Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)

Menegakkan shalat

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), [Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Menunaikan zakat

“Ambillah dari harta mereka sedekah / zakat, untuk membersikah mereka serta menghapus kesalahan mereka” (QS At Taubah [9]: 103).

Puasa Ramadhan

“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)

Haji bagi yang mampu

“Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan apapun) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)

Saturday, 26 April 2014

Mengenal Keluarga Para Khulafa Ar Rasyidin





Sudah selayaknya kita mengetahui sejarah Islam dan mengenal para pelaku sejarah. Karena memang benar, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan bisa belajar dari sejarah. Beberapa tokoh dari sejarah tersebut bisa dijadikan teladan dan sumber informasi. Oleh karenanya Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم
“Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” 1
‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib – Zainul ‘Abidin- berkata,
كنا نعلم مغازي النبي صلى الله عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن
“Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami”2
Di antara yang perlu diketahui oleh kaum muslimin adalah anak-anak dan para istri khulafa ar rasyidin. Agak jarang yang mengenal mereka, padahal mereka juga telah menoreh tinta emas dalam sejarah Islam dan juga patut juga menjadi contoh tauladan bagi kaum muslimin. Berikut penjelasan ringkas dari Prof. Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah:
Abu Bakar menikahi:
  1. Qutailah bin Abdul Uzza dan melahirkan: Abdullah dan Asma’
  2. kemudian menikahi Ummu Rumman (binti Amir), ia adalah ibu dari ‘Aisyah danAbdurrahman
  3. kemudian menikahi Asma’ binti Umais (suami sebelumnya Ja’far bin Abi Thalib) dan melahirkan Muhammad bin Abu Bakar
  4. Kemudian menikahi Habibah binti Kharijah, ia dalah ibu dari Ummu Kultsumbinti Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Adapun Umar, ia menikahi:
  1. Zainab binti Mazun, ibu dari Abdullah, Abdurrahman dan Hafshah
  2. Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, ibu dari Zaid dan Ruqayyah
  3. Ummu Kultsum binti Jarul, ibu dari Zaid “kecil” dan Ubaidillah
  4. Jamilah binti Tsabit, ibu dari ‘Ashim
  5. Ummu Hakim binti Al-Harits, melahirkan Fatimah
  6. Atikah binti Zaid bin ‘Amr (anak pamannya) ibu dari ‘Iyadh bin Umar
Adapun Ustman, ia menikahi:
  1. Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal pada perang Badar
  2. Saudarinya (Ruqayyah), Ummu Kultsum binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggal semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  3. Fatimah binti Ghazwan, punya beberapa anak
  4. Ummu Amr binti Jandab
  5. Fatimah binti Walid
  6. Ummul Banin binti Ainiyah
  7. Ramlah bani Syaibah
  8. Nailah binti Firafashah, semuanya memiliki beberapa anak
Adapun Ali, ia menikahi:
  1. Fatimah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  2. Kaulah binti Ja’far Al-Hanifiyah
  3. Laila binti Mas’ud
  4. Ummul Banin binti Hizam
  5. Asma’ binti ‘Umais
  6. Shahba’ binti Rubai’ah
  7. Umamah binti Abi Al-Ash bin Ar-Rubai’
  8. Ummu Sa’id binti ‘Urwah bin Mas’ud
  9. Mihyah binti Imrail Qais Adi, semuanya memiliki beberapa anak
Catatan: masih ada beberapa nama Istri dan Anak yang masih belum disebut.
Wallahu a’lam bis shawwab.

Sumber:
Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/509 no.819, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, Asy Syamilah
2 Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi, 2/195, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, 1430 H, Asy Syamilah

