Tuesday, 26 August 2014
Orang Terakhir dari Ahli Neraka yang Masuk Surga
Pembaca yang dirahmati Allah, kita sadari bahwa sebagai manusia kita diberi sifat tidak pernah puas dan selalu merasa kurang akan karunia Allah subhanahu wata’ala. Bahkan cenderung kebanyakan dari kita yang lebih senang hatinya tersakiti karena rasa iri melihat rizki Allah pada orang lain, daripada mensyukuri nikmat Allah yang telah dijatahkan kepada kita. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)
Pada kisah yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhori rahimahullah, terdapat hikmah yang begitu luar biasa nya terhadap kemurahan Allah pada manusia. Sebagaimanapun manusia itu merasa ingin dan ingin mendapatkan “jatah” kenikmatan yang lebih dari Allah, namun Allah dengan segala kekayaannNya tidak pernah berhenti mengabulkan keinginan manusia. Selamat menyimak
Dari Abdullah bin Unais radiyallahu ‘anhu ia mengatakan :
Orang-orang mengatakan ,” Wahai Rasulullah, apakah kita melihat Rabb kita pada hari kiamat?”
Beliau balik bertanya kepada mereka,”Apakah kalian kesulitan melihat bulan pada malam purnama tanpa terhalang oleh awan?”
Mereka menjawab,” Tidak, Wahai Rasulullah.”
Beliau bertanya,” Apakah kalian kesulitan melihat matahari yang tidak terhalang awan?”
Mereka menjawab,” Tidak.”
Beliau (Rasulullah) bersabda:
Sesungguhnya kalian pun akan melihat Nya seperti itu. Manusia dikumpulkan pada hari kiamat, lalu dikatakan padanya,” Siapa yang menyembah sesuatu, maka ikutilah ia.” Maka diantara mereka ada yang mengikuti matahari, ada yang mengikuti bulan, ada yang mengikuti thaghut. Tinggal umat ini, termasuk kaum munafiknya.
Lalu Allah datang kepada mereka seraya mengatakan,”Aku lah Rabb kalian.”
Mereka mengatakan,”Kami tetap di tempat kami ini hingga Rabb kami datang kepada kami. Jika Rabb kami datang, maka kami mengenaliNya.”
lalu Allah datang kepada mereka seraya berfirman,” Aku lah Rabb kalian.”
Mereka mengatakan,” Engkau lah Rabb kami.”
Lalu Allah menyeru mereka dan meletakkan Shirat (titian) di antara kedua tepi Jahannam. Aku lah (Rasul) orang yang pertama tama melintasinya dari kalangan para Rasul bersama umatnya. Pada hari itu tidak ada orang yang berkata kata selain para Rasul, dan do’a para Rasul pada hari itu adalah,” Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!”
Di Jahannam terdapat besi besi pengait seperti duri Sa’dan.
Rasulullah bersabda,” Apakah kalian pernah melihat duri Sa’dan?”
Mereka (sahabat) berkata,” Ya.” Kemudian beliau mengatakan.” Ia seperti duri Sa’dan, dan hanya saja tidak ada yang mengetahui ukuran besarnya kecuali Allah. Pengait itu akan menyambar manusia, tergantung amalan mereka. Di antara mereka ada yang binasa karena amalanya, dan di antara mereka ada yang diberi balasan hingga diselamatkan.
Hingga ketika Allah berkehendak untuk memberi rahmat kepada siapa yang dikehendakiNya dari ahli Neraka, maka Allah memerintahkan Malaikat untuk mengeluarkan orang orang yang dulu menyembah Allah. Maka Malaikat mengeluarkan mereka dengan melihat bekas sujud, dan Allah mengharamkan Neraka melahap bekas sujud. Mereka dikeluarkan dari Neraka dalam keadaan telah gosong, lalu mereka disiram dengan air kehidupan, maka mereka tumbuh sebagaimana tumbuhnya biji di aliran air.
Kemudian Allah selesai dari memutuskan perkara di antara para hamba, dan tinggal satu orang yang berada di antara Surga dan Neraka. Ia adalah orang terakhir dari ahli Neraka yang masuk Surga.
Ia menghadapkan wajahnya ke Neraka seraya mengatakan,”Wahai Rabb, palingkanlah wajahku dari Neraka. Sungguh baunya telah menyakitiku dan panasnya telah membakarku.”
Rabb mengatakan,” Jika Aku melakukan hal itu terhadapmu, apakh engkau akan meminta selainnya?”
Ia menjawab,” Tidak, demi keperkasaan Mu.” Ia pun berjanji kepada Allah, lalu Allah memalingkan wajahnya dari Neraka.
Ketika ia maju menuju Surga, ia melihat keindahannya, maka ia diam sekian waktu, kemudian ia mengatakan,” Wahai Rabb, bawalah aku ke dekat pintu Surga.”
Allah berkata,” Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta selain yang telah engkau minta?”
Ia mengatakan,” Wahai Rabb, agar aku tidak menjadi makhluk Mu yang paling sengsara.”
Allah mengatakan,” Jika Aku memberikannya kepadamu, apakah engkau akan meminta selainnya?”
Ia mengatakan,”Tidak, demi keperkasaanMu, aku tidak meminta kepadaMu selain ini.” Ia berjanji kepada Rabb nya.
Lalu Allah mendekatkannya ke pintu Surga. Ketika telah sampai di pintunya, ia melihat keindahannya dan apa yang terdapat di dalamnya berupa kesenangan dan kegembiraan. Ia pun diam sementara waktu, lalu ia mengatakan,” Wahai Rabb, masukkanlah aku ke dalam Surga.”
Maka Allah berfirman,” Kasihan engkau, wahai anak Adam! Betapa cepatnya engkau menghianati janji. Bukankah engkau telah berjanji kepadaKu untuk tidak meminta selain apa yang telah Aku berikan kepadamu?”
