Di sebagian kalangan di negeri kita masih saja
melestarikan budaya sesajian. Pada waktu tertentu, ada yang menaruh sesaji
berupa kepala kerbau. Ada pula yang dengan tumbal yang dilarung di
laut atau telaga. Semua ini masih terus lestari. Padahal kalau ditinjau ritual
sesaji ini adalah ritual syirik. Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah
berikut ini. Hanya karena sesajinya berupa seekor lalat, membuat ia masuk
neraka. Sebaliknya ada yang enggan untuk sesaji sampai ia dipenggal lehernya,
malah membuatnya masuk surga.
Dari
sahabat Thariq bin Shihab bahwasanya Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- bersabda,
دَخَلَ الجَنَّةَ رَجُلٌ
فِيْ ذُبَابٍ وَدَخَلَ النَّارَ رَجُلٌ فِيْ ذُبَابٍ، قَالُوْا: وَكَيْفَ ذَلِكَ
يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمُ
لَايَجُوْزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبُ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوْا لِأَحَدِهِمَا:
قَرِّبْ، قَالَ: لَيْسَ عِنْدِ شَيْءٌ أُقَرِّبُ، قَالُوْا لَهُ: قَرِّبْ وَلَوْ
ذُبَابًا، فََقَرَّبَ ذُبَابًا،فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ،
وَقَالُوْا لِلأَخَرِ: قَرِّبْ، قَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا دُوْنَ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوْا عُنُقَهُ فَدَخَلَ الجَنَّةَ
“Ada seseorang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada
seseorang yang masuk neraka gara-gara lalat “. Para sahabat bertanya,
“Bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ada dua
orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala. Mereka tidak
memperbolehkan seorang pun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan
kepadanya suatu kurban. Maka berkatalah mereka (kaum itu) kepada salah seorang
dari laki-laki tersebut, “Berkurbanlah!” Dia menjawab, “Aku tidak memiliki
sesuatu pun untuk dikorbankan”. Mereka berkata lagi kepadanya, “Berkorbanlah,
walaupun hanya seekor lalat. Maka laki-laki itu berkorban dengan seekor lalat.
Lalu mereka pun membiarkannya meneruskan perjalanan. Maka ia pun masuk
neraka. Kemudian kaum itu berkata lagi kepada seorang yang lain,
“Berkurbanlah!!” Lalu laki-laki itu menjawab, “Aku sama sekali tidak pernah
menjadikan kurbanku kepada seorang pun, selain Allah -Azza wa Jalla- . Maka
kaum itu memenggal lehernya dan masuklah ia ke dalam surga“. [HR. Ahmad dalam Az-Zuhud (15), dan
Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/203). Hadits ini di-shahih-kan
oleh Abu Ya'la Muhammad Aiman As-Salafy dalam Bughyah Al-Mustafid (hal.
150)].
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Orang
ini berkurban dengan sesuatu yang hina (tidak berharga) dan tidak bisa dimakan,
akan tetapi ketika ia meniatkan hal itu dapat mendekatkan dirinya kepada berhala,
maka jadilah ia seorang yang musyrik. Lalu iapun masuk ke dalam neraka”. [Lihat Al-Qaul
Al-Mufid Syarh Kitab At-Tauhid (1/142), cet. Darul Aqidah)]
Syaikh
Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata, “Jika
begini kondisi orang yang mendekatkan diri kepada berhala dengan seekor lalat
maka bagaimana lagi keadaannya orang-orang yang menggemukkan untanya, sapinya,
dan kambingnya untuk mendekatkan diri mereka dengan menyembelihnya dan
berkurban kepada sesuatu yang disembah selain Allah berupa mayat, orang yang
gaib, thogut, tempat-tempat keramat, pohon, batu, atau selain dari itu. Orang
musyrikin di masa sekarang mereka menganggap yang demikian itu lebih afdhol
dari pada menyembelih di hari kurban idul adha yang telah disyariatkan.
