya “Birrul Walidain” hal 45

Wednesday, 23 July 2014

Sa’id bin Zaid Radhiyallahu 'anhu

Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya bumi juga telah berserah diri
dengan memikul batu-batu yang berat
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung
dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada Dzat 
yang kepada-Nya awan-awan telah menyerahkan diri
dengan membawa air yang tawar
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…
Zaid bin ‘Amr bin Nufail (ayah Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu) membawakan bait-bait syair tersebut, lalu dia memandang ke arah Ka’bah seraya berucap, “Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku. Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu dengan sebenar-benarnya.”

Zaib bin ‘Amr bin Nufail merupakan putra dari paman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Dia hidup sebelum Islam datang dan sebelum diutusnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan fitrah atau tabiatnya yang lurus, dia pun mendapat petunjuk untuk menyembah Allah, sehingga dia tidak pernah menyembah berhala-berhala ataupun menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala itu seperti yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin di Makkah pada saat itu.

Dia pernah berkata kepada penduduk Makkah, “Wahai kaum Quraisy, Allah telah menurunkan hujan untuk kalian, menumbuhkan tanaman untuk kalian, dan menciptakan kambing untuk kalian, tetapi mengapa kalian menyembelih binatang-binatang ini untuk selain Allah? Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

Mendengar ini, Khaththab bin ‘Amr bin Nufail pun berdiri dan memukul wajahnya, lalu dia berkata kepadanya: ”Celakalah kamu, sungguh kita sudah terlalu bersabar terhadapmu.”
Selanjutnya, Khaththab menyiksanya dengan siksaan yang pedih, hingga akhirnya Zaid pun terpaksa keluar dari Makkah. Dia tidak pernah kembali ke Makkah, kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu karena dia merasa takut kepada pamannya, Khaththab ayah ‘Umar radhiallahu ‘anhu.

Di Makkah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits.

Zaid berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah menyimpang dari ajaran –ajaran agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.”

Mereka kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama yang benar. Adapun Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi, sementara ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah Islam. ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’(syahid yang tangannya terpotong).

Tinggalah Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam untuk mencari agama Ibrahim ‘alaihissalam, hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Dia menceritakan hal itu kepada pendeta tersebut. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu, pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”

Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamtelah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang Badui (Arab pedalaman).

Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “ Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”

Menjelang hembusan nafas terakhirnya, Zaid berkata, “Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.”

Doa Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).
Said masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah, seperti yang dialami sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi kemudian, ‘Umar mengetahui keimanan Sa’id. ‘Umar pun bermaksud membunuhnya, lalu dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id . Akan tetapi, kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap ‘Umar inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab masuknya ‘Umar radhiallahu ‘anhu ke dalam Islam.

Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin Ubaidillah dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberinya bagian ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh dalam perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam perang itu.

Setelah itu Sa’id ikut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia bertempur dengan menggunakan pedangnya dan beriman dengan menggunakan hatinya. Bahkan pada suatu hari dia pernah berada bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Hira’ dengan para shahabat lainnya. Ketika itu tiba-tiba gunung Hira’ bergetar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Tenanglah, wahai Hira’, karena sungguhnya tidak ada yang berada di atasmu, kecuali seorang nabi, seorang yang sangat jujur (ash-shiddiq), dan seorang syahid.”
Ketika orang-orang bertanya kepada Sa’id, “Siapa sajakah yang bersamamu pada saat itu ?”
Sa’id pun menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zubair, Thalhah, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Malik.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda tentang Sa’id, “Sa’id bin Zaid di surga.”
Sa’id merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoinya.

Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api yang menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah penaklukan terhadap negeri Persia selesai, Sa’id tidak tinggal diam. Dia mengangkat pedang dan barang-barangnya untuk pergi ke negeri-negeri lain yang sedang di perangi oleh kaum muslimin. Kali ini sasarannya adalah negeri Syam dimana pada saat itu sedang berlangsung pertempuran yang sangat menentukan antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi, yaitu perang Yarmuk.
Di atas kertas, nampaknya kemenangan lebih dekat kepada pasukan Romawi, karena jumlah mereka sangat banyak, sementara jumlah kaum muslimin sangat sedikit.