Ia mengatakan,” Wahai Rabb, janganlah Engkau jadikan aku sebagai makhluk Mu yang paling sengsara.”
Allah pun tertawa kepadanya, kemudian mengizinkannya masuk Surga. Lalu Allah mengatakan kepadanya, kemudian mengizinkannya masuk Surga.
Lalu Allah mengatakan kepadanya,” Berangan anganlah!” Ia pun berangan angan hingga ketika angan angan nya telah terputus, maka Allah mengatakan,” Berangan anganlah demikian dan demikian.” Allah mengingatkannya hingga ketika angan angannya habis, maka Allah mengatakan,” Engkau mendapatkan hal itu dan yang semisal itu.”
Abu Sa’id al Khudri mengatakan kepada Abu Hurairah,” Rasulullah mengatakan ,” Allah berfirman,” Engkau mendapatkan hal itu dan sepuluh kali lipatnya.”
Subhanallah… Ahli Surga yang paling terakhir masuk surga saja sedemikian besar karunianya dari Allah, apalagi orang-orang yang derajat amalnya lebih banyak dan lebih baik dari ahli surga tersebut. Semoga kita senantiasa diberi kemudahan Allah untuk tetap istiqomah dengan Islam dan dimatikan di atas keimanan.. dan kelak bisa termasuk dari golongan ahli surga. Aamiin
Sumber :
Kitab “Perjalanan menuju Akhirat (Haadimul Ladzdzaat)” karya Abu Islam Ahmad ‘Ali – Pustaka Ibnu Umar
Thursday, 21 August 2014
Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi
Kitab Syarah Shahih Muslim ini aslinya berjudul Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya ulama dan ahli hadits besar Imam an-Nawawi. Ini adalah kitab penjelasan (syarah) atas kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim, yang merupakan kitab hadits kedua di kalangan Muslim Ahlussunnah wal Jama'ah setelah Shahih Bukhari.
Imam Nawawi mensyarah kitab ini karena terdorong besarnya manfaat kitab ini bagi umat Islam. Meski kualitas sanadnya masih dibawah Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
1. Pembahasannya bersifat tematik (maudhu’i), hingga memudahkan pembaca dalam mencari isi hadits sesuai dengan tema yang diinginkan. Sistematika ini tidak ada pada Shahih Al-Bukhari.
1. Pembahasannya bersifat tematik (maudhu’i), hingga memudahkan pembaca dalam mencari isi hadits sesuai dengan tema yang diinginkan. Sistematika ini tidak ada pada Shahih Al-Bukhari.
2. Pembahasannya lebih ringkas, tapi tidak mengurangi kelengkapan dan cakupan pembahasan yang bersifat penting atau substantif.
Dengan syarahnya ini, Imam Nawawi makin mempermudah kita memahami hadits-hadits yang terkumpul dalam Shahih Muslim.
Silahkan download kitab Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi
DOWNLOAD (51,1 MB)
Wednesday, 20 August 2014
Sa'id bin Musayib " Ulama Tabi'in yang Tekun Ibadah"
Ulama besar ini memiliki nama lengkap Abu Muhammad Sa’id bin Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb bin Amru Al-Makhzumi Al-Qurasyi Al-Madani. Ia berasal dari Bani Makhzum, bangsawan suku Quraisy di kota Makkah. Ayahnya Musayyib bin Hazn Al-Makhzumi dan kakeknya Hazn Al-Makhzumi adalah dua orang sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang berhijrah ke kota Madinah.
Kakeknya Hazn Al-Makhzumi gugur sebagai syahid dalam pasukan Khalid bin Walid Al-Makhzumi saat memerangi nabi palsu Musailamah Al-Kadzab dan pengikutnya di wilayah Yamamah pada tahun 12 H.
Sa’id bin Musayyib dilahirkan tahun 15 H di kota Madinah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Sa’id bin Musayyib belajar ilmu-ilmu agama dari para ulama senior generasi sahabat di kota Madinah. Tak heran jika ia dikenal dalam sejarah Islam sebagai penghulunya generasi tabi’in dan salah satu dari tujuh ulama senior kota Madinah (al-fuqaha’ as-sab’ah). Ia telah diberi izin memberi fatwa di saat sejumlah ulama sahabat masih hidup. Ia adalah menantu dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Sa’id bin Musayyib adalah seorang ulama besar tabi’in yang sangat tekun beribadah, hidup zuhud dan wara’, serta berani menyuarakan kebenaran meski harus mendapatkan siksaan dari para penguasa Daulah Umawiyah.
Ketekunan ibadahnya sangat terkenal luas di dunia Islam. Pada zaman tabi’in sulit sekali menemukan ulama sekaligus ahli ibadah yang bisa disejajarkan dengan Sa’id bin Musayyib. Terlebih pada zaman sekarang.
Imam Al-Awza’i berkata: “Sa’id bin Musayyib memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari generasi tabi’in selain dirinya, yaitu selama empat puluh tahun ia belum pernah kelewatan dari shalat berjama’ah di masjid. Dua puluh tahun diantaranya ia tidak pernah melihat tengkuk orang-orang [maksudnya selalu berada di shaf pertama sehingga tidak melihat siapa orang di belakangnya].”
Sa’id bin Musayyib bercerita sendiri: “Saya tidak pernah terlewat dari takbiratul ihram imam selama lima puluh tahun. Dan saya senantiasa tidak pernah melihat tengkuk orang-orang selama lima puluh tahun.”
Burd Mawla Sa’id bin Musayib berkata: “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun melainkan Sa’id bin Musayib telah berada di dalam masjid.”
Utsman bin Hakim berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayyib berkata: ‘Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan sejak tiga puluh tahun yang lalu melainkan aku telah berada di dalam masjid.”
