“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
[Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]
“Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan apapun) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salam dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yusuf:111).
Para
sahabat Nabi ` memiliki kebaikan hati, kedalaman ilmu, kelurusan
perilaku,keindahan perangai, dan jauh dari sikap pembebanan diri. Karenanya,
Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan sekaligus menegakkan
agama-Nya. Menjadikan para sahabat sebagai suri teladan adalah pokok mendasar
bagi kaum muslimin. Demikian ini dititahkan dalam Islam sebagai ajaran mulia.
Selayaknya kita bersemangat mengenal pribadi mereka. Satu di antaranya adalah
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
Mengenal
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu
Tubuh
pendek, gemuk, rambut keriting, hidung pesek, kulit sawo matang, jemari tebal
dan kasar, serta badannya dipenuhi bulu; itulah sosok Sa’ad bin Abi
Waqqash radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi n nan mulia. Beliau bernama
Sa’ad bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin ‘Abdi Manaf al-Qurasyi az-Zuhri
al-Makki. Kunyah beliau adalah Abu Ishaq. Nasab beliau radhiyallahu
‘anhu bertemu dengan nasab Rasulullah n pada ‘Abdu Manaf bin Zuhrah.
Beliau radhiyallahu ‘anhu lahir di Makkah dan berasal dari suku
Quraisy. Memiliki keturunan sebanyak 35 anak, di antaranya Ibrahim, ‘Amir,
‘Umar, Muhammad, Mush’ab, dan ‘Aisyah. Beliau radhiyallahu
‘anhu termasuk dalam as-Sabiqunal Awwalun (para sahabat Nabi yang pertama
kali masuk Islam). Beliau pula termasuk salah satu dari Ahlusy Syura (enam
sahabat Nabi yang dipilih ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu untuk menentukan pengganti ‘Umar sebagai khalifah). Bahkan
Sa’ad radhiyallahu ‘anhu tergolong dalam al-’Asyarah al-Mubasysyarun
bil Jannah (sepuluh sahabat Nabi yang mendapat kabar gembira dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghuni surga).
Kisah
Keislaman Beliau radhiyallahu ‘anhu
Beliau
memeluk Islam melalui ajakan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Saat
itu usianya masih 17 tahun. Sebelum masuk Islam, Sa’ad radhiyallahu
‘anhu pernah bermimpi. Beliau berada dalam kegelapan, tidak dapat melihat
sesuatu apapun. Tiba-tiba bulan menyinarinya. Beliaupun mengikuti sinar bulan
tersebut. Tampak olehnya beberapa orang yang telah mendahuluinya berjalan ke
arah bulan. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berupaya melihat sekumpulan
orang itu. Ternyata mereka adalah Zaid bin Haritsah, ‘Ali bin Abi Thalib, dan
Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhum. Memang benar, mereka lebih
dahulu masuk Islam.
Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu adalah anak yang sangat berbakti
pada ibunya, Hamnah bintu Sufyan. Ketika masuk Islam, sang ibu marah dan
mengancam, “Wahai Sa’ad, agama apa yang engkau ikuti ini? Sungguh, engkau harus
meninggalkan agamamu ini, atau aku akan mogok makan dan minum sampai aku mati,
sehingga engkau akan dicela karenanya.” “Wahai ibu, janganlah engkau lakukan
itu. Sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku,” pinta Sa’ad.
Benarlah,
ibunya tidak makan dan minum seharian hingga kepayahan. Melihat hal itu, Sa’ad
mengatakan, “Demi Allah, sekiranya engkau memiliki seribu nyawa, lalu nyawa itu
keluar satu persatu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.”
Mengetahui tekad putranya, ibu Sa’ad mengurungkan niatnya lalu mau kembali
makan dan minum. Dari peristiwa inilah Allah menurunkan ayat-Nya,
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Kedekatannya
dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berasal dari kabilah Bani Zuhrah.