Kekalahan bangsa Romawi berarti jatuhnya negeri Syam secara keseluruhan ke tangan kaum muslimin. Karenanya, kedua pasukan itu pun sama-sama mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi pertempuran ini. Pasukan Romawi datang dengan jumlah personel seratus dua puluh ribu pasukan, sedangan jumlah pasukan kaum muslimin hanya dua puluh empat ribu pasukan saja. Kedua pasukan ini saling berhadap-hadapan.

Para pendeta dan uskup datang sambil membawa salib-salib mereka sambil mengeraskan suara mereka untuk membaca doa-doa. Ketakutan pun merasuk ke dalam hati kaum muslimin ketika pasukan Romawi mengulang-ulang doa-doa tersebut. Suara mereka laksana gunung-gunung yang bergeser dari tempatnya.

Pemimpin kaum muslimin yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri untuk memberikan khutbah kepada kaum muslimin. Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, tolonglah Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian. Bersabarlah, sesungguhnya kesabaran akan menyelamatkan kalian dari kekufuran dan akan menyebabkan kalian diridhai oleh Tuhan. Tetaplah kalian diam sampai aku memberikan perintah kepada kalian. Ingatlah selalu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Diantara kaum muslimin, keluarlah seorang laki-laki. Dia berkata kepada Abu Ubaidah, “Wahai Abu Ubaidah, sekarang aku akan pergi dengan harapan aku dapat gugur sebagai syahid dan aku akan keluar untuk memerangi mereka. Apakah kamu mempunyai pesan yang akan kamu kirimkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”

Abu Ubaidah menjawab, “Ya. Kirimkan salam dari kami untuk beliau, dan katakan kepada beliau bahwa kami telah mengetahui bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan kami kepada kami adalah benar.”

Melihat itu, Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu pun berkata, “Ketika aku melihat lelaki tersebut telah menaiki kudanya, menghunus pedangnya, dan melesat menuju musuh-musuh Allah guna memerangi mereka, aku pun meletakkan lututku ke tanah, lalu aku melemparkan anak panahku ke arah seorang anggota pasukan berkuda dari bangsa Romawi. Saat itu Allah menghilangkan rasa takut dari dalam hatiku. Maka, aku pun langsung masuk menembus barisan musuh. Aku memerangi mereka hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada kami.”

Abu Ubaidillah telah mengetahui dengan baik kesungguhan keimanan Sa’id. Karenanya Abu Ubaidillah pun menyerahkan misi penaklukan Damaskus kepada Sa’id, lalu dia menjadikan Sa’id sebagai wali (gubernur) disana. Ketika semua orang yang hidup pada masanya sudah berpulang keharibaan Allah, Sa’id bin Zaid masih tetap hidup sampai masa Dinasti Bani Umayyah.

Masa-masa akhir hayat Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Sa’id bin Zaid menangisi shahabat-shahabat Islam yang telah meninggal sebelumnya. Tinggalah dia seorang diri menyaksikan terjadinya fitnah (kerusuhan) dan menyaksikan bagaimana kehidupan dunia dengan segala macam perhiasannya telah masuk ke dalam hati kaum muslimin, maka Sa’id pun lebih memilih untuk kembali ke Madinah dan tinggal disana. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di Madinah adalah Marwan bin Hakam bin ‘Ash.

Saat itu seorang wanita yang bernama Arwa binti Uwais keluar, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Sa’id telah mencuri tanahku dan telah memasukkannya ke bagian tanahnya.” Sungguh perkataan itu sangat menyakitkan hati Sa’id bin Zaid, shahabat Rasulullah dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira berupa surga. Karenanya, Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika dia berbohong, maka hilangkanlah penglihatannya dan bunuhlah ia di tanahnya sendiri.”

Seketika itu pula hujan turun dari langit sampai diperbatasan tanah yang menurut wanita itu Sa’id telah melampaui batas tersebut. Seketika mata wanita itupun menjadi buta dan hanya selang beberapa hari, wanita itu terjatuh dalam sebuah lubang yang berada di tanah miliknya hingga dia meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doa Sa’id bin Zaid yang terzhalimi dan telah dituduh sebagai seorang pembohong dan pendusta.

Pada suatu pagi penduduk Madinah dikagetkan oleh suara seorang pelayat yang menangisi kepergian Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Peristiws itu terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan, tepatnya pada tahun ke-50 Hijriyah. Dia di kuburkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Salam sejahtera baginya.

Wallahu a’lam bis shawwab.