Abu Harmalah berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayyib berkata: ‘Saya tidak pernah terlewat dari shalat berjama’ah selama empat puluh tahun.”
Ibnu Idris berkata: “Sa’id bin Musayyib selama lima puluh tahun melaksanakan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya’.”
Maksudnya adalah wudhu’ Isya’ belum batal dan selama semalam suntuk Sa’id bin Musayyib sibuk dalam shalat malam dan tilawah Al-qur’an sampai tiba waktu shalat Subuh.
Ashim bin Abbas berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayib membaca Al-Qur’an di waktu malam dalam waktu rehatnya dan ia membaca banyak [juz Al-Qur'an].”
Imam Ibnu Sa’ad, Ibnu Al-Jauzi Al-Baghdadi, Abu Nu’aim Al-Asfahani, dan Adz-Dzahabi meriwayatkan bahwa Sa’id bin Musayib melakukan shaum sunnah secara berturut-turut kecuali pada hari yang dilarang shaum; Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari tasyriq.
Ibnu Harmalah berkata: “Saya telah mendengar Sa’id bin Musayib berkata: ‘Saya telah menunaikan haji sebanyak 40 kali.”
Inilah sebagian gambaran ketekunan ibadah ulama besar generasi tabi’in yang wafat pada tahun 94 H dalam usia 79 tahun tersebut. Semoga kisah keteladannya mampu melecut semangat ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 4/217-225
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, 12/471-474
Shalih Ahmad Asy-Syami, Tahdzib Hilyat Al-Awliya’ wa Thabaqat Al-Ashfiya’, 1/343-348
Tuesday, 19 August 2014
Abu ‘Ubaidah bin Jarrah "Orang Kepercayaan Ummat Ini"
Perbekalan pasukan kian hari kian menipis, namun benteng kota damascus belum pula ditaklukan. Abu ‘Ubaidah, Sang Panglima segera mengirim surat kepada Khalifah Umar memberitahukan kabar genting ini. Khalifah Umar pun menitahkan Khalid bin Walid yang juga sedang bertempur di wilayah Iraq, untuk membawa pasukannya ke Damascus guna membantu Abu ‘Ubaidah.
Setelah melakukan perjalanan panjang nan menegangkan, antara hidup dan mati, akhirnya Khalid bin Walid sampai di depan benteng kota Damascus, membawa bala bantuan untuk menambah kekuatan Abu ‘Ubaidah.
Kisah menarik pun terjadi kala dua orang shahabat mulia saling bernostalgia melepas rindu. Saling tawadhu’, menghormati satu sama lain dan berpegang teguh dengan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–.
“Kemarilah, pimpin kami sholat. Karena engkau adalah bala bantuan untuk kami, sehingga kau lebih layak jadi panglima,” kata Abu ‘Ubaidah menyambut kedatangan Khalid.
“Tidak, bagaimana mungkin aku memimpin seseorang yang Nabi bersabda tentangnya, ‘Sungguh setiap Nabi memiliki orang kepercayaan. Dan Abu ‘Ubaidah-lah kepercayaan ummat ini,” jawab Khalid.
Subhanallah! Budi pekerti dan suri tauladan baik untuk kita semua.
Tanpa mengurangi rasa cinta kita kepada Khalid bin Walid, sementara kita ingin menyelami lebih dalam kehidupan Abu’Ubaidah bin Jarrah. Nama lengkap beliau adalah ‘Amir bin ‘Abdillah bin al-Jarrah. Nasab beliau bertemu dengan Nabi pada Fiher bin Malik.
Imam adz-Dzahabi dalam “Siyar A’laamin Nubala” tidak menyebutkan secara pasti pada tahun berapa beliau dilahirkan. Apapun itu, yang jelas beliau termasuk dalam kafilah “As Sabiqunal Awwalun”, sebuah gelar untuk mengenang jasa mereka yang pertama-tama masuk Islam.
Seorang Tabi’in bernama Malik bin Yakhamir menyifatkan kepada kita perawakan beliau, “Beliau kurus, tinggi, mudah mengeluarkan keringat di wajah, janggut tak terlalu lebat dan disemir serta gigi seri beliau tanggal.”
Tanggal? Jangan ditertawakan, Akhi. Biarpun tanggal, namun bentuk mulut beliau sangatlah indah. Maha Suci Allah yang mampu menakdirkan segala sesuatu. Pun tanggalnya gigi seri beliau demi membela Rasulullah.
Pada perang Uhud, akibat serangan kaum musyrikin, ada serpihan baju besi yang menancap di pipi Rasul. Demi melihatnya, Abu ‘Ubaidah mencabut serpihan tersebut dengan gigi beliau. Tanggallah gigi serinya. Walaupun begitu, mulut beliau menjadi indah. Hingga ada yang mengatakan, tak ada yang seindah mulut Abu ‘Ubaidah. Subhanallah. Memang semuanya di bawah kekuasaan Allah.
Setahun sebelumnya, pada ghazwa Badr, Abu ‘Ubaidah juga punya kisah menarik. Selain beliau harus berjihad dengan pedang, beliau juga harus berjihad mengendapkan rasa cintanya kepada Ayahanda. Bagaimana tidak? Ayahanda beliau ikut dalam barisan kaum kuffar. Pertemuan ayah-anak dalam duel pertarungan pun tak terelakkan. Biar pahit dirasa, namun demi dien Allah tegak di muka bumi, Abu ‘Ubaidah berdiri tegak menghadapi Ayahnya. Beliau juga harus tega membunuh Ayahanda walau dengan tangan sendiri. Dan benar, Abu Ubaidah membunuhnya.