Kisah Musa al Kalim 'Alahis Salam



Fir’aun pernah melihat dalam mimpinya seolah-olah ada api yang meluncur dari arah Baitul Maqdis, lalu membakar rumah-rumah kota Mesir dan orang-orang Qibthi, namun tidak membahayakan Bani Israil. Para dukun berkata kepada sang raja, “Anak ini lahir dari kalangan Bani Israil. Ia akan menjadi sebab-sebab kehancuran penduduk Mesir melalui kedua tangannya.”
Maka sang raja pun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki dan membiarkan bayi perempuan hidup. Kemudian, Fir’aun memerintahkan untuk membunuh bayi laki-laki dalam rentang waktu setahun, dan membiarkan mereka hidup (tidak membunuh bayi laki-laki) dalam rentang waktu setahun. Harun dilahirkan pada tahun pembunuhan bayi laki-laki. Allah pun mengilhamkan ke dalam hati ibnu Musa, “Janganlah kamu khawatir dan jangan bersedih, jika Musa pergi maka Allah akan mengembalikannya kepadamu. Dan Allah akan menjadikannya sebagai seorang Nabi yang diutus.”
Sang ibu pun menghanyutkan Musa di sungai Nil. Ia kemudian di pungut oleh para dayang-dayang di dalam sebuah peti yang tertutup. Ketika istri Fir’aun melihatnya, maka timbul rasa cintanya yang mendalam. Tatkala Fir’aun dating dan melihatnya ia memerintahkan untuk membunuhnya, namun istrinya memintanya dari Fir’aun dan melindunginya dengan beralasan, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.” (QS.Al-Qashash: 9).
Fir’aun berkata, “Ia penyejuk mata bagimu, sedang bagiku tidak.” Ketika Musa telah berada di rumah Fir’aun, para dayang hendak memberinya makan dengan susuan, namun Musa tidak mau menetek kepada siapa pun dan tidak mau menerima makanan.
Kemudian, mereka (keluarga Fir’aun) membawa Musa beserta beberapa dukun bayi dan wanita ke pasar dengan harapan mereka mendapatkan orang yang cocok menyusuinya. Hal itu terlihat oleh saudari Musa dan ia menunjukkan kepada mereka tentang seorang ibu penyusu. Lantas mereka pun pergi bersama gadis itu menuju rumah keluarga yang dimaksud, lalu Musa diambil oleh ibunya. Ketika sang ibu menyusuinya, Musa langsung menelan tetek sang ibu dan langsung menyusu. Meliha tkejadian ini mereka pun amat bergembira dan istri Fir’aun menetapkan gaji untuk sang ibu serta memberinya beragam nafkah. Musa tumbuh menjadi pemuda dewasa dengan postur tubuh dan perangai sempurna.
Suatu ketika Musa melihat dua orang laki-laki yang saling memukul dan saling berbantahan. Yang satu dari Bani Israil, sedang yang lainnya dari bangsa Qibthi. Orang Israil itu meminta pertolongan kepada Musa, maka Musa mendekati orang Qibthi tersebut lantas meninjunya dengan kepalan tangannya, lalu matilah orang Qibthi itu. Sebenarnya Musa tidak bermaksud membunuhnya, namun ia hanya sekedar ingin memberinya pelajaran. Sejak saat itu, Musa merasa takut terhadap Fir’aun dan bala tentaranya.
Saat kondisinya seperti itu, ia kembali menyaksikan orang Israil yang ditolongnya kemarin bertengkar dengan seorang Qibthi yang lain. Ketika Musa hendak memukul orang Qibthi tersebut, si Israil menyangka bahwa Musa menuju ke arahnya untuk menghukumnya karena kemaren Musa mencela dengan keras dan berkata kepadan ya< “Kamu benar-benar orang yang sesat.” Maka, ia pun segera berkata, “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh manusia.” (QS.al Qashash: 19) Orang Qibthi itu pun pergi dan meminta bantuan Fir’aun untuk menghadapi  Musa.
Kemudian, Musa pergi meninggalkan Mesir berdasarkan nasehat orang yang merasa kasihan kepadanya. Musa keluar dalam kondisi tidak mengetahui arah jalan. Ia berjalan di jalan yang menghantarkannya ke Madyan, kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam. Di Madyan, Musa mendapati sebuah sumur yang orang-orang berkerumun disekitarnya untuk member minum kepada kambing mereka. Ia juga menyaksikan dua orang gadis yang sedang menghalau kambing-kambing mereka berdua agar tidak berbaur dengan kambing-kambing orang lain. Sudah merupakan kebiasaan para pengembala apabila mereka telah selesai member minum ternak mereka, mereka meletakkan batu besar di mulut sumur. Kemudian dua gadis tersebut bergegas menggiring kambing-kambing mereka agar dapat meminum sisa-sisa air bekas minuman kambing-kambing orang lain. Tatkala Musa dating, ia mengangkat batu besar tersebut seorang diri dan meminumkan kambing-kambing dua gadis tersebut. Amirul Mukminin Umar bin Khaththab berkata, “Batu itu tidak dapat diangkat, kecuali oleh sepuluh orang. Musa hanya mengambil satu timba air yang mampu digunakan  untuk minum ternak-ternak kedua gadis tersebut.” Setelah itu Musa kembali ke tempat yang teduh dan berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS.al Qashash:24) Doa itu terdengar oleh kedua gadis tersebut, lalu keduanya memberitahukan kepada bapaknya perihal Musa ‘alaihis salam. Sang bapak pun menyuruh salah satu dari keduanya untuk dating menemui Musa dan mengundangnya kerumah. Gadis yang ditunjuk pun menuju kepadanya dan berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu member minum ternak kami.” (QS.al Qashash : 25) Bapak dua gadis itu berkata kepada Musa, “Engkau telah keluar dari wilayah kekuasaan mereka, sekarang engkau tidak lagi berada dinegerinya.”
Bapa tua itu hendak menikahkan Musa dengan salah satu dari dua putrinya dengan syarat ia harus bekerja kepada nya sebagai penggembala kambing selama delapan atau sepuluh tahun. Ketika waktu yang menjadi kesepakatan tersebut berakhir, Musa pergi bersama keluarganya menuju Mesir dengan membawa kambing-kambingnya pada malam gelap-gulita dan dingin. la melihat api yang menyala­-nyala. Ketika Musa menuju api itu, ia berhenti dengan penuh rasa heran. la diajak bicara oleh Rabbnya yang memerintahkannya agar pergi menuju Fir’aun. Musa meminta dukungan kepada Allah dengan saudaranya, Harun, dan Allah mengabulkan permintaan Musa dan menjadikan Harun sebagai rasul bersamanya.
Fir’aun sangat sombong sebagai orang yang telah membesarkan Musa, maka Fir’aun mendustakan ayat-ayat yang dibawa oleh Musa dari sisi Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala serta menuduhnya telah bermain sihir. Fir’aun pun menantang Musa, maka Musa berkata kepadanya,
“.. waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hariraya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalan naik “(Qs. Thaahaa 20: 59)
Fir’aun mengumpulkan seluruh ahli sihirnya, para pejabat pemerintahannya. dan seluruh warga negerinya. Musa tampil dengan menasihati dan mengingatkan dengan keras kepada mereka agar tidak membiasakan diri dengan perbuatan sihir. Para ahli sihir bermusyawarah dan sepakat untuk melayani Musa dengan pertarungan. Mereka melemparkan tali dan tongkat, lalu mengelabui mata orang-orang dengan sihir. Musa menjawab tantangan mereka sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Kemudian, Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu. “(Qs. Asy-Syu’araa: 45)
Seketika itu para ahli sihir mengetahui bahwa yang dibawa Musa bukanlah sihir, maka mereka bersujud dan berkata,
” Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu)Tuhan Musa dan Harun:” (Qs. Asy-Syu’araa’: 47-48)
Para tukang sihir itu beriman, maka Fir’aun pun membunuh mereka dengan menyalib mereka pada pangkal pohon kurma.
Fir’aun pun mulai membuka dialog dengan Musa dan Musa sendiri telah memperlihatkan kepadanya ayat-ayat yang terang, namun Fir’aun mengingkarinya. Orang-orang Bani Israil lalu meminta izin kepada Fir’aun untuk keluar menuju hari raya mereka, dan Fir’aun memberikan izin kepada mereka. Pada malam hari mereka keluar dengan tujuan mencari negeri Syam. Ketika Fir’aun mengetahui perihal kepergian mereka, ia sangat marah kepada mereka. Ia segera mengumpulkan seluruh tentaranya untuk melakukan pengejaran terhadap bani Israil dan membatalkan kepergian mereka. Mereka keluar dari Mesir dengan dipimpin oleh Musa Alaihissalam. Adapun mereka, masuk ke Mesir dipimpin oleh bapak Israil, yakni Ya’qub, lebih dari 400 tahun sebelum itu.
Mereka dikejar Fir’aun sampai pada waktu matahari terbit. Kedua kelompok telah saling melihat, sebagaimana firman-Nya,
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut­pengikut Musa, Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul’ “(Qs. Asy-Syu’araa’: 61)
Rasul yang jujur itu berkata kepada mereka sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Musa menjawab, sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Qs. Asy-Syua’raa’: 62)
Musa melihat ombak yang saling menghantam. Ia berkata, “Di sinilah aku diperintahkan.” Ketika itu saudara-saudaranya, yaitu Harun dan Yusa’ bin Nuun, bersama dengannya. Musa memukul laut dengan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian dengan kehendak, kekuasaan, anugerah, dan rahmat Allah, laut terbelah menjadi dua. Ketika bani Israil telah berhasil melampaui jalan laut itu, Musa hendak memukul laut dengan tongkatnya agar kembali menjadi seperti sedia kala sehingga Fir’aun dan pasukannya tidak dapat melewatinya.