Sumber:Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006

Tuesday, 22 July 2014

Kemuliaan Itu pada Agama dan Ilmu





Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan sebuah kisah menarik tentang dialog antara khalifah Abdul Malik bin Marwan dan ulama hadits dari generasi tabi’in, imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri. Kisah tersebut dituturkan oleh Walid bin Muhammad Al-Muwaqqari bahwa pada suatu hari imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri mendatangi khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Abdul Malik bin Marwan: “Dari mana Anda datang?”
Az-Zuhri: “Dari Makkah.”
Abdul Malik bin Marwan: “Siapa ulama yang memimpin Makkah sepeninggal Anda?”
Az-Zuhri: “Atha’ (bin Abi Rabah).”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Dengan apa ia menjadi pemimpin (ulama) Makkah?”
Az-Zuhri: “Dengan agama (ketakwaan) dan riwayat (ilmu dan periwayatan hadits).”
Abdul Malik bin Marwan: “Orang yang memiliki agama dan riwayat memang seyogyanya diangkat sebagai pemimpin. Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Yaman?”
Az-Zuhri: “Thawus (bin Kaisan Al-Yamani).”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Syam?”
Az-Zuhri: “Makhul (Abu Abdillah Asy-Syami).”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia seorang budak yang telah dimerdekakan. Ia seorang budak bangsa Naubah yang dimerdekakan oleh seorang wanita dari suku Hudzail.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Jazirah (negeri di antara sungai Tigris dan Eufrat di Irak)?”
Az-Zuhri: “Maimun bin Mihran dan ia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Khurasan (Afghanistan)?”
Az-Zuhri: “Dhahak bin Muzahim dan ia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Bashrah?”
Az-Zuhri: “Hasan (bin Yasar Al-Bashri) dan ia seorang budak yang telah dimerdekakan.”
Abdul Malik bin Marwan: “Lalu siapa (ulama) yang memimpin negeri Kufah?”
Az-Zuhri: “Ibrahim (bin Yazid) An-Nakha’i.”
Abdul Malik bin Marwan: “Dia orang Arab atau orang maula (budak yang dimerdekakan)?”
Az-Zuhri: “Dia adalah orang Arab.”
Abdul Malik: “Aduh! Anda telah mengurangi kesempitan saya. Demi Allah, budak-budak yang dimerdekakan akan memimpin orang-orang Arab di negeri ini sehingga nama mereka disebut-sebut di atas mimbar-mimbar, sementara orang-orang Arab berada di bawah mimbar.”
Az-Zuhri:
يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، إِنَّمَا هُوَ دِيْنٌ، مَنْ حَفِظَهُ، سَادَ، وَمَنْ ضَيَّعَهُ، سَقَطَ.
“Wahai amirul mukminin, ini adalah agama. Barangsiapa menjaga agama, niscaya ia akan memimpin. Dan barangsiapa menelantarkan agama, niscaya ia akan jatuh.”
***
Saudaraku seislam dan seiman…
Kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa nilai seseorang diukur dari kadar pengetahuan dan pengamalannya terhadap dien Allah. Jika seseorang memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-sunnah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya walaupun ia berasal dari rakyat jelata dan bangsa non-Arab. Sebaliknya, Allah akan menghinakan derajat seseorang yang tidak memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan as-sunnah, walau ia seorang penguasa dan berasal dari bangsa Arab.
Itulah hukum Allah dan hukum Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam juga telah menegaskan hukum yang sama.
عَنْ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ، أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ، لَقِيَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ، وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ، فَقَالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي، فَقَالَ: ابْنَ أَبْزَى، قَالَ: وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟ قَالَ: مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا، قَالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى؟ قَالَ: إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ، قَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ: «إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ».
Dari Amir bin Watsilah bahwasanya Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Umar bin Khathab di Usfan. Nafi’ adalah pejabat yang diangkat oleh Umar sebagai gubernur Makkah. Umar bertanya, “Siapa yang engkau angkat sebagai gubernur sementara atas penduduk lembah Makkah ini?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?” Nafi’ menjawab, “Seorang budak yang telah kami merdekakan.” Umar bertanya, “Engkau mengangkat seorang budak yang telah dimerdekakan sebagai gubernur sementara atas penduduk Makkah?” Nafi’ menjawab, “Tetapi dia hafal Al-Qur’an dan ahli di bidang faraidh (ilmu pembagian warisan).” Umar bin Khathab berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al-Qur’an ini dan merendahkan derajat beberapa kaum lainnya dengan Al-Qur’an ini.” (HR. Muslim no. 817, Ahmad no. 232, Ibnu Majah no. 218, Al-Bazzar 249 dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 1184)

Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber kisah:
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 5/85, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H.