Allahu Akbar!! Saat cinta harus memilih, Abu ‘Ubaidah memilih Allah. Inilah iman, Akhi. Belumkah antum mendengar sabda Rasul dari shahabat Anas, “Ada tiga sifat, jika seseorang berperangai dengannya, niscaya akan merasakan manisnya iman –salah satunya–; Siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi siapapun.” [muttafaqun 'alaihi]
Rasulullah pada banyak kesempatan sering memuji Abu ‘Ubaidah, sebagaimana ucapan Kholid pada mukadimah di atas. Memang, sebagian ahli hadits mengkritisi keabsahan riwayat tersebut, karena datang dari jalur Yahya bin Abi Zakaria. Dia perawi yang dha’if (lemah periwayatannya). Namun pujian dari Rasulullah yang disebutkan Khalid, datang juga dari sahabat Anas dan Hudzaifah dalam Shohehaen. Jadi, memang beliaulah kepercayaan umat ini, umat Islam. Gelar yang indah!
Begitulah, sahabat. Mengingat Abu ‘Ubaidah membuat kita kecil, kerdil, bagai kerikil. Malu. Entah mau dikemanakan diri ini. Walaupun begitu, setidaknya kita mau meneladi dan menjadikan beliau sebagai idola kita. Ada sebuah faedah dari Imam adz-Dzahabi. Dalam Shoheh Muslim, hadits dari Abu ‘Ubaidah hanya ada satu. Begitu pula dalam Sunan Tirmidzi. Adapun dalam musnad Imam Ahmad yang berjilid-jilid tebalnya, hadits dari Abu ‘Ubaidah cuma berjumlah dua belas hadits.
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber :
Siyar A’lamin Nubala’
Siyar A’lamin Nubala’
Daarul Hadits, Fuyush
Abu Thalha Yahya Alwindani
Monday, 18 August 2014
Biografi Kharijah bin Zaid bin Tsabit"Tabi'in Ahli Ilmu Waris"
Putra salah seorang shahabat yang mulia, Zaid bin Tsabit ini adalah imamnya kota Madinah yang meneruskan ilmu fiqh setelah wafatnya para shahabat Rasulullah di kota tersebut. Namanya disejajarkan dengan nama-nama besar semisal Sai’d bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan yang lainnya.
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Kunyah beliau adalah Abu Zaid, sedangkan nama lengkap beliau adalah Kharijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari An-Najjari Al-Madani. Salah seorang dari tujuh tokoh ulama Madinah (Al-Fuqaha’ As-Sab’ah) dan sekaligus imamnya negeri tersebut merupakan anak dari seorang ulama shahabat yaitu Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Biografi tentang Zaid bin Tsabit telah dikenal oleh kaum muslimin bahwasanya beliau pernah menjadi ketua tim pengumpul Al-Qur’an pada masa Al-Khalifah Ar-Rasyid ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, di samping beliau juga merupakan seorang ‘alim yang sangat disegani di kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Zaid bin Tsabit memiliki beberapa anak yaitu Kharijah, Isma’il, Sulaiman, Yahya, dan Sa’d. Namun yang paling utama di antara mereka adalah Kharijah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menempatkan beliau pada thabaqah yang ketiga.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau meriwayatkan hadits dan menimba ilmu dari ayahnya, yaitu Zaid bin Tsabit, dari ibunya, yaitu Ummu Sa’d binti Sa’d, dari pamannya yaitu Yazid, Ummul ‘Ala’ Al-Anshariyyah, ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah, Sahl bin Sa’d, Usamah bin Zaid, dan yang lainnya. Disebutkan bahwa beliau juga pernah bertemu dengan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Adapun para ulama yang meriwayatkan hadits dan menimba ilmu dari beliau adalah anaknya, yaitu Sulaiman, dua orang keponakan beliau, yaitu Sa’id bin Sulaiman dan Qois bin Sa’d, Abu An-Nadhr Salim, Abu Az-Zinad, ‘Abdul Malik bin Abi Bakar bin ‘Abdirrahman bin Al-Harits, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Utsman bin Hakim Al-Anshari, Mujalid bin ‘Auf, Muhammad bin ‘Abdillah Ad-Dibaj, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Yazid bin ‘Abdillah bin Qusaith, Abu Bakar bin Hazm, dan lain sebagainya.
Dahulu pernah khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik memberi hadiah kepada beliau sejumlah harta, kemudian beliau membagi-bagikan harta tersebut kepada yang lain.
Beliau adalah seorang yang ahli dalam ilmu faraidh dan pembagian harta warisan.
Pujian Para Ulama kepada Beliau
Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: “Kharijah bin Zaid adalah seorang tabi’in dari Madinah yang tsiqah (terpercaya).”
‘Ubaidullah bin ‘Umar berkata: “Yang meneruskan ilmu fiqh setelah wafatnya para shahabat Rasulullah di kota Madinah adalah Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad, Qabishah bin Dzu’aib, ‘Abdul Malik bin Marwan, dan Sulaiman bin Yasar maula Maimunah.”
Ibnu Sa’d berkata: “Beliau adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan memiliki banyak riwayat hadits.”
Ibnu Khirasy berkata: “Kharijah bin Zaid adalah orang yang paling mulia dari semua orang yang bernama Kharijah.”
Mush’ab bin Az-Zubairi berkata: “Kharijah dan Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf pernah membagi harta waris dan menuliskan perjanjian-perjanjian, dan orang-orang pun merujuk kepada pendapat keduanya.”
Abu Az-Zinad berkata: “Beliau adalah salah seorang dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah.”
Wafat Beliau
Ibnu Numair dan ‘Amr bin ‘Ali mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 99 Hijriyyah, sementara Ibnul Madini dan para ulama yang lain berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 100 Hijriyyah. Wallahu A’lam. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau.