Akan tetapi perintah Allah wajib dilaksanakan, Dia memerintahkan Musa agar membiarkan laut tetap pada keadaan dan sifatnya semula, ketika ditinggalkan oleh Musa bersama kaumnya. Fir’aun dikejutkan dengan apa yang dilihatnya, dan ia yakin semua itu adalah perbuatan Rabb Yang Maha Agung. Oleh karena itu, ia tahan kudanya dan tidak bergerak maju. Akan tetapi kesombongan telah membawanya kepada kebatilan. Dia dan pasukannya tetap hendak mengejar Musa dan para pengikutnya. Ketika itu dia berkata, “Lihatlah oleh kalian semua, bagaimana laut bisa terbelah untukku agar aku dapat menangkap para budakku yang melarikan diri dari sisiku.”
Dia memaksa diri masuk ke laut —yang terbelah— dan tidak mampu lagi mengendalikan kudanya. Ketika para tentara melihat Fir’aun telah masuk ke laut, mereka turut masuk di belakangnya dengan cepat. Mereka seluruhnya secara padu telah berkumpul di tengah taut. Dalam keadaan seperti itu, AllahSubhanahu wa Ta ‘ala memerintahkan Musa, lewat wahyu yang diberikan kepadanya, agar memukul laut dengan tongkatnya, sehingga laut menjadi satu kembali, sebagaimana semula, dan menghancurkan Fir’aun dan seluruh tentaranya.
Bani Israil menyaksikan, namun sebagian dari mereka meragukan kematian Fir’aun, sehingga mereka berkata, “Fir’aun tidak mati.” Allah Subhanahua wa Ta ‘ala pun memerintahkan laut agar melemparkan jasad Fir’aun yang masih mengenakan baju perangnya, yang mereka ketahui Itu merupakan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta ‘ala. Kejadian itu pada bulan Asyura. Oleh karena itu, orang-orang muslim berpuasa pada hari itu. Kaum muslim lebih berhak atas Musa Alaihissalam daripada bani Israil. Orang-orang Islam juga berpuasa pada sehari sebelum atau sehari sesudah kejadian itu, agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Begitu bani Israil keluar dengan selamat dari laut, kesesatan mereka langsung terlihat nyata menggantikan posisi syukur nikmat. Mereka lewat di dekat kaum paganis yang menyembah berhala. Mereka berkata kepada Musa, sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Bani Israil berkata, Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mernpunyai beberapa tuhan (berhala).” (Qs. Al A’raaf: 138)
Mulailah Musa menghadapi berbagai kesulitan menghadapi kaumnya. Setelah mereka banyak mengalami kesulitan dan kesesatan, mulailah Musa berdoa kepada Rabbnya agar memisahkan dirinya dengan kaumnya.
Di dalam buku-buku versi Yahudi terdapat berbagai cerita yang tidak masuk akal, yang di dalamnya disebutkan adanya orang-orang tinggi luar biasa. Disebutkan bahwa ‘Auj bin ‘Inag memiliki tinggi badan lebih dari 3000 hasta, dan cerita-cerita lain yang mengada-ada. Mereka tidak memiliki jawaban, melainkan sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Oleh karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (Qs. Al Maaidah: 24)
Dikatakan bahwa Yusya’ dan Kalib langsung merobek pakaian mereka ketika mendengar jawaban ini. Samiri telah membuatkan mereka patung anak sapi dari emas, dan mereka menyembahnya. Musa kemudian tiba dengan kemarahan yang luar biasa, lalu membakar patung tersebut. Begitulah, hati bani Israil memang mudah sekali menyimpang dari keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentang sapi, lbnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Seseorang yang tua-renta di kalangan bani Israil memiliki harta yang sangat banyak. Dia memiliki keponakan-keponakan yang selalu mengharapkan kematiannya untuk mewarisi hartanya. Bahkan salah satu dari mereka hendak membunuhnya. la lakukan kejahatan itu pada malam hari dan dia mengingkari perbuatannya. Mereka lalu berbondong-bondong datang ke rumah Nabi Musa ‘Alaihissalam. Musa kemudian berkata kepada mereka, sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. “(Qs. Al Baciarah 12I: 67)
Mulailah tawar-menawar dilakukan, sebagaimana kebiasaan bani Israil. Namun kali ini tawar-menawar dengan Nabi Musa Alaihissalam. Setelah tiga kali mereka merasa ragu, baru akhimya melakukan penyembelihan sapi. Allah berfirman tentang bani Israil dalam menghadapi perintah Tuhannya,
“Hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Qs. Al Baqarah: 71)
Mereka memukul (mayit) dengan sebagian dari anggota tubuh sapi yang telah mereka sembelih. Tidal ada maslahatnya untuk mempertanyakan bagian tubuh yang mereka gunakan untuk memukul mayit orang yang terbunuh. Yang jelas mayit itu bangun setelah dipukul dengan bagian dari tubuh sapi, lalu berkata, “Aku dibunuh oleh anak saudaraku.” Kemudian ia kembali mati sebagaimana semula.

Suatu hari Musa menjadi khatib di hadapan bani Israil, lalu ia ditanya, “Siapakah orang yang paling alim?” Musa menjawab, “Saya.”
Kemudian Allah mencela Musa karena dia belum memberikan ilmu kepadanya. Allah lalu mewahyukan kepada Musa, Aku memiliki seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua laut. Dia lebih alim danpada kamu.”
Berangkatlah Musa dengan saudaranya, Yusya’ bin Nuun. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, mereka melihat seseorang yang sedang merapikan pakaiannya. Musa mengucapkan salam kepadanya dengan ucapannya, “Aku datang kepada engkau, dengan harapan engkau sudi mengajariku apa-apa yang telah diajarkan kepada engkau berupa ilmu yang benar.”
Khidir menetapkan syarat kepada Musa agar tidak bertanya tentang apa pun hingga Khidir sendiri yang akan menjelaskannya. Berlalu sebuah bahtera yang mengangkut mereka. Khidir mencopot sebuah papan kapal, namun Musa tidak setuju. Khidir lalu mengingatkan Musa akan janjinya, Musa pun meminta maaf. Keduanya lalu keluar dari bahtera. Khidir melihat seorang anak yang sedang bermain bersama anak-anak sebayanya yang lain, kemudian Khidir membunuhnya. Musa menentang apa yang dilakukan Khidir dengan lebih keras daripada penolakannya pada kejadian yang pertama, maka Khidir mengingatkan Musa akan janjinya. Musa pun terdiam dengan menahan kesedihannya. Musa berjanji bahwa dirinya bersedia —jika bertanya yang ketiga kalinya— mengakhiri kebersamaannya dengan Khidir.
Mereka masuk ke suatu kampung. Mereka meminta makanan kepada penduduk kampung itu, namun mereka menolak. Khidir melihat dinding yang miring, ia pun memperbaikinya. Musa berkata kepadanya, “Tidakkah engkau meminta upah perbaikan dinding?” Khidir menjawab, “Habislah masa kebersamaan.”
Khidir lalu menjelaskan semua kejadian yang mengundang keheranan Musa. Ia mencopot papan sebuah kapal agar tidak dirampas oleh seorang raja yang zhalim. Anak yang ia bunuh adalah seorang anak kafir, sedangkan kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Khidir khawatir jika kecintaan keduanya kepada anaknya akan membawa keduanya kepada agama anaknya. Adapun tembok yang miring, di bawahnya terdapat harta karun berupa emas milik dua orang anak yatim. Allah hendak menjaga dan memelihara harta itu hingga keduanya menjadi dewasa.
Di dalam kisah tentang Qarun, Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Qarun memberi seorang wanita tuna susila harta dengan imbalan agar mengatakan kepada Musa Alaihissalam, ketika ia di tengah-tengah banyak orang, “Sesungguhnya engkau telah melakukan demikian terhadapku.” Wanita itu pun mengucapkan kata-kata itu kepada Musa, sehingga Musa laksana disambar petir. Ia kemudian melakukan shalat kepada Tuhannya lalu datang menghadapi wanita itu dengan mengambil sumpahnya dan bertanya, “Siapa yang menyuruhmu berbuat seperti itu? Kenapa engkau lakukan hal itu?” Wanita itu menjawab, “Qarun yang menyuruhku berbuat itu. Setelah itu wanita tersebut beristighfar dan bertobat kepada Allah. Ketika itu Musa merebahkan diri, bersujud, dan berdoa untuk keburukan Qarun. Dan Qarun pun ditelan bumi beserta rumah dan semua hartanya.
Sebagian bani Israil berkata, “Musa tamak dengan harta Qarun.” Musa lalu berdoa, “Wahai bumi, ambilkan dia dan ambillah hartanya.” Dan bumi pun menelannya, rumahnya dan seluruh hartanya.
Imam al Bukhari berkata di dalam Shahihnya mengenai kisah wafatnya Musa ‘Alaihis Salam, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Malaikat maut diutus kepada Musa ‘Alaihissalam. Ketika dia datang, Musa menamparnya. Lalu malakul maut kembali kepada Rabb-Nya seraya berkata, “Egnaku telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan kematian.’ Allah berfirman kepadanya, ‘Kembalilah kepada Musa dan katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya. Satu bulu satu tahun.’ Musa berkata, ‘Wahai Tuhanku, setelah itu apa?’ Malaikat maut berkata, ‘Maut.’ Musa berkata, ‘Sekarang aku pasrah.’ Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada tanah suci sejauh lemparan batu. Musa wafat di Padang Tin setelah wafatnya Harun di tempat yang sama dan tidak tersisa seorang pun orang-orang yang menolak untuk masuk kedaerah orang-orang perkasa tersebut.”
Tempat Wafatnya Nabi Musa Alaihissalam, Jerico Jerussalem
Tempat Wafat Musa, Jerico Jerussalem
Nabi Harun ‘Alaihissalam

Nabi Harun 2
Nabi Harun
Sumber: Ringkasan Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka Azzam & Pustaka as Sunnah.