Thursday, 17 July 2014

Ibnul Atsir Rahimahullah


Nama Ibnul Atsirrahimahullah memang tidak setenar Imam al-Bukhari rahimahullah, Imam Muslimrahimahullah ataupun Imam Ahmadrahimahullah. Namun demikian, para ulama ahli hadits sangat mengapresiasikan karya ilmiah beliau dalam salah satu aspek ilmu hadits yang beliau dalami dan merasakan manfaatnya yang besar.
Terlahir dengan nama Mubarak, putra Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Karim bin Abdul Wahid asy-Syaibani al-Jazari, di kota Maushil (Mosul, Irak) pada tahun 544 H. Selanjutnya lebih populer dengan panggilan Ibnul Atsir, putra al-Atsir yang merupakan laqab (julukan) sang ayah.
Sejak dini beliau memasuki dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab Jami’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul, ” Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ilmi (belajar ilmu agama), duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para Ulama). Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku lantaran menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufik Allah Azza wa Jalla sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi-sisi yang tersembunyi dan mengetahui segi-segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikitpun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku taufik untuk dapat mencari ilmu dengfan baik dan meraih tujuan mulia.” [1]
Seiring dengan perjalanan waktu, kemampuan ilmiah beliaupun mencapai kematangan. Tidak hanya menguasai satu disiplin ilmu. Ilmu bahasa Arab, Tafsir, Hadits dan Fiqih adalah deretan pengetahuan beliau yang menonjol. Karya-karya ilmiah beliau dibidang-bidang  yang telah disebutkan menjadi bukti nyata akan kepakaran beliau di dalamnya. Tak ketinggalan, Ulama yang juga akrab dengan panggilan Abus Sa’adat Majduddin ini juga dikenal sebagai penyair ulung. Akan tetapi, dari seluruh aspek keahliannya itu kedalamannya dalam ilmu hadits, terutama yang berkaitan dengan ilmul gharib lah yang paling menonjol. Namanya pun sering dikaitkan dengannya lantaran telah melahirkan karya yang disebut-sebut tiada tandingannya. Orang lebih mengenal beliau dari sisi lain.
Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa menulis sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus di tandu. Karena itu, beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak menghalangi beliau untuk mewariskan ilmu-ilmu bagi umat. Bahkan ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya menghadapi penyakit yang di deritanya. Ada sejumlah murid yang membantu beliau menuliskannya.
URGENSI AN-NIHAYAH FI GHARIBIL HADITSI WAL ATSAR
Imam Ahmad rahimahullah pernah di tanya tentang satu kata sulit yang terdapat dalam sebuah hadits. Beliau menjawab: ” Tanyakanlah itu kepada orang-orang yang menguasainya (ashhabul gharib). Aku tidak suka berbicara tentang perkataan Rasulullah dengan dasar prasangka semata yang mengakibatkan aku melakukan kesalahan”.
Ungkapan Imam Ahmad ini sedikit banyak menandakan pentingnya penguasaa dalam dunia ilmu hadits yand disebut dengan ‘ilmul gharib, yang nantinya menjadi titik keunggulan Ibul Atsir rahimahullah dan karyanya.
Secara mudah, pengertian al-ghariib, dikatakan Ibnu Shalah, ialah satu ungkapan untuk menerangkan kata-kata yang (belum) tidak dijelaskan maknanya, susah dipahami yang belum ada matan (teks-teks) hadits lantaran sudah jarang dipakai (orang)”. Jadi yang masuk kata gharib (kata-kata asing) adalah kata yang sudah termarjinalkan pemakaiannya, sulit dipahami, tidak terbiasa didengar di telinga.
An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar, itulah nama kitab susunan Ibnul Atsirrahimahullah dalam masalah ini. Sebagaimana namanya, an-Nihayah (penghabisan), kitab ini kandungannya karya, sangat mencukupi dan memadai untuk menjadi jembatan memahami kata-kata sulit yang terdapat dalam hadits-hadits, lantaran telah menggabungkan kitab-kitab sebelumnya, plus tambahan dari beliau yang banyak. Selain itu, melalui kitab ini, akan mudah dicari kata sulit yang diinginkan dan dengan cara yang mudah, tidak seperti karya-karya ulama sebelumnya dalam bidang yang sama yang masih menyisakan kesulitan dalam mencari perkata. Tak pelak, bila dijadikan sebagai ‘umdah, pegangan utama dalam ilmu gharib.
Tentang kitabnya, as-Suyuthi rahimahullah berkata: ” Kitabnya adalah kitab terbaik dalam bahasan gharibul hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai”.
DI ANTARA PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
1. Manfaat besar memulai mendalami agama sejak dini. Pengaruhnya akan lebih kuat di masa dewasa
2. Pentingnya ketekunan dalam belajar untuk menggapai tujuan.
3. Allah Azza wa Jalla memudahkan hamba-Nya untuk memberi kemanfaatan bagi sesama bila jujur dalam niatnya meski menderita kekurangan secara fisik. Wallahu’alam
Manhajul Ibnul Atsir al-Jazari fi Mushannafihi, An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar.olehSyaikh Prof. DR. Ahmad bin Muhammad al-Kharrath.