Allahu a'lam
Sumber:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tahdzibut Tahdzib
Thursday, 14 August 2014
Keamanahan Imam Abu Hanifah
Mayoritas kaum muslimin mengenal imam Abu Hanifah sebagai seorang ulama fiqih. Pendapat-pendapatnya di bidang fiqih diikuti oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia. Pendapat-pendapatnya kemudian dikenal sebagai madzhab Hanafi.
Abu Hanifah adalah nama panggilan untuk imam Nu’man bin Tsabit At-Taimi. Selain ahli di bidang fiqih, ia juga seorang ahli ibadah yang sangat jujur, amanah, wara’, dan zuhud. Ia dikenal sangat berhati-hati dalam berfatwa. Ia tidak menginginkan jabatan dan rela dihukum cambuk oleh gubernur Kufah karena menolak diangkat menjadi hakim.
Kisah kejujuran dan amanahnya telah diceritakan oleh banyak ulama dan orang shalih yang hidup sezaman dengan imam Abu Hanifah. Salah seorang kawan Abu Hanifah yang bernama Kharijah bin Mush’ab menuturkan pengalamannya bergaul dengan sang imam. Katanya, “Saya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saya menitipkan seorang budak perempuanku kepada Abu Hanifah. Di Makkah, aku tinggal kurang lebih empat bulan. Sepulang dari haji, saya segera menemui Abu Hanifah.
Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau menilai pelayanan dan akhlak budak perempuan ini?”
“Barangsiapa menghafal Al-Qur’an dan menjaga ilmu tentang halal dan haram bagi masyarakat, niscaya ia harus menjaga dirinya dari fitnah. Demi Allah, sejak engkau berangkat haji sampai engkau pulang dari haji saat ini, aku belum pernah melihat budak perempuan yang engkau titipkan itu,” jawab imam Abu Hanifah.
Jawaban Abu Hanifah sangat mengagetkan Kharijah bin Mush’ab. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Abu Hanifah karena telah menjaga dan menampung budak perempuannya, Kharijah segera pulang membawa budaknya itu.
Setiba di rumah, Kharijah langsung menanyai budak perempuannya tentang akhlak dan kegiatan harian Abu Hanifah selama di rumah. Jawaban yang diberikan oleh budak perempuan itu sungguh lebih mengejutkan lagi. Kata budak perempuan itu, “Aku tidak pernah melihat dan mendengar orang sehebat dia. Sejak aku tinggal di dalam rumahnya, aku belum pernah melihatnya tidur di atas kasur (di waktu malam). Aku juga tidak pernah melihatnya mandi junub walau hanya sekali, baik di waktu siang maupun malam.
Jika hari Jum’at, ia berangkat untuk shalat Subuh, lalu kembali ke rumahnya dan mengerjakan shalat Dhuha secara ringan. Hal itu karena ia berangkat pagi-pagi benar ke masjid jami’ untuk shalat Jum’at. Ia akan mandi Jum’at, lalu memakai minyak wangi dan berangkat shalat Jum’at.
Selain itu, aku tidak pernah melihatnya makan di waktu siang. Biasanya ia makan di waktu sore, tidur sedikit sekali di waktu malam, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat Subuh.”
Pengalaman yang dilihat oleh budak perempuan itu selama empat bulan di rumah imam Abu Hanifah memang merupakan sebuah kenyataan yang sebenarnya. Budak itu tidak melebih-lebihkan ceritanya. Abu Hanifah biasa menghabiskan waktu malamnya dalam shalat malam, membaca Al-Qur’an dan sampai Shubuh wudhunya tidak batal. Di waktu malam, ia hanya sedikit tidur.
Asad bin Amru berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah melaksanakan shalat Isya’ dan Subuh dengan satu wudhu selama empat puluh tahun.”
Salah seorang muridnya, Abdul Hamid Al-Himani, pernah tinggal di rumah imam Abu Hanifah selama enam bulan penuh. Ia menceritakan pengalamannya tentang Abu Hanifah, “Saya tidak pernah melihatnya shalat Shubuh melainkan dengan wudhu shalat Isya’, dan ia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam pada waktu sahur.” (Siyaru A’lam an-Nubala’, 6/400)
Bukti-bukti nyata tentang sifat amanah imam Abu Hanifah sangatlah banyak dan terkenal karena diabadikan oleh para sejarawan Islam dalam karya-karya mereka.
Salah satu kisah di atas mengajarkan kepada kita bagaimana seorang ulama menjaga amanah dengan memberi tampungan rumah, makanan dan minuman kepada seorang budak perempuan milik kawannya selama empat bulan penuh. Gratis tanpa memungut biaya sedikit pun.
Dalam waktu selama itu, sang ulama tidak pernah meminta sang budak perempuan itu untuk mengerjakan pekerjaan dalam rumahnya, baik pekerjaan ringan maupun berat. Padahal ia hanyalah seorang budak yang biasa disuruh-suruh secara gratis tanpa upah. Bahkan sang ulama tidak pernah sekalipun memandang wajah budak perempuan itu. Semua urusan yang berkaitan dengan kebutuhan budak itu diserahkannya kepada istri atau budaknya sendiri.
Subhanallah, sebuah contoh yang sangat hebat tentang menjaga amanah, sekaligus menjaga diri dari fitnah godaan wanita. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengingatkan,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Setelah aku meninggal, aku tidak pernah meninggalkan sebuah fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain fitnah (godaan) kaum wanita.” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741)
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber:
Abu Abdillah Husain bin Ali Ash-Shaimari Al-Hanafi, Akhbaru Abi Hanifah wa Ashabihi, 1/50-51, Beirut: Dar ‘Alamil Kutub, cet. 2, 1405 H.