Demikian pula ibu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berasal
dari kabilah tersebut. Sehingga Sa’ad radhiyallahu
‘anhu dikategorikan sebagai Khalun NabiShalallahu ‘alaihi wa Sallam (paman
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dari jalur ibu). Suatu hari di
Makkah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjenguk
Sa’ad radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit. Beliau Shalallahu
‘alaihi wa Sallam mengusap wajah, dada, dan perut Sa’ad radhiyallahu
‘anhu. Lalu beliau radhiyallahu ‘anhu mendoakannya, “Ya Allah,
sembuhkanlah Sa’ad.” Kebaikan Nabi begitu membekas pada diri Sa’ad. Dinginnya
telapak tangan Nabi senantiasa dirasakan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika
perang Uhud meletus, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bersama beberapa
sahabat tetap bertahan menjaga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Sa’ad radhiyallahu ‘anhu sendiri adalah seorang prajurit yang mahir
dalam memanah. Tak seorang pun yang maju hendak membahayakan diri
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kecuali terkena sasaran anak panahnya.
Sambil menyiapkan anak panah dan mengamati hasil bidikan Sa’ad,
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai Sa’ad, panahlah. Ayah
dan ibuku sebagai tebusannya.”Demikian pula Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa Sallam mendoakan Sa’ad radhiyallahu ‘anhu pada
peristiwa itu, “Ya Allah, kabulkanlah permohonan Sa’ad apabila berdoa
kepada-Mu.” Sehingga Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai orang
yang dikabulkan (mustajab) doanya.
Pada
suatu malam, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sulit untuk
tidur. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Seandainya ada
orang saleh dari sahabatku yang sudi menjagaku malam ini.” Tiba-tiba terdengar
suara dentingan senjata. “Siapa ini?,” tanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam. Lelaki itu menjawab, “Sa’ad bin Abi Waqqash. Saya wahai
RasulullahShalallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya datang kemari guna menjagamu.”
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallampun mendoakan kebaikan untuknya, kemudian
beliau tidur dengan lelap hingga terdengar suara dengkurannya.
Perjuangannya
di Jalan Allah
Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang begitu lihai
dalam memacu kuda. Karenanya, beliau dijuluki sebagai Farisul Islam (prajurit
Islam yang ahli berkuda). Di awal-awal Islam, para sahabat beribadah di
lereng-lereng bukit karena khawatir terhadap gangguan kaum musyrikin. Suatu
hari, sekelompok kaum musyrikin mengetahui keberadaan mereka di salah satu
bukit di Makkah. Kaum musyrikin terus mengejek dan mencela agama Islam hingga
mengganggu para sahabat. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu marah dan memukul
salah seorang dari mereka dengan kulit unta yang sudah kering. Orang tersebut
terluka dan berdarah. Dengan peristiwa ini, Sa’ad radhiyallahu
‘anhu menjadi sahabat Nabi yang pertama kali menumpahkan darah di jalan
Allah.
Ketika
perang Badr meletus, beliau radhiyallahu ‘anhu bersama para sahabat
lainnya berusaha sekuat tenaga membela Nabi Muhammad n. Sa’ad bin Abi
Waqqash radhiyallahu ‘anhu menjadi sahabat Nabi yang pertama kali
melepaskan anak panah di jalan Allah. Bahkan beliau radhiyallahu
‘anhu mendapat dua tawanan pada peristiwa itu.
Demikian
pula pada masa pemerintahan Khulafa’ur Rasyidin, beliau turut andil dalam
memperjuangkan agama Islam. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu
‘anhu adalah orang yang membangun kota Kufah, Irak.
Demikian
pula ketika menjadi panglima perang, beliau berhasil menaklukkan sejumlah
wilayah penting kerajaan Persia di Irak, seperti kota Qadisiyyah, Madain, dan
Jalula’.
Nasihat
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu
Suatu
hari, ‘Abdullah bin Fairuz ad-Dailami berjumpa dengan Sa’ad bin Abi
Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Maka ‘Abdullah bin Fairuz bertanya,
“Sesungguhnya aku memiliki keraguan pada sebagian permasalahan takdir. Maka
jelaskanlah hal itu kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikan penjelasanmu bisa
melapangkan diriku.” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dengan tenang
memberikan pengarahan, “Wahai anak saudaraku (sesama muslim), sesungguhnya
kalau sekiranya Allah mengadzab semua penghuni langit dan bumi, niscaya Dia
mengadzab mereka tanpa kedzaliman. Dan kalau sekiranya Dia merahmati mereka,
niscaya rahmat Allah lebih baik bagi diri mereka daripada amalan-amalan
mereka.” Lalu beliau radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Dan sesungguhnya
kalau seandainya seseorang berinfak emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah,
namun tidak beriman terhadap takdir yang baik atau yang buruk, niscaya infaknya
tidak akan diterima oleh Allah.” Kemudian Sa’ad radhiyallahu
‘anhumenyarankannya untuk menemui sahabat ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ternyata penjelasan Ibnu Mas’ud semakna dengan
ucapan Sa’ad. Lalu Ibnu Mas’ud menyarankan ‘Abdullah bin Fairuz ad-Dailami
untuk menemui sahabat Ibnu Abi Ka’bradhiyallahu ‘anhu. Ternyata penjelasan Ibnu
Abi Ka’b juga senada dengan ucapan dua sahabat sebelumnya. Kemudian ‘Abdullah
bin Fairuz disarankan untuk menemui sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu. Ternyata pemaparan Zaid bin Tsabit mirip dengan ucapan ketiga sahabat
tadi. Karena semua yang terjadi di dunia ini telah ditentukan oleh Allah.
Akhir
Kehidupannya di Dunia
Di
saat kegelapan fitnah melanda kaum muslimin, beliau berusaha menyelamatkan diri
dari fitnah tersebut. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu
‘anhu tinggal di bentengnya di daerah al-’Aqiq, sekitar tujuh mil dari
Madinah. Beliau radhiyallahu ‘anhutetap berada di sana hingga akhir
hayatnya. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai
orang yang paling mulia kedudukannya, memiliki akhlak yang mulia, kokoh dalam
menjalankan tuntunan Nabi, dan sangat menyayangi rakyatnya. Menjelang ajalnya,
beliau radhiyallahu ‘anhu meminta untuk diambilkan sebuah pakaian
yang terbuat dari kain wol. Lalu beliauradhiyallahu ‘anhu berpesan,
“Kafanilah aku dengan pakaian wolku ini. Sesungguhnya dahulu aku berperang
melawan kaum musyrikin pada perang Badr, dengan mengenakan pakaian tersebut.
Pakaian itu senantiasa ada pada diriku. Dan selama ini aku menyimpannya untuk
hal ini.” Tepat pada tahun 55 H, beliau radhiyallahu ‘anhu pun
meninggal dunia pada usia 82 tahun. Dengan kejadian itu, maka
beliau radhiyallahu ‘anhu menjadi sahabat yang terakhir meninggal
dari kalangan kaum Muhajirin. Lalu jenazah beliau di bawa ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, kaum muslimin menshalati jenazahnya di Masjid Nabawi.
Demikian pula para istri Nabi turut menshalatinya. Kemudian
beliau radhiyallahu ‘anhu dimakamkan di pekuburan Baqi’. Umat Islam
sangat bersedih dengan kepergiannya. Semoga Allah meridhainya. Berikut adalah
video kisah hidup sahabat mulia Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
Faidah
Ilmu Hadits
Al-Imam
al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya menyebutkan riwayat melalui Sa’ad bin
Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu sebanyak lima hadits. Al-Imam Muslim
menyebutkan 18 hadits dalam kitab Shahih-nya. Adapun al-Imam Baqi bin
Makhlad radhiyallahu ‘anhu dalam kitab Musnad-nya menyebutkan 270
hadits. Bahan Renungan Para pembaca yang mulia, kisah bukanlah perkara yang
tiada memiliki ibrah (pelajaran). Pemaparan kisah akan mudah meresap ke dalam
hati orang yang membacanya, menanamkan kesan yang demikian mendalam.
Memang,
keadaan kita sangatlah berbeda dengan mereka. Namun, selayaknya kita mendamba
seperti mereka. Sehingga jiwa ini segera tersadar dari kelengahan yang teramat
lama. Lantas, mau bergegas menuju ampunan Allah dan surga-Nya yang luasnya
seluas langit dan bumi.
Pendidikan adalah hal yang perlu
dperhatikan terutama kepada anak-anak dan pemuda. Hal ini sangat diperhatikan
oleh agama Islam. Kita bisa lihat bagaimana anak-anak pemuda-pemuda Islam yang
masih sangat mulia di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdidik
dengan pendidikan yang luar biasa. Berikut kisah-kisah mereka yang semoga bisa
menjadi teladan bagi kita agar bisa mendidik anak dengan cara Islam.
Kisah ini adalah kisah para pemuda
yang sangat belia berumur sekitar 14-15 tahun Hijriyah (13-14 Masehi) yang
sangat pemberani, menjadi pahlawan bagi Islam dan bukti sebagai kuatnya akidah
dan iman mereka. Yaitu kisah anak-anak yang sangat ingin ikut perang dan
berjihad walaupun dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu
‘anhu menceritakan,
بينا أنا واقف في الصف
يوم بدر، فنظرت عن يميني وعن شمالي، فإذا أنا بغلامين من الأنصار – حديثة
أسنانهما، تمنيت أن أكون بين أضلع منهما – فغمزني أحدهما فقال: يا عم هل تعرف أبا
جهل؟ قلت: نعم، ما حاجتك إليه يا ابن أخي؟ قال: أخبرت أنه يسب رسول الله صلى الله
عليه وسلم، والذي نفسي بيده، لئن رأيته لا يفارق سوادي سواده حتى يموت الأعجل منا،
فتعجبت لذلك، فغمزني الآخر، فقال لي مثلها، فلم أنشب أن نظرت إلى أبي جهل يجول في
الناس، قلت: ألا إن هذا صاحبكما الذي سألتماني، فابتدراه بسيفيهما، فضرباه حتى
قتلاه
“Ketika Perang Badar aku
berada di tengah barisan.Tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiri kumuncul dua
orang pemuda yang masih sangat belia sekali. Aku berhara pseandainya saat itu
aku berada di antara tulang-tulang rusuk mereka [untuk melindungi mereka,
pent].Salah seorang dari mereka mengedipkan mata kepadaku dan berkata, ‘Paman,
tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal .’Kukatakan kepadanya, ‘Anakku, apa yang akan
kau perbuat dengannya? ’Pemuda itu kembali berkata, ‘Aku mendengar bahwa ia
telah mencela Rasulullah. Aku pun bersumpah kepada Allah seandainya aku
melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati di
tangannya. Aku pun tercengang kaget dibuatnya .Lalu pemuda yang satunya
lagi mengedipkan mata kepadaku dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Seketika
itu aku melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang.Aku berkata,
‘Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi.’Mereka pun
saling berlomba mengayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh
Abu Jahal.”[1]
Dari Sa’ad bin Abi Waqqashradhiallahu
‘anhuberkata,
رأيت أخي عمير بن أبي
وقاص قبل أن يعرضنا رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلّم يوم بدر يتوارى، فقلت: ما
لك يا أخي؟ قال: إني أخاف أن يراني رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلّم فيستصغرني
فيردّني، وأنا أحبّ الخروج، لعل اللَّه أن يرزقني الشهادة- قال: فعرض على رسول
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلّم فاستصغره فردّه، فبكى فأجازه، فكان سعد يقول: فكنت
أعقد حمائل سيفه من صغره فقتل وهو ابن ست عشرة سنة.
“Aku melihat saudaraku
Umair bin Abi Waqqash -sebelum kami diperlihatkan kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti perang Badr- ia
sembunyi-sembunyi. Maka aku berkata, “ada apa denganmu wahai saudaraku?”. Ia
berkata, “aku khawatir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihatku
lalu menganggapku masih terlalu kecil sehingga beliau menyuruhku kembali, aku
ingin sekali ikut berperang, semoga Allah mengkaruniakan kesyahidan kepadaku.”Kemudian
ia diperlihatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian
beliau mengangap masih kecil dan menolaknya. Maka Umair bin Abi Waqqash
menangissehingga
beliau mengizinkannya Sa’ad berkata, “Aku membantu menyarungkan pedangnya
karena ia masih kecil, kemudian ia terbunuh ketika berusia enam belas tahun.”[2]
“Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam menganggap masih terlalu kecil untuk turut dalam perang
uhud, di antara mereka yaitu Zaid bin Haritsah, Barra’ bin Azib, Zid
bin Arqam, Sa’ad, Abu Sa’id Al-Khudriy, Abdullah bin Umar dan –disebut juga-
Jabir bin Abdillah.”[3]
”Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika
itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku.
Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu
usiaku telah mencapai lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku”.[4]
Demikianlah kisah-kisah mereka, para
anak-anak yang masih belia. Semoga bisa menjadi penyemangat bagi kita. Oleh
karena itu tidak heran ulama lebih menyukai kisah-kisah nyata daripada sekedar
teori unutk membangkitkan semangat mereka.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
«الحكايات عن العلماء ومجالستهم
أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم»
“Kisah-kisah
(keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada
kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab
dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [5]