Wallahu a’lam bis shawwab.
Footnote:
[1] Jami’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul 1/35
Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Thn.XIV Dzulqa’dah 1431 H/ Oktober 2010 M. [Baituna, hal 9-10]

Wednesday, 16 July 2014

Kitab Al-Bidayah Wan-Nihayah



Kitab Al Bidayah wa Nihayah, adalah kitab sejarah karya ulama besar Ibnu Katsir Rahimahullah yang merupakan kitab sejarah terlengkap yang telah diringkas oleh Dr. Ahmad Al-Khani, dimulai dari Sejarah Awal Mula Penciptaan, Kisah Para Nabi, Kisah umat-umat terdahulu, Sejarah Nabi Muhammad saw dan Khulafa’ Rasyidin, Daulah Umawiyah dan Abasiyah, hingga peristiwa sampai 768 Hijriah dimana Ibnu Katsir hidup di zaman itu.
Tentu saja kitab itu sangat banyak jumlahnya berjilid-jilid sehingga menyulitkan bagi penuntut ilmu untuk meneliti secara perlahan peristiwa demi peristiwa satu persatu.
Adalah DR. Ahmad Al Khani, ahli sejarah Islam dari negeri Syam, berusaha meringkas kitab ini. Kitab yang dihasilkannya jauh berbeda dibanding kitab-kitab ringkasan pada umumnya. Kitabnya mampu mengumpulkan buah-buah yang telah dipetiknya, laksana udara baru dan segar, yang sarat dengan makna.
Keistimewaan-keistimewaan yang paling menonjol dari kitab ini adalah:
  1. Dalam ringkasan ini seluruh haditsnya sudah di takhrij, demikian pula materi dan syair-syairnya.
  2. Penulis telah mengetengahkan kejadian-kejadian yang sangat penting bagi pembaca, dengan bahasa sastra yang mudah dipahami
  3. Satu kejadian yang ditampilkan berbagai versi oleh Ibnu katsir, diringkas dan disajikan dengan sangat sederhana.

Saturday, 12 July 2014

Shalahuddin al-Ayyubi

Kitab Riyadhus Shalihin



Riyadhus Shalihin merupakan kitab kumpulan hadits dari Rasulullah Saw berkenaan dengan berbagai persoalan. Kitab ini disusun oleh al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi. Seorang ulama besar Ahli hadits yang diakui seluruh ulama Islam dari masa ke masa.

Pada kitab ini hadits-hadits Rasulullah Saw dikelompokkan ke dalam bab-bab berdasarkan tema utama, misalnya shalat, zakat, jihad, doa, Qur’an, dan sebagainya. Sangat cocok menjadi pegangan muslim yang ingin mempelajari sunah-sunah Rasulullah saw.

Riyadhus Shalihin benar-benar menjadi taman surga bagi orang-orang yang shalih dan yang menginginkan keshalihan. Semenjak ditulis pada tahun 670 M, lebih dari tujuh abad silam buku ini telah menyebar ke seluruh belahan bumi.

Download Kitab Riyadhus Shalihin
Riyadhus Sholihin buku 1
Riyadhus Sholihin buku 2