Muhammad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 6/390-403, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H
Satu Kartu yang Menyelamatkan Seseorang di Hari Kiamat
Hari kiamat adalah hari yang amat mencengangkan, menakutkan, dan penuh kesusahan. Oleh karena itu, setiap hamba ketika berada pada hari itu dipadang mahsyar, mereka berdiri penuh kecemasan, sambil menunggu keputusan Sang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”.(QS.As-Sajdah: 12)
Di tengah kerisauan, dan kecemasan seluruh makhluk, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyelamatkan seorang lelaki muslim. Apa sebabnya? Karena ia bertauhid, mengesakan Allah dalam ibadah.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Sesunggunya Allah akan menyelamatkan seorang lelaki dari umatku di hadapan para makhluk pada hari kiamat. Maka dihamparkan di depannya 99 gulungan (dosa), setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang, kemudian Allah berfirman (kepadanya), “Apakah kamu mengingkari sesuatu dari ini (yaitu catatan dosa yang terhampar di depannya), apakah para penulis-Ku yang mengawasi kamu menzholimimu?” Maka ia menjawab, “tidak wahai Rabbku”, maka Allah berfirman, “Bahkan engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami, sesungguhnya tidak ada kezholiman pada hari ini atasmu”, maka dikeluarkan satu bithoqoh (kartu) tertulis di dalamnya:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Maka Allah berfirman, “Saksikanlah timbanganmu”, maka ia berkata, “wahai Rabbku apakah (nilainya) bithoqoh ini dibanding dengan gulungan-gulungan tersebut”. Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizholimi”. Maka diletakkan gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan bithoqoh (diletakkan) pada anak timbangan (lainnya). Maka terangkatlah gulungan-gulungan itu dan bithoqoh tersebut lebih berat”.[HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6994), At-Tirmidziy dalam Al-Jami’ (2639), Ibnu Majah Al-Qozwiniy dalam As-Sunan (4300), dan lainnya. Di-shahih-kan Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shahihah (no. 135)]
Hadits ini mengabarkan tentang catatan pahala seorang lelaki, bertuliskan “La ilaha illallah” pada sebuah bithoqoh (kartu) bisa menghapus 99 gulungan dosa. Setiap satu gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Keutamaan ini ia peroleh karena ia mengucapkan, meyakini, dan melaksanakan konsekuensi kalimat ini dalam keadaan sempurna keikhlasannya (murni dalam bertauhid atau syahadatnya).Akan tetapi perlu diingat, betapa banyak orang yang mengucapkan kalimat ini, tapi tidak bisa mendapatkan keistimewaan di atas, karena keikhlasannya tidak sempurna.
Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz Alusy Syaikh -hafizhohullah- berkata dalam At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 28), “Keutamaan besar ini bagi kalimat tauhid, hanyalah ada bagi orang yang kalimat itu kuat di hatinya. Demikianlah bahwa kalimat itu kuat dalam hati sebagian hamba, karena ikhlash, dan membenarkannya. Dia tak ragu terhadap sesuatu yang ditunjukkan oleh kalimat tersebut, ia meyakini sesuatu yang terdapat padanya, dan mencintai sesuatu yang ditunjukkannya. Akhirnya, bekas, dan cahayanya semakin kuat dalam hati. Jika demikian, maka kalimat itu akan membakar sesuatu yang dihadapinya berupa dosa-dosa. Adapun orang yang tidak sempurna keikhlasannya dalan kalimat itu, maka gulungan dosa tersebut tidak akan terangkat (melayang)”.
Oleh karena itu, seorang muslim perlu mengetahui makna tauhid yang dikandung oleh kalimat syahadat. Al- Allamah Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata dalam Al-Qoul As-Sadid (hal. 32), “Tauhid adalah Berilmu dan mengetahui akan ke-Esaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan mengikhlaskan (memurnikan) ibadah hanya kepada-Nya”.
Seorang yang mengucapkan dan meyakini kalimat syahadat, harus mengerjakan dua syarat:
- Pertama, nafyul uluhiyah (meniadakan semua sesembahan) selain Allah, yaitu mengetahui dan meyakini bahwa tidak ada hamba yang mempunyai hak uluhiyah (penyembahan) sedikitpun dan tidak berhak diibadahi, baik itu para nabi, malaikat, jin, kiyai, para raja, dan lainnya. Tidak seorang pun yang memiliki bagian sedikit pun dari uluhiyah-Nya. Jadi, makhluk tidak boleh dido’ai, di-istighotsahi, dimintai tolong dalam perkara yang tak mampu ia lakukan, kecuali Allah.
- Kedua, itsbatul uluhiyah (menetapkan hak penyembahan) hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Juga menetapkan keesaan-Nya dalam semua makna penyembahan dan peribadatan, dan semua sifat-Nya yang sempurna. Semua hamba tidak cukup hanya meyakini ini saja, tapi dia juga harus mewujudkan dengan mengikhlaskan dien (ibadahnya), menegakkan Islam dan melaksanakan hak-hak Allah serta kawajiban seorang hamba yang ditujukan kepada Allah untuk mendapatkan ridha dan pahala dari-Nya.
Bisa dipahami bahwa hakekat tafsir “syahadat” yang sempurna adalah bara’ (berlepas diri) dari sesembahan selain Allah, tidak membuat tandingan-tandingan bagi Allah, tidak mencintai sesuatupun melebihi cintanya kepada Allah, atau mentaati mereka sebagaimana beramal untuk Allah diantara perkara bisa berlawanan dengan makna dan hakekat “La ilaha illallah”.Tentang makna “Lailaha illallah”,Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ.
“Baransiapa yanng mengucapkan “La ilaha illallah” dan dia mengingkari semua yang disembah selain Allah, maka haram harta dan darahnya, adapun perhitungannya terserah Allah”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (23), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (8190), dan lainnya]
Orang yang hanya mengucapkan “La ilaha illallah’’ di lisan saja sedang dia tidak mengerti maknanya, tidak mengikrarkannya, berdo’a tidak hanya kepada Allah saja, maka darah dan hartanya tidak terjaga sebelum dia mengingkari sesembahan-sesembahan selainnya, Namun kalau dia ragu-ragu dan tak tahu, maka tidak ada jaminan atas harta dan darahnya.
Jadi, jelas bahwa mengucapkan “La ilaha illallah” haruslah yakin tentang wajibnya beribadah hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, disertai keikhlasan baik ucapan dan keyakinannya. Selain itu, ia juga harus bara’ (berlepas diri) dari selain-Nya dalam hal ibadah, ketaatan dan ketundukan.
Syahadat yang murni adalah yang bersih dan tidak ada noda-noda syirik, baik syirik akbar (besar) yaitu beribadah kepada selain Allah, maupun syirik asqhar (kecil) seperti riya’ firman Allah,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisa: 36)
Juga bersih dari noda-noda bid’ah (perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama yang tidak ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya) yang berupa ucapan, keyakinan dan amalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Siapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan dien (agama) kami ini yang bukan dari padanya maka dia tertolak”. [HR. Al-Bukhariy dan Muslim]
Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16), “Hadits ini merupakan sebuah kaedah agung diantara kaedah-kaedah Islam. Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam menolak segala perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”.
Ibnu Daqiq Al-Ied -rahimahullah- dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43, Cet.Dar Ibnu Hazm),“Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara kaidah-kaidah agama.Dia termasuk “Jawami’ Al-Kalim” (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Mushthofa r , karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.
Serta bersih dari maksiat. Kemurnian tauhid ini akan terwujud dengan adanya keikhlasan yang sempurna, baik dalam ucapan, amalan, maupun iradah (kehendak)nya, selamat dari syirik akbar yang membatalkan keislamannya (aqidahnya) dan selamat dari syirik ashgar (kecil), seperti riya’ yang mengurangi kesempurnaan tauhid juga terbebas dari bid’ah dan maksiat yang mengotori tauhid yang berpengaruh sangat jelek.
Jadi, inilah yang menyebabkan ia masuk surga tanpa hisab atau hisab yang mudah, termasuk golongan pertama yang masuk surga dan dia berada di maqam (kedudukan) yang tinggi.
Murninya tauhid adalah tunduk kepada Allah dengan sempurna dan tawakkal yang kuat kepada-Nya sehingga hatinya tidak condong sedikit pun kepada mahkluk di setiap kondisi, tidak meminta kemuliaan kepada mereka di mana dan kapan saja, tapi dzohir dan batinnya, ucapan dan perbuatan, cinta, bencinya karena Allah dan semuanya di tujukan hanya mencari ridha Allah dengan mengikuti petunjuk Rasul-Nya.
Tauhid yang murni tidak bisa diperoleh hanya dengan angan-angan, tidak dengan hanya berdo’a yang tanpa bukti dan khayalan-khayalan kosong, tapi kemurnian syahadat bisa didapat dengan hal-hal yang menenangkan hati, berupa keyakinan, aqidah yang terbukti dengan berbuat kebaikan, berakhlaq mulia dan beramak shaleh.
Firman Allah,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97)
Memurnikan tauhid dengan cara inilah yang akan mendapatkan keistimewaan yang sudah disebutkan pada hadits bithoqoh di depan.
Para pembaca yang budiman, inilah hakekat syahadat yang murni dan faedah-faedahnya. Maka murnikanlah syahadatmu, dengan ketundukan, cinta, harap, takut, tawakkal dengan keyakinan yang kokoh hingga Allah menerimanya, dan agar kita bisa memetik buahnya di dunia dan akhirat serta memberikan pengaruh pada kaum muslimin, istiqomah di dalamnya sampai kita berjumpa dengan Allah di akhirat kelak.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Wednesday, 13 August 2014
Belajar dari Imam Sufyan ats-Tsauri
Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat maka lakukanlah.”
Beliau adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri. Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsauri dilahirkan pada tahun 97 H. Beliau mulai menimba ilmu sejak kecil. Yazid bin Harun berkata, “Orang-orang telah mengambil ilmu dari Sufyan ats-Tsauri pada saat beliau berumur 30 tahun.”
Dikatakan bahwa beliau bertemu dengan 130 orang tabi’in dan berguru/mengambil riwayat dari 600 orang lebih. Adapun ulama yang mengambil riwayat dari beliau diantaranya Ibnu Juraij, al-Auza’i, Abu Hanifah, Ibnul Mubarak, Waki’, Abdurrahman bin Mahdi, dan lain-lain.
Berikut ini sebagian diantara nasehat dan pelajaran yang bisa kita petik dari ucapan dan kisah perjalanan hidup beliau. Semoga bermanfaat.
Beliau berkata, “Pada awalnya, aku menuntut ilmu dalam keadaan belum memiliki niat, kemudian Allah pun memberikan rizki kepadaku niat tersebut.”
Apa yang beliau ucapkan senada dengan perkataan Imam ad-Daruquthni. Imam ad-Daruquthni berkata, “Kami dahulu menimba ilmu bukan karena Allah, namun ia enggan kecuali harus dituntut karena Allah.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilmi)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata tentang Sufyan ats-Tsauri, “Adalah Sufyan ats-Tsauri sosok ulama yang ilmu seolah-olah senantiasa terpampang di hadapannya, sehingga dia bisa mengambil apa pun yang dia kehendaki dan meninggalkan apa yang tidak dia kehendaki.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Tidaklah aku melihat seorang ahli hadits yang lebih kuat hafalannya daripada Sufyan ats-Tsauri.”
Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya, “Dengan apa kamu bisa mengenal Rabbmu?”. Maka beliau menjawab, “Dengan tekad yang memudar dan cita-cita yang gagal tercapai.”
Abu Nu’aim berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, “Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.”
Ibnul Mubarak berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang meyakini Qul huwallahu ahad adalah makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa ‘Ali -bin Abi Thalib- lebih berhak memegang kekuasaan (khalifah setelah nabi, pent) daripada Abu Bakar dan ‘Umar maka dia telah menyalahkan Abu Bakar dan ‘Umar bahkan segenap kaum Muhajirin dan Anshar. Aku pun tidak tahu apakah ada amalnya yang terangkat ke langit ataukah tidak.”
Sufyan ats-Tsauri juga berpesan, “Hendaklah kalian saling berpesan kepada Ahlus Sunnah dengan kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang asing.”
Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat maka lakukanlah.”
Waki’ berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, “Tidaklah aku mengetahui suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu; yaitu bagi orang yang lurus niatnya.”
Sufyan juga mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dimuliakan di atas selainnya karena dia menjadi sarana untuk bertakwa.”
Beliau juga mengatakan, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba hadits, yaitu apabila lurus niatnya.”
Beliau juga mengatakan, “Tahapan awal menimba ilmu adalah diam. Yang kedua adalah mendengarkan dan menghafalkannya. Yang ketiga adalah mengamalkannya. Yang keempat yaitu menyebarkan dan mengajarkannya.”
Sufyan juga berkata, “Sudah semestinya seorang ayah untuk memaksa anaknya menimba ilmu dan belajar hadits, karena kelak dia harus mempertanggungjawabkan hal itu.”
Sufyan berkata, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan as-habul hadits adalah penjaga bumi.”
Beliau berkata, “Seandainya as-habul hadits tidak mendatangiku niscaya akulah yang akan mendatangi rumah-rumah mereka.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang pelit dengan ilmunya pasti akan tertimpa tiga bentuk musibah; bisa jadi dia lupa terhadapnya, atau dia mati dalam keadaan ilmunya tidak bermanfaat bagi orang lain, atau hilang buku-bukunya.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat manusia daripada hadits.”
Beliau juga berkata, “Fitnah/cobaan yang ditimbulkan oleh hadits lebih dahsyat daripada fitnah akibat emas dan perak.”
Sufyan berkata, “Sungguh kenikmatan Allah atas diriku akibat perkara dunia yang aku dipalingkan darinya itu lebih utama daripada kenikmatan yang ada pada apa-apa yang diberikan Allah kepadaku.”
Beliau juga berkata, “Kalian bisa mempercayaiku menjaga Baitul Mal, tetapi jangan mempercayakan kepadaku untuk menjaga budak perempuan berkulit hitam.”
Khalaf bin Tamim berkata: Aku melihat Sufyan ats-Tsauri di Mekah dan pada saat itu banyak sekali penimba ilmu hadits yang berkumpul untuk belajar kepadanya. Maka dia berkata, “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun. Aku khawatir Allah telah menyia-nyiakan umat ini; sampai-sampai umat manusia membutuhkan orang seperti diriku.”
‘Ali bin Tsabit berkata, “Aku sama sekali tidak pernah melihat Sufyan berada di bagian depan majelis. Akan tetapi dia sering duduk di pinggir tembok seraya memeluk kedua lututnya.”
Ahmad bin Hanbal berkata: Dahulu apabila dilaporkan kepada Sufyan ats-Tsauri bahwa ada yang bermimpi melihat beliau -dalam keadaan mendapatkan kemuliaan- maka beliau berkata, “Aku lebih mengenali diriku daripada para pemilik mimpi itu.”
Abu Usamah menceritakan: Orang yang senantiasa memperhatikan keadaan Sufyan niscaya dia akan melihat seolah-olah Sufyan sedang berada di atas kapal yang dia khawatir kapal itu akan tenggelam. Betapa seringnya kami mendengar belliau berkata, “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.”
Qobishoh berkata tentang Sufyan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih banyak mengingat kematian daripada beliau.”
Abu Nu’aim berkata, “Adalah Sufyan apabila telah mengingat kematian, maka orang-orang pun tidak bisa belajar darinya selama berhari-hari.”
Muzahim bin Zufar berkata, “Suatu saat Sufyan mengimami kami sholat maghrib. Tatkala beliau sampai pada ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, maka beliau pun menangis, kemudian beliau mengulangi bacaannya dari Alhamdulillah, dst.”
al-Firyabi berkata, “Suatu ketika Sufyan sedang sholat, lalu dia berpaling kepada seorang pemuda. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Jika kamu tidak sholat sekarang -di dunia- lantas kapan lagi?”.”
Sufyan juga mengatakan, “Aku terhalang dari sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah aku lakukan.”
Ibnu Rahawaih berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi menyebut nama Sufyan, Syu’bah, Malik dan Ibnul Mubarak. Lalu beliau berkata, “Orang yang paling berilmu diantara mereka adalah Sufyan.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Sufyan ats-Tsauri adalah amirul mukminin fil hadits.”
Abu ‘Ashim berkata: Aku pernah bertanya kepada Sufyan, “Siapakah manusia yang sejati?” Beliau menjawab, “Para ulama.” Aku berkata, “Siapakah raja yang sebenarnya?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang zuhud.” Aku berkata, “Siapakah orang-orang yang rendah?”. Beliau menjawab, “Orang yang tidak peduli dengan apa pun yang dia ucapkan dan tidak peduli dengan kritikan orang kepada dirinya.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sufyan mengatakan, “Tidak boleh taat kepada kedua orang tua dalam perkara-perkara syubhat.”
Sufyan juga mengatakan, “Barangsiapa yang kelaparan lalu tidak mau meminta -kepada orang- sampai akhirnya mati, maka dia masuk neraka.”
Sumber: Manaqib al-Imam al-A’zham, karya Imam adz-Dzahabi yang merupakan ringkasan karya Imam Ibnul Jauzi rahimahumallah. Penerbit Dar ash-Shahabah, Thantha.
Subscribe to:
Posts (Atom)