Terkadang sebagian diantara mereka mencukupkan diri dengan berkurban kepada
selain Allah saja. Karena besarnya rasa takut, pengagungan dan harapan mereka
kepada selain Allah. Sungguh musibah ini telah merata. [LihatQurrah
'Uyun Al-Muwahhidin, (hal 71)]
Jika
kita mencermati ucapan Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh, dan
membandingkannya dengan realita dan fakta yang terjadi di sekitar kita, maka
kita akan melihat pemandangan yang sangat ironis dan memilukan. Apa yang beliau
katakan, jelas terjadi di depan mata kita, “bagaikan matahari di siang bolong”.
Liriklah orang yang ber-KTP Islam yang selalu melakukan ritual-ritual berupa
pesta laut di pantai Laut Selatan. Mereka menyembelih hewan kurban kepada Nyi
Roro Kidul sebagai bentuk kesyukuran atau tolak bala. Ironinya, justru yang
menyerukan dan membela hal ini adalah orang-orang yang
disebut “tokoh-tokoh agama” dan“pemuka-pemuka adat” yang pada
hakikatnya mereka adalah orang-orang yang tidak paham tentang agama Allah. Seandainya
mereka paham, niscaya mereka tidak akan menyeru manusia ke neraka Jahannam.
Seandainya mereka paham, tentunya mereka tidak akan menyelisihi perintah Allah
yang mereka membacanya setiap hari, bahkan di setiap shalatnya.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah
sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah
Rabbnya alam semesta”
Mereka
telah memalingkan ibadah yang agung ini (yaitu menyembelih) kepada selain
Allah. Padahal menyembelih hanya boleh dipersembahkan oleh seorang muslim hanya
kepada Allah. Menyembelih termasuk ibadah yang paling agung, karena
sebesar-besar ibadah harta adalah berkurban (menyembelih hewan ternak).
Syaikhul
Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harraniy -rahimahullah- berkata, “Ibadah
badaniyah (dengan anggota badan) yang paling utama ialah shalat sedangkan
ibadah dengan harta yang paling utama adalah berkurban. Perkara yang terkumpul
pada seorang hamba dalam shalat tidaklah terkumpul pada ibadah selainnya sebagaimana
diketahui oleh pemilik hati yang hidup. Perkara yang terkumpul dalam ibadah
kurban apabila dia menggabungkan antara iman dan keikhlasan dari kekuatan
keyakinan dan persangkaan yang baik akan menghasilkan perkara yang mengagumkan.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- banyak melakukan shalat dan berkurban”.
[Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid (hal.120), cet. Dar
Ad-Dakwah Al-Islamiyyah)
Seorang
yang menyembelih kepada selain Allah –Ta'ala- merupakan orang
yang musyrik, telah mengangkat makhluk yang disembelihkan tersebut sebagai
sembahan selain Allah. Orang ini akan dilaknat oleh Allah –Ta'ala- lewat lisan
Rasul-Nya.
Ali bin
Tholib -radhiyallahu 'anhu- berkata,
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ
لِغَيْرِ اللهِ، لَعَنَ اللهُ مَْنْ لَعَنَ وَالَدَيْهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ اَوَى
مُحْدِثًا، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
"Rasulullah -Shollallahu 'alaihi wasallam- telah mengatakan
kepadaku empat kalimat: Allah melaknat orang yang menyembelih kepada
selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah
melaknak orang yang melindungi mubtadi' (pembuat bid'ah/ajaran baru dalam
agama), Allah melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah." [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1178)
dan An Nasa'iy dalam As-Sunan(7/232)]
Berkurban
atau menyembelih merupakan ibadah yang hanya diarahkan kepada Allah, karena
telah dimaklumi, Allah -Ta’ala- menciptakan kita untuk suatu
tugas yang agung, yaitu hanya beribadah kepada-Nya. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
”Tidaklah
aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat :56)
Penafsir
Ulung Al-Qur’an, Abdullah Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Beribadah
kepada-Ku, artinya: men-tauhid- (mengesa)kan-Ku”.
Syaikh
Muhammad bin Sulaiman At Tamimiy -rahimahullah- berkata
dalam Al-Qowa’id Al-Arba’ (hal. 14), “Jika kamu sudah
mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah! Sesungguhnya
ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid, sebagaimana
shalat itu tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah (wudhu’).
Jika syirik masuk ke dalam ibadah, maka rusaklah (ibadah tersebut-pent)
sebagaimana hadats, apabila masuk ke dalam thaharah (wudhu’)”.
Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Alu Fauzan -hafizhahullah- berkata, “Engkau
termasuk manusia dalam ayat ini, dan engkau mengetahui bahwa Allah tidak
menciptakanmu dengan sia-sia atau untuk makan dan minum saja serta hidup bebas
dan bergembira dalam dunia ini, tidaklah demikian, Allah menciptakanmu untuk
beribadah hanya kepada-Nya.” [Lihat Syarah Al-Qawa'id Al-Arba' (hal.
14-15)]
Jadi,
keberadaan kita di muka bumi ini adalah untuk beribadah hanya
kepada-Nya dan tidak kepada selainnya. Namun perlu diingat, para hamba
beribadah kepada Allah, bukan berarti Allah butuh kepada hamba-Nya, justru
mereka butuh kepada-Nya, karena Allah Maha Kaya, tidak butuh kepada alam
semesta ini.
Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
”Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan
aku tidak menghendaki supaya mereka memberi aku makan”(QS. Adz-Dzariyaat: 56-57)
Syaikh
Al-Fauzan -hafizhahullah- berkata dalam Syarh
Al-Qawaid Al-Arba’ hal. 15), “Allah Azza wa Jalla dialah yang
memberi makan dan tidak diberi makan. Tidak butuh kepada makanan dan
ketidakbutuhan Allah sesuai dengan Dzat-Nya. Allah tidak butuh kepada ibadahmu
seandainya kamu kufur maka tidak akan berkurang sedikitpun kekuasaan Allah
subhanah wa ta’ala. Akan tetapi kaulah yang butuh kepada-Nya yaitu butuh
beribadah kepada-Nya. Karena diantara rahmat-Nya bahwasanya Allah
memerintahkannmu untuk beribadah kepada-Nya untuk kebaikanmu. Karena apabila
kau beribadah kepada-Nya maka sesungguhnya Allah azza wa jalla akan
memuliakanmu dengan balasan dan pahala, maka ibadah adalah sebab Allah
memberikan kemuliaan kepadamu di dunia dan di akhirat. Maka siapakah yang
mendapatkan faidah dalam ibadah? Yang mendapatkan faidah adalah hamba itu
sendiri. Adapun Allah maka sesungguhnya Dia tidak butuh kepada hamba-Nya”.
Jadi, jika
orang menyembelih kepada selain Allah, berupa malaikat, nabi, wali-wali, roh,
jin, pohon, batu dan sebagainya, maka dia telah melakukan kesyirikan, dan
pelakunya kafir ‘keluar dari islam’, serta seluruh amalannya akan
dihapus. Karena ia telah mempersekutukan Allah dengan makhluk-makhluk
tersebut, dan mengangkatnya sebagai tandingan bagi Allah dalam beribadah.
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ
وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan
hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar: 65)
Oleh
karena itu, murnikanlah ibadahmu hanya untuk Allah, janganlah engkau campur
adukkan dengan noda-noda kesyirikan sehingga merusak segalanya, laksana nila
setitik, susu sebelanga rusak. Namun jika kalian bersihkan dari noda syirik,
niscaya kalian akan mendapatkan keamanan dari siksa Allah di dunia, dan
akhirat, serta mendapatkan petunjuk, tidak sesat !!
Allah -Azza
wa Jalla- berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezhaliman (syirik), merekaitulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. Al An’am:82)
Allah -Azza
wa Jalla- berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ
أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي
كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ.
نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah
Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan
Allah kepadamu”.Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan
akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Fushsilat: 30-32)
Inilah
jaminan Allah di dunia dan di akhirat bagi hamba-hamba yang men-tauhid-kan
Allah. Mereka ridho Allah sebagai Rabbnya, Muhammad -Shollallahu
‘alaihi wasallam- sebagai nabinya dan islam sebagai agamanya.
Wallahu
a’lam bish shawab
Sumber:
Abu
Ya'la Muhammad Aiman As-Salafy dalam Bughyah Al-Mustafid (hal.
150)
Syarah Al-Qawa'id Al-Arba' (hal.
14-15)
Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid (hal.120), cet. Dar Ad-Dakwah Al-Islamiyyah
Al-Qaul Al-Mufid Syarh Kitab At-Tauhid (1/142), cet. Darul Aqidah)