Kisah Nabiyullah Yunus ‘Alaihis Salam



Allah mengutus Yunus ‘alaihissalam kepada penduduk Nainawa, di bumi al-Mushil. Yunus menyeru mereka agar beribadah hanya kepada Allah namun mereka mendustakannya. Ketika pendustaan mereka itu berlangsung lama, Yunus pun pergi meninggalkan mereka serta memberikan janji kepada mereka akan datangnya adzab setelah tiga hari kemudian. Manakala Yunus keluar meninggalkan mereka dan mereka yakin bahwa adzab benar-benar akan turun kepada mereka, Allah memberi mereka taufiq untuk bertaubat dan kembali kepadaNya. Mereka menyesal atas sikap mereka selama ini kepada Nabi mereka. Mereka pun mengenakan pakaian dari tenunan. kasar (pakaian ibadah), memohon dengan harap kepada Allah serta menundukkan diri di hadapan-Nya. Mereka semua menangis, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita, anak laki-laki atau pun anak perempuan serta para ibu. Binatang ternak, unta dan anaknya, sapi dan anaknya, kambing dan anaknya pun ikut bersuara. Saat itu kondisinya amat memilukan.
Dengan daya, kekuatan, kasih sayang, dan rahmat-Nya, Allah menahan adzab dari mereka (yang semestinya menimpa). Mereka pada waktu itu berjumlah seratus ribu orang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kelebihan dari seratus ribu orang tersebut. Selain itu, mereka juga berbeda pendapat apakah Yunus diutus kepada mereka sebelum ia berada di perut ikan hiu ataukah sesudahnya? Maksudnya, setelah Yunus ‘alaihissalam pergi dalam keadaan marah karena perbuatan kaumnya, maka ia pun menaiki kapal. Kapal pun terombang-ambing dan merasakan beban yang berat, sehingga kapal hampir karam. Para penumpang lantas bermusyawarah untuk diadakan undian. Bagi siapa saja yang keluar undiannya, maka mereka akan melemparkannya dari kapal sehingga beban kapal berkurang. Ketika undian dilakukan, maka undian tersebut jatuh kepada Nabiyullah, Yunus. Namun mereka tidak mengizinkan bila Yanus diceburkan ke laut. Mereka pun mengulangi undian, namun kembali nama Yunus yang keluar.
Yunus pun bersiap-siap melepas pakaiannya dan bersiap-siap menceburkan dirinya ke laut. Namun, mereka menolak perbuatannya itu. Kemudian mereka mengulangi undian. Lagi-lagi undian jatuh kepada Yunus, lantaran Allah menghendaki suatu hal yang besar darinya. Setelah itu, Yunus pun di lempar ke laut. Lalu Allah mengutus ikan hiu besar dan menelannya. Allah memerintahkan kepada ikan tersebut untuk tidak memakan dagingnya dan meremukkan tulangnya, Yunus bukanlah rezeki baginya. Lalu ikan tersebut membawa Yunus berkeliling di lautan.
Setelah Yunus berada di perut ikan hiu tersebut, ia menyangka bahwa dirinya telah mati. Maka ia mencoba menggerak-gerakkan anggota badannya, dan anggota-anggota badannya pun bergerak. Ternyata ia mendapatkan dirinya masih hidup, maka ia segera bersujud kepada Allah dan berkata, “Wahai Tuhanku, aku jadikan satu masjid (tempat sujud) untuk-Mu, yang tidak ado seorang pun menyembahmu di tempat yang serupa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama Allah yang apabila diseru dengan nama itu, maka dikabulkan dan apabila dimintai dengan nama itu, maka akan diberi. Itu adalah doanya Yunus bin Mata.”
Maka Allah memerintahkan kepada ikan tersebut untuk melempar Yunus di tanah tandus, lalu Allah menumbuhkan pohon yaqthinah (sejenis labu) untuknya. Di samping itu, Allah juga menyediakan untuknya domba liar sehingga Yunus dapat memerah susunya. Doa yang senantiasa diucapkan Yunus saat berada di perut ikan adalah “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh zhalimin” (Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang lalim).” Tidak ada seorang muslim pun yang menyeru kepada Allah dengan doa tersebut, kecuali ia pasti dikabulkan.’ [HR.Tirmidzi 3505]
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah

Kisah Nabiyullah Ayyub 'Alaihis Salam



Ayyub ‘alaihis salam berasal dari anak keturunan Al-’Aish bin Ishaq. Ada yang mengatakan bahwa nama istrinya adalah Rahmah binti Afratsim bin Yusuf bin Ya’qub. Dan inilah pendapat yang masyhur.
Dahulunya Ayyub adalah seorang laki-laki yang memiliki banyak harta berupa tanah yang luas di daerah Hauran. Kemudian, harta dan keluarganya itu diambil darinya dan dia diuji pada badannya dengan beragam cobaan (penyakit). Namun Ayyub bersabar menghadapi semua cobaan itu sehingga ada perumpamaan yang dibuat berkenaan dengan kesabarannya.
Adapun istrinya, ia pernah bekerja kepada orang lain dengan imbalan upah, dan memberi makan Ayyub ‘alaihissalam dengan upah tersebut. Namun, kemudian orang-orang tidak mau lagi mempekerjakannya, setelah mereka tahu bahwa ia adalah istri Ayyub. Mereka khawatir terkena bala’ yang menimpanya. Ketika ia tidak lagi mendapatkan orang yang mau mempekerjakannya, maka ia menjual salah satu kepang rambutnya kepada salah seorang anak perempuan terpandang untuk membeli makanan yang baik lagi banyak. Ia lalu membawanya kepada Ayyub, Ayyub lantas bertanya, “Dari mana engkau dapatkan makanan-makanan ini?” Ayyub mengingkarinya. Sang istri berkata, “Aku bekerja pada orang-orang.”
Keesokan harinya, sang istri tidak mendapatkan orang yang mau mempekerjakannya. Lalu ia menjual kepang rambutnya yang lain untuk membeli makanan dan memberikannya ke Ayyub. Lagi-lagi Ayyub mengingkarinya. Bahkan ia bersumpah tidak akan menyantapnya sebelum ia memberitahukannya dari mana asal makanan-makanan tersebut. Sang istri pun membuka tutup kepalanya. Tatkala Ayyub melihat kepada istrinya dalam kondisi gundul, ia berkata di dalam doanya, “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS.Al-Anbiya: 83).
Dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Nabiyullah Ayyub menjalani ujiannya selama delapan belas tahun.”
Kemudian Allah mewasiatkan kepada Ayyub, “Hantamkanlah kakimu;, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad: 42) Ayyub lalu menemui istrinya dalam kondisi Allah telah menghilangkan semua cobaan yang menimpanya. Saat itu kondisinya lebih tampan dari sebelummya. Ketika istrinya melihatnya, ia berkata, “Semoga Allah memberkatimu! Apakah engkau melihat Nabiyullah yang sedang menjalani ujian itu? Demi Allah atas hal itu atas ujian tersebut, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih mirip dari Ayyub ketika sehat selain dirimu.” Ayyub berkata, “Akulah orangnya.”
Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah telah mengembalikan harta, anak, seperti semula dan ditambahkan kepada mereka sebanyak itu pula.”
Dan juga dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Allah telah mengembalikan kepada istri Ayyub masa mudanya, bahkan Allah menambahkannya. Allah juga memberikan keringanan kepada Ayyub setelah ia bersumpah untuk memukul istrinya sebanyak seratus kali cambukan karena ia telah menjual kepangan-kepangan rambutnya. Dengan mengumpulkan seratus batang seperti janjang kurma yang terdiri dari seratus cabang, lalu ia menggabungkannya menjadi satu dan memukulkannya ke istrinya sebanyak satu kali pukulan, maka ia telah menunaikan nadzarnya dan tidak membatalkannya.” Banyak dari kalangan fuqaha’ yang menggunakan rukhshah (kelonggaran) seperti ini dalam perkara sumpah dan nadzar.
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah

Kisah Yusuf 'Alaihis Salam



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang mulia putra orang yang mulia dari putra orang yang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin lbrahim.”[1]
Para ahli tafsir dan lainnya berkata, “Yusuf sewaktu kecilnya pernah bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan seolah-olah bersujud kepadanya. Setelah bangun dari tidurnya, ia pun menceritakan mimpi tersebut kepada bapaknya. Dan sang bapak menyuruhnya untuk merahasiakan mimpi tersebut serta tidak menceritakannya kepada saudara-saudaranya yang lain agar mereka tidak hasad (dengki) kepadanya.
Saudara-saudara Yusuf lantas bermusyawarah guna membunuh Yusuf atau membuangnya jauh ke suatu daerah yang ia tidak akan kembali lagi, dan mereka sepakat atas keputusan terakhir ini.
Mereka terus memohon kepada sang bapak agar Yusuf dibiarkan pergi bersama mereka hingga kemudian bapaknya mengizinkannya pergi bersama mereka. Setelah mereka sudah tidak tampak dari pandangan sang bapak, mereka pun melemparkan Yusuf ke dasar sumur, namun Allah Ta’ala menenangkan hatinya.
Saudara-saudara Yusuf kembali pulang menemui bapak mereka di malam hari seraya menangisi kematian saudara mereka Yasuf –menurut sangkaan mereka- dengan membawa pakaiannya yang telah dilumuri dengan darah anak kambing. Sang bapak pun menyerahkan urusannya kepada Allah dan bersabar dengan kesabaran yang amat baik.
Lalu, datanglah sekelompok kafilah sedang saudara-saudara Yusuf senantiasa mengawasi sumur tersebut. Ketika Yusuf ‘alaihissalam diambil oleh kafilah tersebut, maka saudara-saudara Yasuf segera mendatangi mereka dan berkata, “Ini adalah budak kami yang melarikan diri dari kami.” Lalu mereka membelinya dari mereka dengan harga dua puluh dirham, lalu saudara-saudara Yasuf saling berbagi dua dirham dua dirham. Kemudian Yusuf dibeli oleh seorang penduduk Mesir yang terpandang, lalu ia berlaku baik kepadanya. “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuff ” (QS. Yusuf: 23) Istri al-Azis (Zulaikha) mengajak Yasuf untuk berbuat tidak senonoh dengannya dan ia sangat berharap bisa mewujudkan hal itu, lalu Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah.” Dan Allah menjaga NabiNya Yusuf ‘alaihissalam, membersihkannya dari perbuatan keji, melindungi, serta membentenginya darinya.
Yusuf kemudian lari, namun Zulaikha mengejarnya. Di pintu rumah mereka berdua saling tarik-menarik. Di saat demikian, tiba-tiba saja al-Aziz berada di hadapan keduanya. Istri al-Aziz adalah wanita cerdas, maka ia segera angkat bicara untuk membebaskan dirinya dari perbuatan yang tidak senonoh. Dan di saat yang sama, ia juga mengkhawatirkan posisi Yusuf, jika sampai divonis mati. Untuk -menghindari itu, ia mengusulkm agar Yasuf cukup di penjara atau disiksa saja. Yusuf pun membela dirinya, dengan mengembalikan tuduhan itu seraya berkata, “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku  (kepadanya).” (QS. Yusuf: 26)
Lalu masuklah seorang saksi dan berkata, “Apabila baju gamis Yusuf koyak di bagian dadanya atau koyak di bagian depannya, maka wanita itu benar. Dan jika baju gamis Yusuf koyak di bagian punggungnya (belakang), si wanita itu mengejarnya ketika ia lari serta menarik baju gamisnya hingga terkoyak. Dengan demikian dialah (si wanita) yang berdusta.” Al-Aziz kemudian mengamati baju gamis tersebut dan ia mendapatkan kenyataan bahwa baju tersebut koyak di bagian belakangnya. Mengertilah ia akan kejadian yang sebenamya, dan berkata: “Engkaulah yang menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadamu, lalu engkau menuduhnya dengan tuduhan yang batil.” Setelah itu, ia berkata kepada Yusuf, “Jangan engkau ceritakan aib ini kepada seorang pun,” serta memerintahkan istrinya untuk beristighfar.
Para wanita di kota ramai membicarakan kejadian tersebut. Hingga pembicaraan mereka itu sampai ke telinga Zulaikha. Zulaikha pun mengundang mereka dan menyediakan buah-buahan serta memberikan pisau kepada setiap dari mereka. Setelah itu, ia menyuruh Yusuf untuk keluar kepada mereka. Maka para wanita itu pun menyaksikan ketampanan Yusuf dan tanpa terasa mereka melukai tangan mereka masing-masing. Lalu Zulaikha berkata, “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya.” Kemudian, ia memuji kesucian Yusuf yang sempurna.
Yusuf telah dianugerahi setengah ketampanan Adam ‘alaihissalam. Zulaikha mengakui bahwa dirinyalah yang memulai menggoda Yusuf, ia juga membebaskan Yusuf dari tuduhan yang tidak senonoh, serta ia bertekad untuk mewujudkan keinginannya. Dan jika Yusuf menolaknya kali ini, niscaya ia akan memerintahkan untuk memenjarakannya. Para wanita yang hadir mendesak Yusuf agar mendengarkan dan mentaati tuannya, lalu mereka bersama-sama bersekutu dengan Zulaikha dengan mengajak Yusuf kepada diri-diri mereka. Namun, Yusuf menolak keras keinginan mereka tersebut dan berdoa kepada Allah. Yusuf berkata di dalam doanya, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakati mereka kepadaku.” (QS. Yusuf: 33).
Kemudian Yusuf pun di penjara dalam rangka menyelamatkan dan melindungi dirinya dari ajakan dan bujuk rayu istri al-’Aziz.
Di dalam penjara ada dua pemuda yang menceritakan mimpinya kepada Yusuf. Lalu Yusuf mena’birkan mimpi kedua orang tersebut dengan berkata “Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan memberi minum kepada tuannya dengan khamar, adapun yang seorang lagi maka ia akan disalib, lali burung memakan sebagian dari kepalanya.” (QS. Yusuf: 41) Dan ia berkata kepada calon pemberi minum (sang raja), “Terangkanlah kondisiku kepada sang raja dan keberadaan ku di penjara bukan karena suatu kesalahan dan itu terjadi setelah bebasnya aku dari tuduhan tersebut.” Namun si pemberi minum tersebut lupa dengan pesan Yusuf.
Pada suatu malam, Raja  Mesir –ar-Rayyan bin al-Walid– terbangun dari tidurnya dalam kondisi ketakutan, ia berkata, “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk di makan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus, dan aku melihat tujuh bulir gandum yang hijau diselubungi oleh tujuh bulir gandum yang kering, ta’birkanlah mimpiku ini!” Namun semua ahli nujum, ahli sihir, dan para Dajjal yang ada di sekitar Fir’aun tidak sanggup mena’birkan mimpi tersebut. Saat itulah si pemberi minum raja teringat dengan pesan Yusuf, ia berkata, “Utuslah aku menemui Yusuf.”
Kemudian ia menemui Yusuf dan berkata, “Wahai Yusuf ta’birkanlah kepada kami mimpi sang raja.” Lalu ia menceritakan ulang semua pembicaraan sang raja. Yusuf berkata, “Tujuh tahun penuh dengan kebaikan, lalu diikuti tujuh tahun masa paceklik. Setelahnya lagi akan datang tahun penuh kebaikan.”
Sang raja lalu meminta kesediaan Yusuf dijadikan sebagai salah satu pejabatnya setelah jelas olehnya bahwa ia terbebas dari tuduhan. Namun Yusuf ‘alaihissalam menolak, kecuali jika sang raja mau mengumumkan terbebasnya ia dari tuduhan istri al-’Aziz dan beberapa wanita lainnya. Peninjauan pun dilakukan dan jelaslah sudah keterbebasan Yusuf dari tuduhan tersebut. Setelah itu, sang raja menyerahkan kedudukan yang mulia kepadanya.
Setelah dua tahun masa paceklik berjalan, saudara-saudara Yusuf datang (untuk meminta bahan makanan). Yusuf mengenali mereka, namun mereka tidak mengenali Yusuf. Yusuf pun membekali mereka dengan bahan makanan. Semua saudaranya hadir saat itukecuali saudara kandungnya, Bunyamin ia tinggal di rumah bersama ayahnya. Yusuf berkata, “Jika tahun depan kalian datang lagi, maka bawalah saudaramu itu. Jika kalian tidak membawanya, maka kalian tidak akan mendapatkan apa-apa dariku.” Lalu Yusuf mengembalikan barang bawaan mereka, (yaitu barang bawaan yang hendak mereka tukar dengan bahan makanan, -pentj).
Saudara-saudara Yusuf pun kembali kepada bapak mereka (Ya’qub), dan mereka mendapatkan barang bawaan mereka dikembalikan. Mereka lalu berkata kepada bapak mereka, “Setelah tahun ini kita tidak akan diberi bahan makanan jika bapak tidak mengirim saudara kami bersama kami.”
Yaqub ‘alaihissalam amat mencintai anaknya, Bunyamin. Sebab ia senantiasa mencium bau Yusuf pada diri anaknya itu. Kemudian anak-anak Ya’qub menguatkan janji mereka bahwa mereka pasti akan mengembalikan saudara mereka kepadanya.
Saudara-saudara Yusuf kembali datang dengan membawa saudara mereka Bunyamin. Lalu Yusuf memasukkan Bunyamin ke tempatnya dan menjelaskan bahwa dirinya adalah saudara kandungnya. Kemudian Yusuf mempersiapkan bahan makanan untuk saudarasaudaranya dan meletakkan takaran makanan di karung Bunyamin. Seorang penyeru lalu berteriak, “Takaran milik raja telah dicuri.” Yusuf berjanji bagi yang menemukannya, maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat unta. saudara-saudara Yusuf terkejut dengan berita ini. Kemudian takaran raja dikeluarkan dari barang bawaan Bunyamin setelah dilakukan pemeriksaan pada barang bawaannya. Maka, Yusuf pun menahannya di sisinya dan aturan/hukuman ini sesuai dengan syariat Ya’qub.
Saudara-saudara Yusuf lantas kembali kepada bapak mereka dan mengabarkan kejadian itu. Ya’qub pun merasa susah dan berduka cita atas Yusuf serta kedua matanya menjadi putih lantaran banyak menangis. Kemudian, saudara-saudara Yusuf kembali kepada Yusuf untuk mendapatkan bahan makanan dan meminta agar saudara mereka Bunyamin dikembalikan kepada mereka. Yusuf lalu menyingkap keningnya yang mulia, mereka pun mengenalinya, mereka sangat gembira karenanya. Mereka kembali kepada bapak mereka, dan mereka kembali bersatu.
Dari Al-Hasan: “Yusuf dicampakkan ke dasar sumur saat ia berusia tujuh belas tahun, dan menghilang dari sisi bapaknya selama delapan puluh tahun, dan hidup setelah itu dua puluh tiga tahun. Yusuf wafat saat berusia seratus dua puluh tahun.”
Foot Note:
[1] HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya (5454).
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah

Kisah Kaum Madyan, Kaum Nabi Syu'aib 'Alaihis Salam



Penduduk Madyan adalah satu kaum Arab yang tinggal di kota bernama Madyan. Kota tersebut terletak di daerah Ma’an di ujung daerah Syam di samping tepian kota Hijaz dekat dengan laut tempat ditenggelamkannya kaum Luth. Mereka berasal dari keturunan Bani Madyan bin Madyan bin Ibrahim al-Khalil
Penduduk Madyan adalah orang-orang kafir. Kebiasaan mereka adalah merampok dan menakut-nakuti orang-orang yang lewat di jalanan. Mereka adalah seburuk-buruk manusia dalam bertransaksi, mereka curang dalam takaran dan timbangan. Mereka meminta tambahan di saat membeli dan mengurangi takaran/timbangan saat menjual. Lalu Allah mengutus seorang laki-laki dari kalangan mereka, yaitu Rasulullah Syu’aib ‘alaihissalam. Syu’aib menyeru mereka untuk menyembah hanya kepada Allah, tiada menyekutukan-Nya dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan buruk tersebut.
Sebagian dari mereka beriman kepadanya, namun kebanyakan mereka yang kafir. Syu’aib menasehati serta mengingatkan mereka tentang apa yang telah menimpa kaum Luth; mereka adalah kaum yang begitu dekat dengan mereka, baik dari sisi tempat maupun waktu. Namun mereka tidak menyambut seruan itu hingga akhirnya Syu’aib mendoakan keburukan untuk mereka, sedang Allah tidak akan menolak doa para Rasul-Nya jika mereka meminta pertolongan atas orang-orang kafir. Mereka pun ditimpa gempa yang begitu dasyhat, suara keras yang mengguntur, serta gumpalan awan. Allah menghujani mereka dengan percikan api dan anak panah api, mereka pun binasa.
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah

Kisah Luth 'Alaihis Salam



Atas dasar perintah Ibrahim, Nabi Luth ‘alaihissalam tinggal jauh dari tempat tinggal pamannya, Ibrahim. Luth menetap di kota Sodom. Kota Sodom dihuni oleh orang-orang fajir, kafir, serta perampok. Mereka melakukan kemungkaran di tempat-tempat perkumpulan mereka serta tidak mau mencegah kemungkaran yang mereka lakukan, yaitu kemungkaran homoseksual dan meninggalkan para wanita yang diciptakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Luth menyeru mereka untuk menyembah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Luth melarang mereka untuk melakukan perbuatan Karam, keji, dan munkar. Namun mereka tetap dalam kesesatan dan melampaui batas. Bahkan mereka bermaksud mengusir Rasul mereka dari tengah-tengah mereka. Walhasil, jawaban mereka adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Mereka berkata: ‘Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu, karena sesungguhnya mereka itu orango-rang yang (mendakwakan dirinya) bersih.”‘ (QS. An-Naml: 56) Mereka memposisikan sesuatu yang amat terpuji pada posisi tercela, dan dijadikan alasan untuk mengusir Luth.
Para ahli tafsir berkata, “Setelah para malaikat, yaitu Jibril, Mikail, dan Israfil meninggalkan Ibrahim ‘alaihissalam lalu mereka mendatangi negeri Sodom dalam rupa pemuda yang sangat tampan. Mereka datang bertamu ke rumah Luth ‘alaihissalam pada saat matahari tenggelam. Luth merasa khawatir. Sebab, jika ia tidak menyambut mereka, maka mereka akan disambut oleh yang lainnya dari kalangan orang-orang fasik, karena Luth menyangka bahwa mereka adalah manusia biasa. Lalu, Luth pun membawa mereka tanpa diketahui oleh seorang pun, kecuali keluarganya. Lalu istri Lutth keluar, lantas mengabarkan hal itu kepada kaumnya. Maka kaumnya berbondong-bondong mendatangi Luth, dan Luth pun menjawab: “Hai kaumku, inilah putri-putri (negeri) ku mereka lebih suci bagimu.” (QS. Had: 78) Luth mengarahkan mereka untuk mendatangi istri-istri mereka, yang secara syariat merupakan putri-putri Luth. Karena, kedudukan seorang Nabi bagi umatnya ada pada kedudukan seorang ayah bagi anak-anaknya. Pada waktu itu Luth amat berharap sekiranya ia memiliki kekuatan atau pembela atau anggota keluarga yang menolongnya atas perbuatan kaumnya. Luth berusaha menghalau kaumnya agar mereka tidak memasuki rumahnya. Luth menghalau mereka dari balik pintu yang tertutup sedang mereka berusaha untuk membukanya. Para ahli tafsir menyebutkan bahwa Jibril keluar menemui mereka. Lalu memukulkan ujung sayapnya ke arah wajah mereka sehingga menjadikan mata mereka buta. Kemudian, Jibril memerintahkan Luth beserta anggota keluarganya, kecuali istrinya untuk pergi meninggalkan kampungnya di akhir malam.
As-Suhaili berkata, “Nama istri Luth adalah Walihah, sedangkan nama istri Nuh adalah Walighah. Ketika Luth ‘alaihissalam keluar dari kampungnya ia hanya bersama keluarganya, yaitu kedua anak perempuannya dan tidak ada orang lain yang mengikutinya. Tatkala mereka telah meninggalkan negeri mereka dan matahari mulai terbit, Allah pun menimpakan adzab kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang lalim.” (QS. Hud: 82-83)
28 Sodom Gomorrah
Para ahli tafsir berkata, “Jibril memporak-porandakan tempat tinggal mereka berikut dengan penghuninya dengan ujung sayapnya. Dan jumlah kota saat itu ada tujuh kota.”
Tempat tinggal mereka berubah menjadi lautan bangkai yang bergelombang, sedang airnya amat teramat asin sampai dekat ke pahit. Ada yang mengatakan bahwa istri Luth ‘alaihissalam adalah mata-mata atas keberadaan tamu-tamu Luth. Ibnu ‘Abbas dan lainnya dari kalangan para imam salaf dan khalaf, “Istri seorang nabi tidak akan pernah berbuat zina, dan bukanlah yang dimaksud (dalam ayat) bahwa ia mendatangi perbuatan keji (zina), sekali-kali tidak. Tetapi yang dimaksud adalah ia mengkhianati Luth dalam urusan agama, dimana ia tidak mau mengikutinya.”
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah

Friday, 25 April 2014

Kisah Ibrahim al Khalil 'Alaihissalam



la adalah Ibrahim bin Azar ‘alaihis, beliau dijuluki dengan gelar Abu adh-Dhaifan. Menurut pendapat yang shahih, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilahirkan di Babil. Semua penghuni bumi pada saat itu ada di dalam kekafiran, kecuali Ibrahim al-Khalil, Sarrah (istrinya), dan keponakannya Luth ‘alaihissalam.
Ibnu Jarir berkata, “Pendapat yang benar bahwa nama bapaknya adalah Azar [1] . Boleh jadi ia memiliki dua nama atau salah satu adalah gelarnya dan yang lain adalah nama aslinya. Wallahu a’lam.”
Allah ta’ala telah menyebutkan dialog dan perdebatan yang terjadi antara Ibrahim dan bapaknya serta bagaimana ia menyeru bapaknya kepada kebenaran dengan ungkapan yang lemah lembut dan isyarat yang lebih baik. Ibrahim menjelaskan kepada bapaknya mengenai kebatilan peribadatan yang ia lakukan berupa penyembahan terhadap berhala-berhala yang tidak mampu mendengar permohonan penyembahnya dan tidak mampu pula melihat tempat orang yang
menyembahnya, lalu bagaimana ia bisa memberi sesuatu kepadanya berupa rezeki dan pertolongan? Tetapi, bapaknya justru menakuti-nakuti dan mengancamnya.
Di antara nasehat Ibrahim kepada penduduk Harran yang menyembah bintang-bintang adalah ia menjelaskan kepada mereka bahwa benda-benda langit yang terlihat di atas itu berupa bintang-bintang gemerlapan tidak pantas dipertuhankan dan tidak berhak untuk disekutukan dengan Allah. Sebab, bintang-bintang tersebut adalah makhluk, yang ia terkadang terbit dan terkadang tenggelam, lalu hilang dari alam ini. Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan pemah hilang dari alam dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya. Bahkan Dia kekal abadi dan tidak pernah hilang.
Ibrahim ‘alaihissalam mengingkari perbuatan kaumnya yang menyembah berhala-berhala; dia menghinakannya serta merendahkannya. Para penyembah berhala-berhala tersebut tidak memiliki hujjah melainkan hanya mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Tatkala mereka keluar menghadiri perayaan mereka, maka dengan cepat dan diam-diam Ibrahim mendatangi patung-patung mereka, lantas menghancurkannya, lalu meletakkan kapak (yang ia pakai untuk menghancurkan tadi) di leher patung yang paling besar sebagai satu isyarat bahwa ia cemburu bila patung-patung yang lebih kecil ikut disembah bersamanya. Saat orang-orang kembali dari perayaan mereka dan mendapatkan apa yang menimpa tuhan-tuhan mereka, mereka bertanya dengan nada pengingkaran terhadap orang yang melakukan perbuatan itu kepada tuhan-tuhan mereka. Lalu mereka mengatakan bahwa mereka pernah mendengar ada seorang pemuda yang bernama Ibrahim yang biasa mencela tuhan-tuhan mereka. “Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak agar mereka menyaksikan.”‘ (QS. Al-Anbiya’: 61) Yaitu, di hadapan orang-orang banyak yang menyaksikannya agar mereka menyaksikan perkataannya dan mendengarkan ucapannya.
Kejadian ini merupakan harapan terbesar Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam, yaitu berkumpulnya seluruh manusia, lalu ia menegakkan hujjah di hadapan semua para penyembah berhala tersebut atas kebatilan perbuatan mereka, sebagaimana yang diungkapkan oleh Musa ‘alaihissalam kepada Fir’aun: “Berkata Musa, ‘Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik.”‘ (QS. Thaha: 95).
Ketika orang-orang telah berkumpul dan telah menghadirkan Ibrahim, mereka berkata, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya: 62-63).
Yang dimaksudkan Ibrahim terhadap ucapannya ini tidak lain adalah agar mereka segera menjawab bahwa berhala-berhala tersebut tidak mampu berbicara, sehingga mereka mengakui bahwa berhala-berhala tersebut adalah benda mati sebagaimana benda mati lainnya. Lalu mereka kembali kepada jiwa mereka dengan mencela diri. Mereka bingung serta kehabisan hujjah dan tidak ada lagi yang tersisa melainkan menggunakan kekuatan. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar, kemudian mereka kumpulkan di sebuah parit yang sangat besar dan menyalakannya. Api tersebut berkobar-kobar sangat tinggi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Kemudian mereka meletakkan Ibrahim ‘alaihissalam di piringan manjaniq (alat pelempar semacam meriam) yang dibuat oleh seseorang yang berasal dari Akrad yang bernama Haizan. Dialah orang yang pertama kali membuat manjaniq, Allah pun menenggelamkannya ke dalam bumi. Ketika Ibrahim ‘alaihissalam diletakkan di piringan manjaniq posisinya ada dalam keadaan terikat, kemudian mereka melemparnya ke api. Saat itu Ibrahim berkata, “Hasbunallaah wa ni’mal wakiil (Cukuplah Allah sebagai pelindung kami. Dan Allah adalah sebaik-baik pelindung).”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya ia berkata, “Cukuplah Allah sebagai pelindung kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Dzikir ini diucapkan oleh Ibrahim saat ia dilempar ke dalam api. Dan diucapkan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamketika dikatakan kepadanya:
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kami, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa. “‘ (QS. Ali lmran: 173-174).
Allah ta’ala berfirman: “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim” (QS. Al-Anbiya’: 69). Maka tidak ada sesuatu pun yang terbakar dari Ibrahim selain tali pengikatnya saja.
Dari Ummu Syuraik bahwa Rasulullah pernah memerintahkan membunuh tokek/cicak dan bersabda, “Dahulu ia meniup (api yang membakar) lbrahim.”[2]
Kemudian Allah menyebutkan perdebatan kekasih-Nya dengan seorang raja tiran lagi kafir yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Lalu Ibrahim ‘alaihissalam berhasil mementahkan hujjah sang raja. Raja tersebut adalah raja Babilonia. Namanya adalah Namrud bin Kusy bin Sam bin Nuh. “Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.”‘ (QS. Al-Baqarah: 258). Raja bodoh ini berkata, “Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan.” Dan para rasul telah diberi hujjah (dalam menghadapi hal itu):
“Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu terdiam heranlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim. (QS. Al-Baqarah: 258)
Setelah kejadian tersebut, Ibrahim ‘alaihissalam hijrah ke Mesir, kemudian kembali dengan ditemani oleh Hajar wanita Qibthi Mesir.
Adapun Luth ‘alaihissalam, ia singgah di kota Sodom berdasarkan perintah Ibrahim. Penduduk Sodom adalah orang-orang yang berlaku buruk, kafir, lagi fajir.
Kemudian Hajar melahirkan tiga belas tahun sebelum kelahiran Ishaq. Tatkala Isma’il lahir, Allah ta’ala mewahyukan kepada Ibrahim berupa kabar gembira akan lahirnya Ishaq dari kandungan Sarah. Setelah kelahiran Isma’il dari Hajar, memuncaklah kecemburuan Sarah. Sarah meminta kepada Ibrahim agar ia menjauhkan Hajar darinya. Maka Ibrahim pergi membawa Hajar dan Isma’il hingga sampai ke suatu tempat yang bernama Makkah. Ketika itu Makkah tidak didiami oleh seorang pun dan juga tidak ada air di sana. Ibrahim hanya meletakkan sebuah kantong yang berisi kurma dan kantong kulit berisi air di sisi keduanya. Kemudian Ibrahim meninggalkan tempat tersebut. Ketika air yang di kantong mulai habis, Hajar pun kehausan. Demikian halnya dengan anaknya ia menggelepar-gelepar (karena kehausan). Hajar pun berbolak-balik antara Bukit Shafa dan Marwah demi untuk mendapatkan air. Ia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali dan ia tidak melihat seorang pun. Kemudian ia mendengar suara. Ternyata suara itu datangnya dari malaikat yang tengah berada di dekat Zam-zam. Malaikat tersebut mengais-ngaiskan sayapnya hingga muncul air. Lalu Hajar pun membendung air tersebut.
26 Zamzam
Air Zamzam
28 sai
Ibnu ‘Abbas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah merahmati ibu Isma’il. Jika saja ia membiarkan air Zam-zam itu, niscaya ia menjadi mata air yang mengalir.”‘ [3] Akan tetapi Hajar membendung air tersebut dengan kedua tangannya, disebabkan rasa semangat yang dimilikinya. Maka ia pun meminum air itu dan menyusui anaknya. (Kondisi ini terus berlangsung) hingga sebuah keluarga dari kalangan Jurhum melewati mereka. Lantas mereka pun singgah di sekitar air tersebut dan mengirim utusan kepada keluarga mereka agar mereka ikut datang dan menetap di sana bersama mereka. Sang bayi pun (Isma’il) tumbuh besar dan belajar bahasa Arab dari mereka. Setelah dewasa mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Setelah itu ibu Isma’il meninggal dunia. Kemudian Ibrahim datang dan berkata, “Wahai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahku untuk membangun sebuah rumah di sini.” Saat itulah mereka berdua meninggikan pondasi Baitullah.
23 Kabah
Ilustrasi Ka’bah
24 Maqom Ibrahim25 Maqom Ibrahim
Maqom Ibrahim
Adapun kisah penyembelihan, maka tidak ada perbedaan di kalangan para ulama al-milal wa an-nihal(pakar sejarah keagamaan) bahwa yang disembelih adalah Ismail ‘alaihissalam, putra dan anak remaja pertamanya “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat: 102) Yakni telah mencapai umur remaja dan bekerja untuk kemaslahatan dirinya seperti halnya bapaknya. Pada saat itulah Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi bahwa ia diperintahkan menyembelih anaknya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas secara marfu’, “Mimpinya para Nabi adalah wahyu.” Maka Ibrahim pun mengutarakan hal itu kepada putranya “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” (QS. Ash-Shaffat: 102) Maka dengan bersegera putra yang santun itu memenuhi keinginan bapaknya, al-Khalil Ibrahim dan berkata, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diberitahukan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Jawaban ini merupakan puncak ketenangan dan ketaatan serta ia berazam atas hal itu. Ibrahim pun menorehkan pisaunya di atas tenggorokan putranya, namun pisau tersebut sedikit pun tidak dapat memotongnya. Di saat seperti itu ia diseru oleh Allah ‘azza wa alla “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu …… (QS. Ash-Shaffat 104-105). Yaitu tercapai maksud dari ujian, ketaatan, dan kesegeraanmu pada perintah Tuhan-Mu: “Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107) Yang masyhur dari mayoritas ulama bahwa tebusan itu adalah domba putih, ada warna hitam di sekitar matanya, dan bertanduk.
Kemudian, Ibrahim dikaruniai seorang putra bernama Ishaq, setelah Ishaq disusul dengan Ya’kub ‘alaihimussalam.
Foot Note:
[1] Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa nama bapaknya adalah Tarih –pentj-
[2]    HR. AI-Bukhari dalam Shahihnya (3109), Imam Ahmad dalam Musnadnya (24463).
[3] HR. AI-Bukhari (2195) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (3217)
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah